BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Gandaria (Bouea) merupakan salah satu marga dari suku Anacardiaceae (Ghazali & Mohammad, 2014) yang memiliki
persebaran di kawasan Malesia, yaitu suatu kawasan (region) yang terbentang di antara Benua Asia dan Australia meliputi
Pilipina, Brunei Darusalam, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(Gower et al., 2012). Malesia
merupakan kawasan dengan flora dan fauna yang khas serta hampir tidak ditemukan
di wilayah lainnya serta merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman flora
dan tipe vegetasi tertinggi di dunia (Mirmanto, 2009). Gandaria tersebar luas
di kawasan Malesia Barat yang meliputi Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Brunei
Darusallam, Singapura, dan Semenanjung Malaysia (Rifai, 1992). Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di
Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku.
Gandaria tumbuh di daerah beriklim
tropis basah dan membutuhkan tanah yang subur dan ringan (Brasmanto et al., 2015). Secara alami, tumbuhan
yang menjadi flora identitas provinsi Jawa Barat ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 300 meter diatas
permukaan laut, namun gandaria terbudidaya mampu tumbuh dengan baik hingga
ketinggian 850 meter diatas permukaan laut (Rifai, 1992). Laporan penelitian lain menyebutkan bahwa gandaria
merupakan tanaman endemik khas Maluku (Rehatta, 2005; Papilaya, 2007).
Hou (1975) menyatakan
bahwa marga Bouea mencakup 2 jenis
yaitu Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. dan Bouea macrophylla Griffith.
Jenis lain yaitu Bouea poilanei Evr.
(“Xoai Mu” and “Xoai Muc”) dengan ciri khas buah berwarna merah ditemukan di
Trang Bom, Vietnam (Le & Hancock, 1999). Berdasarkan pengamatan spesimen
herbarium, Harsono (2013) menyatakan bahwa terdapat sejumlah variasi morfologi
pada daun dan buah dari Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. yang ditemukan di Sumatra Tengah,
Pulau Belitung dan Kebun Raya Bogor.
Secara
konvensional, identifikasi suatu tanaman untuk menganalisis hubungan
kekerabatannya dapat dilakukan dengan mengkombinasikan penanda morfologi dengan
analisis biokimia (Waugh, 1997). Analisis penanda morfologi dilakukan dengan
memanfaatkan data hasil pengamatan dan pengukuran suatu karakter tertentu dari
morfologi (Falconer, 1970). Penanda morfologi sering menimbulkan persepsi yang
berbeda, karena plastisitasnya yang tinggi dan sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (Tanksley dan Bernatsky, 1989) sehingga banyak peneliti menggunakan penanda tambahan yang lebih stabil dan
mantap seperti penanda molekuler untuk mendukung identifikasi menggunakan
penanda morfologi (Yunus, 2007) karena sifat genetik lebih cenderung stabil
terhadap perubahan lingkungan dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga data
yang diperoleh relatif lebih akurat (Julisaniah et al., 2008).
Berbagai
penanda molekuler dapat digunakan sebagai alat bantu analisis keragaman genetik tanaman diantaranya RAPD (Random Amplified Polymorfism DNA), AFLP
(Amplified Fragment Length Polymorfism),
RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorfism), SSR (Simple Sequence
Repeat), dan ISSR (Inter-simple
Sequence Repeat). Masing-masing penanda molekuler tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. ISSR merupakan semiarbitrary marker yang
komplemen dengan mikrosatelit, memberikan analisa yang cepat, murah, tidak
membutuhkan informasi sekuen, multilokus, tingkat polimorfisme tinggi, dan
menghasilkan penanda dominan (Zietkiewicz et al., 1994; Mishra et
al., 2003). Selain itu penanda ISSR sangat baik digunakan untuk membedakan
antar individu yang berkerabat dekat dan dapat diaplikasikan untuk studi
variasi di dalam populasi maupun antar populasi (Gonzalez et al., 2005).
Penggunaan
penanda molekuler berbasis pada DNA inti seperti ISSR akan menghasilkan
pengelompokan antar gandaria B.
macrophylla dan B. oppositifolia yang
bersifat parafiletik karena pada DNA inti terjadi rekombinasi. Meskipun
rekombinasi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies, sangat sulit
untuk mendapatkan informasi leluhur dari gen yang telah terekombinasi (Taberlet
et al., 1991). Oleh karena itu perlu
menggunakan penanda yang mengalami perubahan lebih lambat seperti pada DNA
sitoplasmik (DNA kloroplas (cpDNA)
dan DNA mitokondria (mtDNA))
(Fitmawati, 2008). Analisis filogenetik membutuhkan penanda molekuler yang
lebih konservatif (tidak mudah berubah) seperti penanda cpDNA trnL-F intergenik
spacer. Penanda ini sering digunakan para peneliti karena sangat
konservatif dan laju evolusi yang rendah sehingga dapat digunakan untuk
rekontruksi filogeni antar taksa pada tingkatan famili tumbuhan berbunga (Clegg
dan Dublin, 1990; Kajita et al.,
1998). Sekuen cpDNA trnL-F intergenik
spacer memiliki tingkat evolusi yang rendah sehingga memiliki keterbatasan
dalam mengamati hubungan intraspesifik (Taberlet et al., 1991).
Persebaran marga Bouea di kawasan Malesia berhubungan dengan berbagai faktor ekologi
yang ada di habitatnya. Citra satelit, Geographical
Information System (GIS), dan pemodelan ekologis merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam melakukan manajemen dan konservasi suatu mahluk hidup
(Wockner et al., 2003). Studi
menggunakan GIS dan pemodelan ekologis digunakan untuk menganalisis secara
statistik dan matematik hubungan antara lapisan-lapisan data abiotik (curah
hujan, topografi, jenis tanah, kemiringan), data biotik (tipe tutupan lahan dan
wilayah jelajah), dan data antropogenik (jarak titik pada sungai dan batas
wilayah secara administratif) (Dettki et
al., 2003). Interaksi antara berbagai faktor ekologi menimbulkan dampak
terhadap pertumbuhan dan perkembangan, persebaran, dan keanekaragaman tumbuhan. Analisis terhadap data spasial ini
dikombinasikan untuk mengidentifikasi wilayah habitat yang sesuai dengan
habitat mahluk hidup yang akan dikonservasi (Lauver et al., 2002) sehingga memperbesar peluang keberhasilan konservasi.
Selain itu, GIS juga digunakan untuk menilai dan mengevaluasi pola-pola lanskap
beserta perubahannya (Sessions et al., 1994),
menilai fragmentasi habitat, dan membuat pemodelan distribusi spesies (He et al., 1989).
Pemodelan spasial secara kuantitatif
terhadap kesesuaian habitat merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
mengelola suatu populasi mahluk hidup dan strategi konservasi pada skala
lanskap (Osborne et al., 2001). Model
kesesuaian habitat merupakan hubungan fungsional antara suatu jenis makhluk
hidup dengan variabel-variabel habitatnya (Wildlife Service, 1981). Model ini merupakan
metode yang efektif dan efisien dalam menilai kualitas habitat suatu jenis
mahluk hidup (Brooks, 1997). Model ini diterapkan dalam analisis untuk
memperkirakan ukuran populasi, rentang geografis dan juga mengidentifikasi
dampak perubahan habitat (Schwartz et al.,
2001). Studi ekologi yang berkesinambungan, dokumentasi yang akurat, dan
koleksi spesies menjadi sangat penting karena keanekaragaman spesies terus
menerus menurun. Model distribusi kesesuaian habitat mampu memberikan informasi
yang diperlukan tentang aspek ekologi dan distribusi geografis spesies sehingga
dapat menggambarkan habitat paling ideal bagi gandaria Bouea di kawasan Malesia Barat untuk menentukan distribusi
habitatnya dimasa yang akan datang sehingga memberikan informasi yang akurat
dalam penentuan konservasi Bouea dimasa
yang akan datang.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a)
Bagaimana variasi morfologi marga Bouea yang terdapat di Indonesia?
b)
Bagaimana variasi genetik marga Bouea di Indonesia berdasarkan penanda ISSR (Inter Space Simple Repeat)?
c)
Bagaimana hubungan filogenetik marga Bouea
di Indonesia dengan menggunakan penanda cpDNA trnL-F Intergenik
spacer?
d)
Bagaimana distribusi marga Bouea di Indonesia berdasarkan analisis modeling spasial?
1.3.
Tujuan
Penelitian
a) Mengidentifikasi variasi marga Bouea di Indonesia berdasarkan karakter morfologi.
b) Mengidentifikasi variasi marga Bouea di Indonesia berdasarkan karakter
molekuler menggunakan penanda ISSR (Inter Space Simple
Repeat).
c) Mengidentifikasi hubungan kekerabatan jenis dari
marga Bouea di Indonesia berdasarkan
karakter molekuler sekuen trnL-F
Intergenik spacer cpDNA.
d) Menganalisis distribusi modeling spasial dengan menghubungkan
data koordinat dengan data spasial terhadap persebaran marga Bouea di Indonesia.
1.4.
Novelty
a) Penelitian Biosistematika Gandaria Indonesia menggunakan
pendekatan morfologi, ISSR, cpDNA dan
distribusi spasial.
b) Persebaran Gandaria di Pantai Timur Sumatra dan
Belitung serta Ambon.
c) Varian baru Bouea
oppositifolia (Roxb.) koleksi Kebun
Raya Bogor asal Lampung, Batang Sumani, Riau dan Sumatra Utara.
1.5.
Manfaat Penelitian
a) Menyediakan database
variasi marga Bouea Indonesia
menggunakan penanda morfologi dan molekuler yang dapat digunakan sebagai salah
satu acuan bagi pengguna lain untuk mempelajari keanekaragaman marga Bouea di Indonesia untuk dalam kegiatan
pemuliaan dan konservasi.
b) Pola kekerabatan dalam marga Bouea merupakan satu data yang bermanfaat untuk pengembangan jenis
dan kultivar yang potensial di masa yang akan datang.
c) Data distribusi spasial marga Bouea Indonesia yang dikaitkan dengan faktor ekologi merupakan satu
acuan yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi area kekayaan jenis, wilayah
konservasi dan lokasi pembudidayaan yang sesuai dengan jenis dan kultivar
kultivar dari marga Bouea.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar