Marga Bouea (Anacardiaceae) di Malesia
Tri Harsono
Universitas Negeri
Medan
ABSTRAK
Telah
dilakukan pengamatan yang dikaitkan dengan Marga Bouea (Anacardiaceae) di
Malesia berdasarkan data koleksi herbarium dan data koleksi segar. Pengamatan
berkaitan dengan taksonomi, distribusi dan pemanfaatannya. Pengamatan dilakukan
di Herbarium Bogoriense, Kebun Raya Bogor dan Lab. Biologi FMIPA Unimed. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa : (1). Marga Bouea
tersebar di kawasan Malesia (Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapore, Thailand,
Vietnam dan Selatan China). (2). Tumbuh pada kawasan tepi hutan, kebun warga
dalam jumlah terbatas. (3) Mencakup 2 jenis yaitu Bouea macrophylla
Griffith dan Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. (4). Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. masih memiliki variasi yang luas,
sehingga membutuhkan pendekatan selain morfologi untuk memastikan status
taksonominya. (5). Buah dan daun segar Bouea
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pemanfaatan kayunya yang berkualitas
baik, lambatnya pertumbuhan dan terbatasnya budidaya, merupakan salah satu
penyebab kelangkaan Bouea.
Kata Kunci : Anacardiaceae, Bouea, macrophylla, oppositifolia, Malesia
Marga Bouea (Anacardiaceae) di Malesia
Tri Harsono
Jurusan Biologi, FMIPA Unimed
Jurusan Biologi, FMIPA Unimed
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
salah satu negara mega biodiversitas karena memiliki kawasan hutan tropika
basah dengan tingkat keanekaragaman hayati tergolong tinggi di dunia. Termasuk
juga dengan kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan tropisnya. Indonesia
merupakan salah satu dari delapan pusat keanekaragaman genetika tanaman di
dunia khususnya untuk buah-buahan tropis (Sastrapradja dan Rifai 1989). Salah satu buah-buahan tropis yang sangat
khas Indonesia tersebut adalah Gandaria (Bouea
macrophylla Griffith) yang bahkan telah ditetapkan menjadi maskot provinsi
Jawa Barat. Ding Hou (1975) melaporkan
bahwa Bouea (Anacardiaceae) terdiri atas dua jenis yaitu Bouea macrophylla Griffith dan Bouea
oppositifolia (Roxb.)
Adelb.
Ke duanya tersebar di kawasan Malesiana, namun berdasarkan 85 spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense diketahui
tersebar di kawasan Borneo (15 spesimen), Sumatra (21 spesimen), Jawa (24
spesimen), Peninsula Malaysia (8 spesimen), Singapore ( 1 spesimen), Thailand
(2 spesimen), Vietnam ( 2 spesimen), sisanya tanpa lokasi. Berdasarkan data
speseimen yang ada diketahui bahwa Bouea
macrophylla Griffith hanya ditemukan
di pulau Jawa, sedangkan Bouea oppositifolia (Roxb.)
Adelb. ditemukan
di Sumatra, Malay Peninsula, Vietnam, Thailand dan Singapore. Namun berdasarkan
pengamatan spesimen yang dilakukan masih ditemukan variasi yang cukup tinggi
pada Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. asal Kalimantan pada morfologi daunnya. Tingginya
jumlah lokasi peresebaran Bouea yang
tumbuh di Jawa dan Sumatra memberikan gambaran bahwa kawasan ini merupakan
pusat persebaran terpenting untuk Bouea.
Berdasarkan spesimen hidup yang berhasil diinventarisir sejauh ini ditemukan
beberapa lokasi seperti Sumatra (12 lokasi), Jawa (4 lokasi), Kalimantan (5
lokasi), Ambon ( 1 lokasi).
Ditinjau dari sebaran
spesimen herbarium dan sebaran spesimen hidup yang diperoleh maka diperkirakan
Sumatra, Jawa dan Kalimantan merupakan satu pusat persebaran gandaria. Selain
lokasi persebarannya, plasma nutfah gandaria juga terlihat cukup beragam
ditinjau dari ukuran daun maupun buahnya. Sebagai salah satu buah-buahan yang
dapat dimakan, di Indonesia cukup banyak ditemukan kultivar gandaria yang
berbeda satu dengan lainnya baik dalam rasa, aroma, dan warna kulit buahnya.
Besarnya keanekaragaman sumber plasma nutfah Bouea spp. di Indonesia
merupakan modal dasar yang sangat penting untuk pemuliaan. Dari hasil pemuliaan
tanaman, diharapkan akan diperoleh bibit unggul baik dalam kualitas maupun
produksi buahnya.
Buah gandaria merupakan salah satu komoditas
buah-buahan yang mempunyai nilai ekonomi cukup penting di beberapa pasar
perdagangan seperti Ambon. Di Thailand komoditas ini bahkan memiliki nilai
khusus karena sangat erotik. Indonesia tidak dilaporkan sebagai negara
penghasil buah gandaria karena di negeri kita buah ini hanya terkenal di
beberapa kawasan seperti Ambon, Banjarmasin dan Bogor, itupun dengan sumber
produksi pohon-pohon hutan yang tersisa dan tidak ada pembudidayaan khusus.
Thailand dilaporkan sebagai negara yang telah membudidayakan gandaria dengan
lebih baik sehingga gandaria yang di sana dikenal dengan ma praang merupakan
salah satu buah yang paling mewarnai sentra perdangan buah-buahan. Masalah ini
antara lain disebabkan kualitas buah gandaria Indonesia lebih rendah apabila
dibandingkan dengan gandaria yang berasal dari Thailand. Padahal Indonesia,
khususnya Kalimantan dan Sumatra merupakan pusat persebaran maupun pusat
keanekaragaman Gandaria. Kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, pemuliaan tanaman pada kerabat
gandaria (Bouea oppositifolia dan Bouea macrophylla) di Indonesia perlu
dilakukan untuk menghasilkan
kultivar/bibit yang unggul. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara
pengumpulan data dan informasi tentang kekayaan keanekaragaman jenis dan sumber
plasma nutfah gandaria di Indonesia. Tahap selanjutnya dilakukan seleksi untuk
memilih jenis-jenis ataupun sumber plasma nutfah yang mempunyai nilai lebih.
Dengan tersedianya keragaman di dalam jenis atau sumber plasma nutfah maka
kultivar/bibit unggul yang diinginkan akan dapat dirakit. Bagaimana persebaran
dan keanekaragaman plasma nutfah gandaria di Indonesia perlu dilakukan
inventarisasi lalu dilakukan koleksi dan konservasi sehingga tersedia satu
lokasi gene pool gandaria yang memungkinkan terjadinya gene flow guna
menghasilkan gandaria unggulan.
Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi. Data dan informasi tentang
kerabat gandaria di Indonesia diperoleh dari (1). pengamatan spesimen herbarium
yang disimpan di Herbarium Bogoriense (2). Hasil inventarisir yang dilakukan di
beberapa lokasi dimana gandaria masih ditemukan dalam keadaan hidup dan Kebun
Raya Bogor (3). penelusuran pustaka.
Jumlah
spesimen herbarium yang diamati adalah 85 nomor spesimen dan jumlah lokasi
hidup yang diamati adalah sebanyak 15 lokasi. Untuk setiap nomor spesimen
herbarium dan spesimen hidup yang diamati dilakukan pencatatan data/informasi
yang mencakup tentang ciri-ciri/karakter morfologi, nama daerah/lokal, nama
latin/ilmiah, lokasi, habitat dan kegunaannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Anacardiaceae Lindl., atau
suku mangga-manggaan, mencakup lebih kurang 700 spesies dan lebih dari 82
marga, yang umumnya tersebar di daerah tropik dan beberapa marga ditemukan di
daerah beriklim sedang dan dingin. Beberapa marga dari suku ini dibudidayakan
dalam jumlah yang luas di dunia dan merupakan tumbuhan yang buah dan bijinya
dapat dimakan, memiliki kandungan
senyawa kimia, bernilai getah dan tanaman pekarangan. Beberapa jenis
seperti mangga, jambu mente, kedondong
menjadi buah kegemaran banyak orang di dunia (Pell, 2004). Mangga dan jambu mente bahkan menjadi
komoditas yang paling disukai hampir di semua belahan dunia. Namun gandaria
yang merupakan kerabat dekat mangga, masih terbatas popularitasnya, karena
distribusi, produksi dan upaya budidaya serta terbatasnya penelitian yang
dilakukan terhadap jenis ini, sehingga popularitasnya tidak sebesar kerabta
dekatnya, mangga dan jambu mente. Padahal potensi yang dimilikinya cukup besar
andaikata pengembangan komoditas ini terus ditingkatkan dengan berbagai
penelitian, percobaan dan persilangan.
Gandaria adalah
satu tumbuhan asli
Indonesia yang termasuk dalam kelompok suku Anacardiaceae. Suku Anacardiaceae
masih membawahi beberapa marga yang masih berkerabat dekat dengan Bouea
seperti : Anacardium, Androtium, Bouea, Buchanania, Fegimanra, Gluta, Melanorrhoea,
Mangifera, Swintonia (Pell, 2004)
Gandaria (Bouea spp.) adalah satu
marga dari suku Anacardiaceae, yang di beberapa daerah di
Indonesia disebut dengan berbagai nama yang berbeda seperti gandaria
(Jawa), jatake, gandaria (Sunda), remieu (Gayo), barania
(Dayak ngaju), Asam djanar, Kedjauw lepang; Kundang rumania; Ramania hutan;
Ramania pipit; Rengas; Tampusu; Tolok burung; Umpas (Kalimantan) dandoriah
(Minangkabau), wetes (Sulawesi Utara), Kalawasa, rapo-rapo
kebo (Makasar), buwa melawe (Bugis), ma praang, somprang
(Thailand). Kundangan, kondongan, gondongan, si kundangan, rumenia, kemenya,
rembunia, rumia, setar, serapoh, asam suku, medang asam, gandaria, kundang
(Malaysia), Gandaria (Filipina), Marian-plum (Ingrris) adalah tanaman
yang berasal dari kepulauan Indonesia dan Malaysia. Tanaman ini tumbuh di daerah tropis, dan
banyak dibudidayakan di Sumatera , Thailand dan Ambon, jadi masih berkisar di kawasan
Malesiana. Gandaria dimanfaatkan
mulai dari buah, daun, hingga batangnya. Buah gandaria yang masih muda sering
dikonsumsi sebagai rujak atau campuran sambal gandaria. Buah gandaria yang
matang dapat dimakan langsung. Daun gandaria sering digunakan sebagai lalap.
Sedangkan batang gandaria dapat dimanfaatkan sebagai papan dan bahan bangunan.
Pada beberapa laporan diketahui bahwa kayu gandaria juga tergolong kayu yang
cukup bagus untuk dijadikan sebagai sarung keris, benda pusaka tradisional
dalam masyarakat pulau Jawa.
Tanaman gandaria tumbuh dengan habitus pohon dengan ketinggian hingga 27 m dengan tajuk rapat.
Daunnya tunggal, berbentuk bundar telur-lonjong sampai bentuk lanset atau
jorong. Waktu muda berwarna putih, kemudian berangsur ungu tua, lalu menjadi
hijau tua. Perbungaannya malai, muncul di ketiak daun, Buahnya bertipe buah
batu, berbentuk agak bulat, berdiameter 2,5-5 cm, berwarna kuning sampai
jingga, daging buahnya mengeluarkan cairan kental; buahnya tidak berbulu,
rasanya asam sampai manis, dengan bau yang khas agak mendekati bau terpentin.
Keping biji berwarna lembayung (Rifai, 1991).
Pembudidayaan gandaria umumnya dilakukan di
beberapa lokasi tertentu seperti Jawa Barat, Ambon, Kalimantan dan yang paling
banyak melakukan pembudidayaan adalah petani-petani buah dari Thailand. Ditinjau dari nama-nama lokal yang dikenal di
Indonesia, Malaysia, maupun Thailand, maka ada lebih kurang 15 nama lokal yang
diberikan kepada tanaman ini. Bahkan warga di Kalimantan penduduk setempat
membedakannya menjadi ramania pipit dan ramania tembaga yang rasanya manis dan Ramania hintalu
yang rasanya asam. Petani-petani di Thailand membedakannya menjadi 3 rasa
berdasarkan rasa daging buahnya yaitu ma-prang prew yang rasanya asam, ma-prang
waan atau ma-prang ta it yang rasanya manis dan ma-yong yang rasanya manis pada saat buah matang dan
mengandung sedikit asam. Rifai (1991) melaporkan bahwa berdasarkan rasa
buahnya, maka di Kalimantan dikenal beberapa kultivar lokal seperti 1. Hintalu
(sangat asam). 2. Ramania pipit
(manis) 3. Ramania Tembaga
(manis).
Selain di Thailand dan Kalimantan Rehatta (2005)
juga melaporkan bahwa tanaman gandaria merupakan potensi kekayaan alam dari
khasanah tanaman buah tropik Maluku yang sangat spesifik dan dikenal dengan
exotic fruit.
Informasi tentang kultivar, varietas maupun
galur-galur pada gandaria yang tersebar dan dibudiayakan di Indonesia masih
sangat kurang didapatkan. Dalam beberapa pustaka hanya ditemukan beberapa nama lokal seperti jatake, ramania
dan gandaria. Informasi yang
didapatkanpun masih terbatas pada keberadaan, pemanfaatan secara lokal, dan
pamasaran yang juga terjadi di pasar-pasar tradisional dan dalam waktu-waktu
yang juga tertentu. Gandaria sebagai salah satu tanaman langka Indonesia, masih
belum banyak diteliti. Rifai (1991) melaporkan bahwa jumlah kromosom dari
tanaman ini juga belum diketahui, dan sejauh ini belum ditemukan literatur yang
menjelaskan tentang keragaman kromosom dari tanaman langka maskot provinsi Jawa
barat ini. Data tentang khromosom ini penting untuk memungkinkan berbagai
upaya-upaya pemuliaan tanaman ini di masa datang. Munculnya varian-varian baru
dalam satu hasil persilangan antar kultivar merupakan bagian adari aktivitas
yang terjadi pada saat dua kromosom dari induk yang berbeda berpadu. Perpaduan
inilah yang menghasilkan satu interaksi baru yang kadang-kadang memunculkan
varian-varian yang berbeda dengan tetuanya.
Berdasarkan hasil pengamatan
terhadap 85 nomor spesimen herbarium
kerabat gandaria (Bouea spp.)
Indonesia yang disimpan di Herbarium Bogoriense, ditemukan beberapa nama
ilmiah gandaria seperti : Bouea oppositifolia,Bouea burmanica, Bouea burmanica var. macrophylla Bouea gandaria, Bouea burmanica var. roxburghii, Bouea burmanica var.
microphylla. Namun setelah
diadaptasikan dengan hasil penelitian Ding How (1975) dinyatakan bahwa marga Bouea hanya terdiri atas: Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.Bouea macrophylla Griffith
Berdasarkan pengamatan
morfologi spesimen herbarium dan spesimen hidup, maka spesimen yang
diidentifikasi sebagai Bouea macrophylla memiliki bentuk dan ukuran daun serta bentuk dan ukuran
buah yang relatif lebih seragam, hanya ada variasi-variasi dari segi ukuran dan
type ujung daun. Namun jenis dalam Bouea oppositifolia memperlihatkan sejumlah variasi yang cukup mencolok
dari segi bentuk dan ukuran daun serta bentuk dan ukuran buah. Berdasarkan
bentuk dan ukuran morfologi daunnya ditemukan sekitar 4 variasi pada Bouea oppositifolia yaitu berdaun bulat, oval,
jorong dan memita. Berdasarkan karakter
morfologi daun dari sejumlah 85 spesimen
yang ada di Herbarium Bogoriense setidaknya dikelompokkan menjadi 4 jenis yang
berbeda. Selain morfologi daun, juga masih ditemukan variasi yang cukup
signifikan pada bentuk dan ukuran buah, sehingga hasil revisi Ding Hou (1975) ini masih
membuka peluang untuk ditinjau ulang dengan menggunakan karakter selain
morfologi untuk memastikan jumlah jenis pada marga Bouea.
Variasi-variasi pada
morfologi daun dan buah pada varian-varian yang ada dalam marga Bouea dapat dilihat seperti tertera pada
gambar di atas.
A. Morfologi Daun
Secara umum pada marga Bouea merupakan daun tunggal dan tersusun berhadapan (opposite), Daun gandaria berbentuk bundar telur
memanjang sampai lanset atau jorong. Permukaan daun mengkilat dan mempunyai
ujungnya yang runcing. Ukuran daunnya berkisar antara 11- 45 cm (panjang) dan 4
– 13 cm (lebar). Ciri ini umum ditemukan pada Bouea macrophylla, namun
pada Bouea oppositifolia ditemukan variasi daun dari bulat, bundar telur,
jorong dan memita yang kesemuanya dikelompokkan menjadi Bouea oppositifolia oleh
Ding Hou (1975).
Gambar 1. Variasi Daun Bouea oppositifolia
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3
Asal Kebun
Raya Bogor Asal Lhok Sukon (Aceh) Asal Kalimantan Selatan
Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6
Asal Palembang Asal
Ciboleger (Banten) Asal Lhok Seumawe
Asal Ambon Asal Padangbolak Perbandingan Gbr 7 & 8
B. Morfologi Buah
Umumnya buah gandaria yang masih muda berwarna hijau. Ketika mulai tua dan
matang buah berwarna kuning hingga
jingga. Buah gandaria memiliki daging buah yang berair dan mengeluarkan cairan
kental. Buah ini memiliki bau khas yang menyengat seperti aroma terpentin dan
memiliki rasa agak asam hingga manis.
Berdasarkan hasil inventarisasi di lapangan diketahui bahwa ada beberapa
variasi buah yang cukup signifikan seperti :
Tabel 2. Variasi Buah Gandaria Hasil Koleksi Segar
No
|
Asal
|
Warna buah
|
Ukuran Buah
|
Rasa Buah
|
||
Muda
|
Mengkal
|
Matang
|
||||
1.
|
Padangbolak**
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning Kehijauan
|
2,8-3,5 x 2,24-2,7 cm
|
Manis - Asam
|
2.
|
Kebun Raya Bogor**
|
Hijau
|
Kuning
|
Merah
|
1,6-2,0 x 2,4-3,3 cm
|
Manis - asam
|
3.
|
Lhok Seumawe
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
4.
|
Lhok Sukon
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
5.
|
Batusangkar
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-4,2 x 2.0- 3,7 cm
|
Manis – asam
|
6.
|
Pulau Bengkalis
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
7.
|
Jaka Baring Palembang
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
8.
|
Ciboleger (Banten)
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
9.
|
Bogor
|
Hijau
|
Hijau Kekuningan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis – asam
|
10.
|
Ambon
|
Hijau
|
Kuning kehijauan
|
Kuning kemerahan
|
4,2-4,8 x 4,4-5,0 cm,
|
Manis
|
11.
|
Desa Baru
|
Hijau
|
Kuning kehijauan
|
Kuning bercak coklat
|
2,5-3,8 x 2.0- 3,3 cm
|
Manis
|
{
Catatan : **
tergolong Bouea oppositifolia
C. Persebaran
Gandaria menyebar sejak kawasan pantai hingga
dataran tinggi. Beberapa sentra pertumbuhan gandaria antara lain Pantai Carita
(Jawa Barat). Kota Ambon, Sampit, Banjarmasin (Kalimantan), Padang Bolak
(Sumut), Selat Panjang (Riau), dan Thailand. Di Indonesia, pembudidayaan
gandaria masih dilakukan secara sambilan oleh beberapa petani di Ambon. Di
Kalimantan dan Sumatera tanaman ini tumbuh liar di kawasan hutan dan tepian
hutan. Sedangkan di pulau jawa dilakukan penanaman secara lokal dan ditanam
sebagai tanaman sambilan di kebun atau pekarangan rumah.
Di Thailand gandaria merupakan buah-buahan
favorit dan pembudidayaannya sudah jauh
Iebih maju. Kini Thailand yang juga merupakan sumber buah-buahan khas tropik
terus mengembangkan komoditas gandaria. Petani-petani di Thailand membedakannya
menjadi 3 rasa berdasarkan rasa daging buahnya yaitu ma-prang prew yang
rasanya asam, ma-prang waan atau ma-prang ta it yang rasanya
manis dan ma-yong yang rasanya manis pada saat buah matang dan
mengandung sedikit asam.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari spesimen herbarium dan hasil koleksi segar di lapangan diketahui
bahwa ada beberapa lokasi dimana gandaria ditemukan tersebar luas. Dari data spesimen
herbarium lokasi persebarannya adalah Borneo, Sumatra, Jawa, Semenanjung
Malaya, Singapore, Brunei, Vietnam, Thailand dan Selatan China. Semua lokasi
ini merupakan bagian dari kawasan Malesia bagian barat.
Tidak ditemukan koleksi
spesimen yang berasal dari kawasan
Indonesia Timur. Namun berdasarkan koleksi tanaman hidup gandaria diketahui beberapa lokasi persebaran yang
masih bertahan hingga kini seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Ambon.
Berdasarkan data sebaran di
atas, tidak ditemukan adanya gandaria di kawasan Indonesia Timur, hal ini
mungkin berkaitan dengan sifat bijinya yang rekalsitran serta adanya barier
berupa laut dalam di kawasan yang memisahkan
Indonesia Barat dengan Indonesia Timur, sehingga membentuk flora dan fauna yang
sangat khas Sulawesi. Akan tetapi sesuai dengan laporan Rehatta (2005) yang
menyatakan bahwa jenis ini endemik di Ambon menimbulkan satu pertanyaan baru.
Apakah gandaria memang ada di Ambon dan tidak terkoleksi oleh taksonom masa
lalu, atau memang didatangkan dari kawasan Barat dengan adanya hubungan
pelayaran.
Pernyataan di atas mungkin
dapat dikaitkan dengan nama-nama lokal yang dimiliki oleh gandaria. Di
Kalimantan nama lokalnya dikenal dengan Ramania dan merupakan makanan budaya
bagi suku Dayak. Di Aceh namanya merinya dan nama ini sangat khas Aceh. Di
Bengkalis diberi nama asam kundang, sama dengan Malaysia, Singapore dan Brunei,
dimana wilayah ini didominasi oleh suku yang sama dikenal dengan bangsa
serumpun Melayu. Di Jawa diberi nama Gandaria dan Jatake. Jadi setiap wilayah
memiliki nama-nama khas yang dapat menggambarkan asal-usul dari tanaman ini. Namun di Ambon
tanaman ini diberi nama gandaria, sama dengan nama yang ada di Jawa, sehingga
hal ini dapat memberikan satu asumsi bahwa gandaria yang ada di Ambon merupakan
introduksi dari pulau Jawa. Secara morfologi
gandaria dari Jawa dan Ambon memiliki banyak kesamaan, kecuali pada
ukuran buah yang tergolong cukup besar untuk buah yang berasal dari Ambon
(Harsono, 2012).
Gandaria adalah tumbuhan tropik basah dan dapat
tumbuh pada tanah yang ringan dan subur. Tumbuh liar di hutan dataran rendah di
bawah 300 m dpl., tetapi dalam pembudidayaan telah berhasil ditanam pada ketinggian
sekitar 850 m dpl (Rifai, 1991).
Dari
data yang didapatkan berdasarkan spesimen herbarium, maka diketahui bahwa gandaria ditemukan pada kawasan dataran
rendah, hingga ketinggian l.k. 500 m alt.
Pemanfaatan
Gandaria dimanfaatkan
dalam berbagai bentuk dan pengolahan. Gandaria dimanfaatkan buah, daun, dan batangnya. Buah gandaria berwarna
hijau saat masih muda, dan sering dikonsumsi sebagai rujak atau campuran sambal
gandaria. Buah gandaria yang matang berwarna kuning, memiliki rasa kecut-manis
dan dapat dimakan langsung. Daunnya sebagai lalap. Batang gandaria dapat
digunakan sebagai papan.
Di
Kalimantan, suku Dayak dan Suku Banjar juga memanfaatkan Bouea macrophylla Griffith ini sebagai sumber makanan khas daerah.
Di Kalimantan gandaria dikenal dengan nama Ramania, dan juga dimanfaatkan
sebagai sambal ramania yang sangat cocok dipakai untuk menemani lalapan, ayam,
ikan, tahu atau tempe goreng, maupun ikan asin. Cara membuat sambal ini cukup
sederhana, yaitu dengan menghaluskan bahan mentah berupa cabe rawit, bawang
merah, garam, gula atau MSG sedikit, dan terasi bakar. Bila bahan tersebut
sudah halus masukan buah ramania mentah yang diiris dan dimemarkan, aduk sampai
merata, siap dihidangkan. Jenis sambal ini dibuat untuk sekali makan. Sambal
ini cocok dikombinasikan dengan sayur rebus, lalapan, ikan bakar, ikan -goreng,
daging maupun sayur berkuah.
Gandaria dimanfaatkan mulai
dari buah, daun, hingga batangnya. Buah gandaria yang masih muda banyak
dimanfaatkan sebagai rujak atau sebagai campuran pada sambal gandaria yang
banyak diminati di Jawa Barat (Sunda). Buah Gandaria yang masih muda dapat pula
diramu menjadi rujak Kanistren yang
dipergunakan dalam upacara Tebus Wetengan
pada saat wanita Sunda hamil 7 bulan. Selain dibuat asinan dan sirup buah
gandaria yang sudah matang juga dapat dikonsumsi (dimakan) langsung. Di
Palembang gandaria muda selain dijadikan campuran sambal juga dijadikan sebagai
asinan dan manisan (Harsono, 2012).
Selain dua daerah yang memiliki pendayagunaan gandaria yang sangat khas
(Jawa barat dan Kalimantan), di beberapa lokasi lain yang menjadi sentra
produksi buah gandaria, komoditas ini umumnya dimanfaatkan sebagai konsumsi
buah segar, dan di beberapa lokasi di kalimantan lebih dikenal dengan
buah-buahan hutan, karena tidak dihasilkan lewat penanaman oleh penduduk,
tetapi didapatkan dari hutan-hutan yang berdekatan dengan lokasi tersebut.
Umumnya gandaria yang didapatkan dari hutan rasanya asam, kalaupun terasa manis
harus dipetik dalam keadaan yang sangat matang. Selain buahnya, warga lokal
memanfaatkan batang tanaman sebagai sumber papan untuk perumahan, perabotan
& kebutuhan lainnya.
Kesimpulan
(1) Marga Bouea
tersebar di kawasan Malesia (Indonesia, Malaysia, Brunei, Singa pore, Thailand,
Vietnam dan Selatan China).
(2) Tumbuh
pada kawasan tepi hutan, kebun warga dalam jumlah terbatas.
(3) Mencakup 2 jenis yaitu Bouea macrophylla
Griffith dan Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.
(4) Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. masih
memiliki variasi yang luas, sehingga membutuhkan pendekatan selain morfologi
untuk memastikan status taksonominya.
(5) Buah dan daun segar Bouea dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pemanfaatan kayunya
yang berkualitas baik, lambatnya pertumbuhan dan terbatasnya budidaya,
merupakan salah satu penyebab kelangkaan Bouea.
Pustaka
Anonim, 2011. Resep makanan Daerah Kalimantan. ttp://resepmasakandaerahku.
blogspot. com/2011/12/sambal-ramania.html.
Anonim, 2011. Resep makanan
Daerah Kalimantan. ttp://resepmasakandaerahku. blogspot.com/2011/12/sambal-ramania.html.
Ding Hou, 1978. Anacardiaceae. In: van Steenis, C.G.G.J. (Editor): Flora
Malesiana, Series 1. Vol. 8. p. 468.
Harsono, T. 2012. Urgency penyelamatan Plasma Nutfah Tumbuhan Langka Di
Sumatra. Studi Kasus Pada Tumbuhan Gandaria. Journal Sains Indonesia Vol. 36 (1) 34-50.
Rifai, M.A. 1991. Bouea macrophylla Griffith In: Verheij, E.W.M. and
Coronel, R.E. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible
fruits and nuts. Pudoc, Wageningen, The Netherlands, pp. 104-105
Griffith . 1854. Bouea macrophylla Griff., Pl. Cantor in Journal Asia Soc.
Benghal : 23 (1854)
Meisnerr. 1837. Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisn. Pl. Vasc. Gen.
2:55. 1837
Miquel. 1859. Bouea gandaria Blume ex Miq. Flora. Nedherland Indie
1(2):635. 1859
Pell., S.C. 2004.
Molecular Systematics of The
Cashew Family (Anacardiaceae). Dissertasion. The Depart. of
Biological Sciences. Louisiana State University
Rehatta,H. 2005. Potensi dan pengembangan tanaman gandaria (Bouea macro phylla Griffith) di desa Soya Kecamatan Sirimau,
Kota Ambon. Laporan Hasil Penelitian. Lemlit. Universitas Pattimura. Ambon.
Sastrapradja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989.
Mengenal sumber pangan nabati dan sumber plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian
Plasma Nutfah Nasional dan Puslitbang Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Bogor.