Senin, 12 Juni 2017


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Pendahuluan   
Gandaria (Bouea) merupakan salah satu  marga dari suku Anacardiaceae (Ghazali & Mohammad, 2014) yang memiliki persebaran di kawasan Malesia, yaitu suatu kawasan (region) yang terbentang di antara Benua Asia dan Australia meliputi Pilipina, Brunei Darusalam, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (Gower et al., 2012). Malesia merupakan kawasan dengan flora dan fauna yang khas serta hampir tidak ditemukan di wilayah lainnya serta merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman flora dan tipe vegetasi tertinggi di dunia (Mirmanto, 2009). Gandaria tersebar luas di kawasan Malesia Barat yang meliputi Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Brunei Darusallam, Singapura, dan Semenanjung Malaysia (Rifai, 1992). Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku.
Gandaria tumbuh di daerah beriklim tropis basah dan membutuhkan tanah yang subur dan ringan (Brasmanto et al., 2015). Secara alami, tumbuhan yang menjadi flora identitas provinsi Jawa Barat ini tumbuh di  dataran rendah hingga ketinggian 300 meter diatas permukaan laut, namun gandaria terbudidaya mampu tumbuh dengan baik hingga ketinggian 850 meter diatas permukaan laut (Rifai, 1992). Laporan penelitian lain menyebutkan bahwa gandaria merupakan tanaman endemik khas Maluku (Rehatta, 2005; Papilaya, 2007).
Hou (1975) menyatakan bahwa marga Bouea mencakup 2 jenis yaitu Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. dan Bouea macrophylla Griffith. Jenis lain yaitu Bouea poilanei Evr. (“Xoai Mu” and “Xoai Muc”) dengan ciri khas buah berwarna merah ditemukan di Trang Bom, Vietnam (Le & Hancock, 1999). Berdasarkan pengamatan spesimen herbarium, Harsono (2013) menyatakan bahwa terdapat sejumlah variasi morfologi pada daun dan buah  dari Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. yang ditemukan di Sumatra Tengah, Pulau Belitung dan Kebun Raya Bogor.
Secara konvensional, identifikasi suatu tanaman untuk menganalisis hubungan kekerabatannya dapat dilakukan dengan mengkombinasikan penanda morfologi dengan analisis biokimia (Waugh, 1997). Analisis penanda morfologi dilakukan dengan memanfaatkan data hasil pengamatan dan pengukuran suatu karakter tertentu dari morfologi (Falconer, 1970). Penanda morfologi sering menimbulkan persepsi yang berbeda, karena plastisitasnya yang tinggi dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Tanksley dan Bernatsky, 1989) sehingga banyak peneliti menggunakan penanda tambahan yang lebih stabil dan mantap seperti penanda molekuler untuk mendukung identifikasi menggunakan penanda morfologi (Yunus, 2007) karena sifat genetik lebih cenderung stabil terhadap perubahan lingkungan dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga data yang diperoleh relatif lebih akurat (Julisaniah et al., 2008).
Berbagai penanda  molekuler  dapat digunakan sebagai alat bantu analisis  keragaman genetik  tanaman diantaranya RAPD (Random Amplified Polymorfism DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorfism), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorfism), SSR (Simple Sequence Repeat), dan ISSR (Inter-simple Sequence Repeat). Masing-masing penanda molekuler tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. ISSR merupakan semiarbitrary marker yang komplemen dengan mikrosatelit, memberikan analisa yang cepat, murah, tidak membutuhkan informasi sekuen, multilokus, tingkat polimorfisme  tinggi, dan  menghasilkan penanda dominan (Zietkiewicz et al., 1994; Mishra et al., 2003). Selain itu penanda ISSR sangat baik digunakan untuk membedakan antar individu yang berkerabat dekat dan dapat diaplikasikan untuk studi variasi di dalam populasi maupun antar populasi (Gonzalez et al., 2005).
Penggunaan penanda molekuler berbasis pada DNA inti seperti ISSR akan menghasilkan pengelompokan antar gandaria B. macrophylla dan B. oppositifolia yang bersifat parafiletik karena pada DNA inti terjadi rekombinasi. Meskipun rekombinasi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies, sangat sulit untuk mendapatkan informasi leluhur dari gen yang telah terekombinasi (Taberlet et al., 1991). Oleh karena itu perlu menggunakan penanda yang mengalami perubahan lebih lambat seperti pada DNA sitoplasmik (DNA kloroplas (cpDNA) dan DNA mitokondria (mtDNA)) (Fitmawati, 2008). Analisis filogenetik membutuhkan penanda molekuler yang lebih konservatif (tidak mudah berubah) seperti penanda cpDNA trnL-F intergenik spacer. Penanda ini sering digunakan para peneliti karena sangat konservatif dan laju evolusi yang rendah sehingga dapat digunakan untuk rekontruksi filogeni antar taksa pada tingkatan famili tumbuhan berbunga (Clegg dan Dublin, 1990; Kajita et al., 1998). Sekuen cpDNA trnL-F intergenik spacer memiliki tingkat evolusi yang rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam mengamati hubungan intraspesifik (Taberlet et al., 1991).
Persebaran marga Bouea di kawasan Malesia berhubungan dengan berbagai faktor ekologi yang ada di habitatnya. Citra satelit, Geographical Information System (GIS), dan pemodelan ekologis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam melakukan manajemen dan konservasi suatu mahluk hidup (Wockner et al., 2003). Studi menggunakan GIS dan pemodelan ekologis digunakan untuk menganalisis secara statistik dan matematik hubungan antara lapisan-lapisan data abiotik (curah hujan, topografi, jenis tanah, kemiringan), data biotik (tipe tutupan lahan dan wilayah jelajah), dan data antropogenik (jarak titik pada sungai dan batas wilayah secara administratif) (Dettki et al., 2003). Interaksi antara berbagai faktor ekologi menimbulkan dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan, persebaran, dan keanekaragaman  tumbuhan. Analisis terhadap data spasial ini dikombinasikan untuk mengidentifikasi wilayah habitat yang sesuai dengan habitat mahluk hidup yang akan dikonservasi (Lauver et al., 2002) sehingga memperbesar peluang keberhasilan konservasi. Selain itu, GIS juga digunakan untuk menilai dan mengevaluasi pola-pola lanskap beserta perubahannya (Sessions et al., 1994), menilai fragmentasi habitat, dan membuat pemodelan distribusi spesies (He et al., 1989).
Pemodelan spasial secara kuantitatif terhadap kesesuaian habitat merupakan suatu hal yang sangat penting dalam mengelola suatu populasi mahluk hidup dan strategi konservasi pada skala lanskap (Osborne et al., 2001). Model kesesuaian habitat merupakan hubungan fungsional antara suatu jenis makhluk hidup dengan variabel-variabel habitatnya (Wildlife Service, 1981). Model ini merupakan metode yang efektif dan efisien dalam menilai kualitas habitat suatu jenis mahluk hidup (Brooks, 1997). Model ini diterapkan dalam analisis untuk memperkirakan ukuran populasi, rentang geografis dan juga mengidentifikasi dampak perubahan habitat (Schwartz et al., 2001). Studi ekologi yang berkesinambungan, dokumentasi yang akurat, dan koleksi spesies menjadi sangat penting karena keanekaragaman spesies terus menerus menurun. Model distribusi kesesuaian habitat mampu memberikan informasi yang diperlukan tentang aspek ekologi dan distribusi geografis spesies sehingga dapat menggambarkan habitat paling ideal bagi gandaria Bouea di kawasan Malesia Barat untuk menentukan distribusi habitatnya dimasa yang akan datang sehingga memberikan informasi yang akurat dalam penentuan konservasi Bouea dimasa yang akan datang.

1.2.  Permasalahan
  Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a)    Bagaimana variasi morfologi marga Bouea yang terdapat di Indonesia?
b)    Bagaimana variasi genetik marga Bouea di Indonesia berdasarkan penanda ISSR (Inter Space Simple Repeat)?
c)    Bagaimana hubungan filogenetik  marga Bouea di Indonesia dengan menggunakan penanda cpDNA trnL-F Intergenik spacer?
d)   Bagaimana distribusi marga Bouea di Indonesia berdasarkan analisis modeling spasial?

          1.3.        Tujuan Penelitian

a)      Mengidentifikasi variasi marga Bouea di Indonesia berdasarkan karakter morfologi.
b)   Mengidentifikasi variasi marga Bouea di Indonesia berdasarkan karakter molekuler menggunakan penanda ISSR (Inter Space Simple Repeat).
c)   Mengidentifikasi hubungan kekerabatan jenis dari marga Bouea di Indonesia berdasarkan karakter molekuler sekuen trnL-F Intergenik spacer cpDNA.
d)     Menganalisis distribusi modeling spasial dengan menghubungkan data koordinat dengan data spasial terhadap persebaran marga Bouea di Indonesia.

         1.4.        Novelty
a)    Penelitian Biosistematika Gandaria Indonesia menggunakan pendekatan morfologi, ISSR, cpDNA dan distribusi spasial.
b)   Persebaran Gandaria di Pantai Timur Sumatra dan Belitung serta Ambon.
c)    Varian baru Bouea oppositifolia (Roxb.) koleksi Kebun Raya Bogor asal Lampung, Batang Sumani, Riau dan Sumatra Utara.

         1.5.        Manfaat Penelitian
a)    Menyediakan database variasi marga Bouea Indonesia menggunakan penanda morfologi dan molekuler yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pengguna lain untuk mempelajari keanekaragaman marga Bouea di Indonesia untuk dalam kegiatan pemuliaan dan konservasi.
b) Pola kekerabatan dalam marga Bouea merupakan satu data yang bermanfaat untuk pengembangan jenis dan kultivar yang potensial di masa yang akan datang.

c) Data distribusi spasial marga Bouea Indonesia yang dikaitkan dengan faktor ekologi merupakan satu acuan yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi area kekayaan jenis, wilayah konservasi dan lokasi pembudidayaan yang sesuai dengan jenis dan kultivar kultivar dari marga Bouea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar