Senin, 12 Juni 2017


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.   Morfologi Gandaria
Gandaria merupakan nama pohon dan buah dari suku Anacardiaceae yang lebih dikenal dengan nama Bouea. Marga ini terdiri atas 3 jenis yaitu  Bouea macrophylla, Bouea oppositifolia dan Bouea poilanei (The Plant List, 2010). Dua jenis pertama menyebar di kawasan Malesia sedangkan jenis yang ke 3 dilaporkan tumbuh di Vietnam. Gandaria dimanfaatkan mulai dari buah, daun, hingga batangnya. Buah gandaria yang masih muda sering dikonsumsi sebagai rujak atau campuran sambal gandaria. Buah gandaria yang matang dapat dimakan langsung. Daun gandaria sering digunakan sebagai lalap. Sedangkan batang gandaria dapat dimanfaatkan sebagai papan dan bahan bangunan. Gandaria dikenal dengan bebe rapa sebutan seperti ramania (Kalimantan Selatan) Asam kundang atau kundang an (Malaysia), gandaria (Jawa), jatake, gandaria (Sunda), remieu (Gayo), barania (Dayak ngaju), dandoriah (Minangkabau), wetes (Sulawesi Utara), Kalawasa, rapo-rapo kebo (Makasar), buwa melawe (Bugis). (Heyne,  1927)
Ciri-ciri dari tanaman gandaria (Bouea macrophylla) adalah pohon dengan ketinggian mencapai 27 meter, tajuk yang membulat, rimbun dengan untaian daun berjuntai serta memiliki pertumbuhan yang lambat. Daun bundar telur memanjang sampai lanset atau jorong. Permukaan daun mengkilat dan berujung runcing. Ukuran daun antara 11- 45 cm (panjang) dan 4 – 13 cm (lebar). Bunga muncul dari ketiak daun berbentuk malai. Bunga berwarna kekuningan yang kemudian berubah kecoklatan. Buah membulat dengan diameter antara 2.5-5 cm. Buah muda berwarna hijau. Ketika mulai tua dan matang buah berwarna kuning hingga jingga. Buah memiliki daging buah yang mengeluarkan cairan kental. Buah ini memiliki bau khas yang menyengat dan memiliki rasa agak asam hingga manis (Rifai, 1991).
Bouea macrophylla adalah salah satu anggota marga Bouea yang berkerabat dekat dengan Bouea oppositifolia. Sebagian besar masih tumbuh liar dan tersebar dari Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaysia. Hou (1978) melaporkan bahwa marga Bouea hanya mencakup 2 jenis berdasarkan bentuk, ukuran daun dan ukuran kuncup  yaitu  Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia. Ciri bersama yang dimiliki oleh kedua jenis ini adalah ciri duduk daun yang berhadapan (opposite) dan  ciri yang membedakan jenis-jenis di atas adalah  ukuran daun dan tunas yang tumbuh di ketiak daun, namun Harsono (2013) melaporkan pada beberapa spesimen tersebut terdapat rentang ciri morfologi yang cukup melebar ditinjau dari bentuk dan ukuran daun (Gambar 2.1.) serta masih memungkinkan untuk ditinjau ulang. Selanjutnya dilaporkan juga adanya sejumlah variasi pada bentuk, warna, ukuran dan bercak kulit buah gandaria yang tidak dilaporkan Hou pada waktu melakukan identifikasi (Gambar 2.2. dan Gambar 2.3). Selain itu Rehatta (2005) dan Papilaya (2007) melaporkan adanya Bouea di Ambon, dengan ciri daun yang mirip dengan Bouea macrophylla namun dengan ukuran, bentuk, dan warna  buah yang berbeda dengan yang sudah dilaporkan sebelumnya. Secara taksonomi tidak dijumpai permasalahan batasan jenis pada Bouea, namun pada tingkatan di bawah jenis ditemukan banyak keragaman yang dikenal dari banyaknya nama lokal yang mengacu kepada jenis ini serta adanya perbedaan rasa pada daging buahnya
Gandaria secara taksonomi mengalami banyak pergantian nama. Beberapa nama yang pernah diberikan kepada jenis ini antara lain Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisn., Bouea angustifolia Blume, Bouea burmanica Griff.,  Bouea burmanica Griff. var. kurzii Pierre, Bouea burmanica Griff. var. microphylla (Griff) Engl., Bouea burmanica Griff. var. roxburghii Pierre, Bouea diversifolia Miq., Bouea microphylla Griff., Bouea myrsinoides Blume, Mangifera oppositifolia Roxb., Mangifera oppositifolia Roxb. var. microphylla (Griff.) Merr., Mangifera oppositifolia Roxb. var. roxburghii (Pierre) Tard.,  Matania laotica Gagnep. Berdasarkan revisi terakhir, diketahui bahwa nama yang benar untuk gandaria adalah Bouea macrophylla Griffith (Rifai, 1992).

A

B

Gambar 2.1. Daun Gandaria B. macrophylla (A) dan B. oppositifolia (B)
                       (Sumber: Lim, 2012)

A

B

Gambar  2.2. Buah Gandaria B. macrophylla (A)  dan  B. oppositifolia (B) (Sumber: Lim, 2012)

       
A

B

Gambar 2.3. Buah matang gandaria B. macrophylla (A) dan B. oppositifolia (B)
                  (Sumber: Lim, 2012)

Tanaman gandaria (Bouea macrophylla) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang juga terdapat di semenanjung Malaysia dan Thailand. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Pohon gandaria tumbuh di daerah beriklim tropis yang basah. Secara alami, tumbuhan yang menjadi flora identitas provinsi Jawa barat ini tumbuh di daerah dataran rendah hingga pada ketinggian 300 meter diatas permukaan laut. Pada tanaman yang dibudidayakan, gandaria mampu tumbuh dengan baik hingga ketinggian 850 meter diatas permukaan laut (Rifai, 1991).
Gandaria dimanfaatkan mulai dari buah, daun, hingga batangnya. Buah gandaria yang masih muda banyak dimanfaatkan sebagai rujak atau sebagai campuran pada sambal gandaria yang banyak diminati di Jawa Barat (Sunda). Buah Gandaria yang masih muda dapat pula diramu menjadi rujak Kanistren yang dipergunakan dalam upacara Tebus Wetengan pada saat wanita sunda hamil tujuh bulan. Selain dibuat asinan dan sirup buah gandaria yang sudah matang juga dapat dikonsumsi (dimakan) langsung. Daun gandaria yang masih muda sering kali dimanfaatkan sebagai lalap. Batang pohon gandaria bisa digunakan sebagai papan dan bahan bangunan lainnya. Di samping manfaat dari buah, daun, dan batang (kayu) gandaria. Pohon ini juga cocok ditanam di halaman sebagai tanaman peneduh karena memiliki tajuk yang lebat. Gandaria mudah beradaptasi pada lingkungan budidayanya dan merupakan salah satu komoditas buah-buahan tropis yang berpotensi baik, sehingga ditetapkan menjadi flora untuk Provinsi Jawa Barat. Gandari telah dibudidayakan dalam waktu yang cukup lama dan menjadi bagian dari budaya lokal dimana tumbuhan ini ditemukan, sehingga penyebutan nama tumbuhan ini menjadi beraneka ragam. Penyebutan nama gandaria yang berbeda-beda tersebut  merupakan satu cerminan asal usul dan persebarannya. Nama-nama yang diberikan untuk gandaria lebih mengikuti pola penamaan yang berkembang di kawasan Asia Tenggara sesuai dengan daerah dan negara asalnya (Harsono, 2012).
Berbagai  bentuk,  rasa,  dan  nama  daerah  buah  gandaria  dijumpai  di  beberapa wilayah Indonesia.  Ragam  morfologi  buah  gandaria  ada  yang  bulat  sampai membulat,  lonjong  dan  variasi  bobot  buah  gandaria. Berdasarkan  rekaman data yang ada, diketahui bahwa gandaria hanya ditemukan di Ambon, Bogor dan Kalimantan, sedangkan keberadaan gandaria dari wilayah lain belum terdata dengan baik.  Selain  itu,  sering  terjadi  nama  yang  sama  mungkin  merujuk  pada  gandaria yang  berbeda  atau  sebaliknya  dua  nama  yang  berbeda  mungkin  dimaksudkan  untuk  satu  gandaria yang  sama.  Sebagai  contoh  buah ‘merinya’  dari  Aceh  memiliki  ciri-ciri  yang  sama  dengan  “gandaria” dari Bogor, “gondoria” dari Batusangkar, “jatake” dari Banten dan “Ramania” dari Kalimantan Selatan.  Keadaan  ini  menyulitkan  dalam  perdagangan  karena  tidak adanya kepastian penamaan maupun pengelolaan plasma-nutfah gandaria (Harsono, 2012).

2.2.   Data Molekuler
Penelitian yang dilakukan Hou (1978) menyatakan bahwa Bouea mencakup 2 jenis berdasarkan bentuk dan ukuran daunnya yaitu  Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia. Harsono (2013) melaporkan bahwa spesimen yang diperiksa oleh Hou (1978) berasal dari  Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Masih terdapat beberapa spesimen yang dikoleksi di atas tahun 1978 yang belum diperiksa dan jenis-jenis  yang disusun tersebut masih memiliki rentang ciri morfologi yang cukup melebar ditinjau dari bentuk dan ukuran daun, sehingga data keanekaragaman di seputar marga Bouea ini masih perlu ditinjau ulang. 
Identifikasi, karakterisasi, dan evaluasi varian varian gandaria baik yang sudah dibudidayakan  maupun kerabat dekatnya masih belum banyak dilakukan. Keanekaragaman gandaria Indonesia masih belum diidentifikasi  dengan baik. Berbeda halnya dengan varian varian gandaria asal Thailand yang telah mengalami perekayasaan menuju kultivar unggul (Harsono, 2013).  Pertautan  ciri  antar  varian dan  besarnya  plastisitas  ciri morfologi,  cukup  menyulitkan  dalam  membuat  batasan  kultivar  yang  ada, sehingga perlu didukung oleh sumber data dengan pendekatan lain (Fitmawati, 2010). Pemanfaatan ciri  molekuler  dapat  digunakan  untuk  mengidentifikasi  varian varian dan  menduga kekerabatan  antar  varian,  sehingga  variasi  genotipe  antar  varian dapat dibedakan dan dapat menghindari adanya duplikasi aksesi. Berbagai penanda  molekuler  dapat digunakan sebagai alat bantu analisis  genetik   tanaman diantaranya  RAPD,  AFLP, RFLP, SSR, dan ISSR. Masing-masing  teknik tersebut memiliki  kelebihan dan kekurangan.
ISSR  merupakan semi-arbitrary  marker  yang komplemen dengan microsatelit,  memberikan analisa  yang  cepat, murah, tidak membutuhkan informasi sekuen, multilokus, tingkat polimorfisme  tinggi, dan  menghasilkan penanda dominan (Zietkiewicz et al., 1994; Mishra et al., 2003).   Selain itu penanda ISSR sangat baik untuk membedakan antar  individu berkerabat dekat dan dapat diaplikasikan untuk studi  variasi di dalam  populasi (Gonzalez et al.,  2005).  Sementara itu penggunaan data ISSR dan RAPD berhasil mengungkap asal usul dan spatial distribution dari manggis Indonesia dimana pembentukan populasi manggis diawali  dari wilayah Tembilahan, kemudian menyebar ke Purwakarta, Kerinci dan Bulukumba (Mansyah, 2012).
Penanda ISSR berdasarkan kepada produk  amplifikasi dengan ukuran sekitar 100-3000 bp  dekat daerah mikrosatelit yang  merupakan  dasar beberapa  motif SSR. Teknik ISSR sangat bermanfaat untuk mengetahui instabilitas genetik pada  stadia  dini  kultur  in vitro,  evaluasi diversitas genetik,  identifikasi kultivar  dan monitoring  variasi somaklonal (Racoczy-Trojanowska et al., 2004). ISSR  lebih informatif daripada RAPD pada gandum, tanaman buah (strawberi dan apel) dan Pisum sativum (Korbin et al., 2002; Rakoczy-Trojanowska et al., 2004).  Penanda  ini cukup reprodusibel dan telah digunakan untuk karakterisasi secara cepat  pada  banyak kultivar seperti  Poplar (Gao et al., 2006), kacang kacangan (Gonzalez et al., 2005),  Cycad  (Xiao et al.,  2005),  studi  kekerabatan antara  kerabat jahe  (Wahyuni et a,. 2004), dan isolat Fusarium culmorum (Mishra et a,. 2003).

2.3. Kekerabatan
Berdasarkan nama lokal yang berbeda untuk lokasi berbeda, maka dapat diduga bahwa Bouea  merupakan tumbuhan asli  wilayah tersebut. Terdapat beberapa daerah yang berbeda tetapi memiliki nama lokal yang sama. Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan tentang wilayah mana yang merupakan daerah asal Bouea di Malesia dan jenis Bouea mana yang merupakan tetua untuk marga Bouea. Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, diperlukan satu kajian kekerabatan tentang marga Bouea. Informasi  kekerabatan dari marga Bouea masih  sangat  terbatas. Hal ini dikarenakan marga Bouea masih jarang di kaji dan dalam studi kekerabatan dan lebih sering dijadikan sebagai outgroup dalam analisis kekerabatan famili Anacardiaceae. Informasi filogeni molekuler ini sangat  penting dalam  rangka  memperjelas  kedudukan  sistematika  (klasifikasi),  konservasi,  dan menjadi  data  dasar keanekaragaman genetik untuk penangkar tanaman  gandaria dalam rangka perakitan gandaria unggul.
Dalam melakukan studi kekerabatan diperlukan penanda DNA yang mengalami perubahan lambat seperti DNA sitoplasmik (DNA kloroplas dan DNA mitokondria). Penanda kloroplas (cpDNA) yang banyak digunakan adalah trnL-F intergenic spacer, merupakan bagian dari genom cpDNA yang bersifat nonkoding, region ini lebih bervariasi dibanding region koding, sehingga lebih sesuai digunakan dalam mengungkap hubungan evolusi pada tingkat taksa yang lebih rendah (Bayer et al., 2000). Beberapa studi pada daerah non koding kloroplas memperlihatkan variasi yang lebih tinggi dan sering mengalami mutasi (Baldwin et al., 1995) dalam bentuk transversi, transisi, insersi, dan delesi.
Daerah intergenic spacer antara trnL (UAA) 3’ exon dan gen trnF (GAA) juga berpotensi untuk studi kekerabatan (Soltis et al., 1998). Daerah DNA ini mudah diamplifikasi dan disekuen, ukurannya relatif kecil 120-350 bp dan gen kopi tunggal (single copy), sehingga relatif mudah untuk menguji keseluruhan genom. Sekuen daerah trnL-F lebih informatif pada tingkatan marga dan jenis (Alejandro et al., 2005, Barfuss et al., 2005, Shaw et al., 2005).
Penggunaan penanda molekuler kloroplas (cpDNA) untuk mengungkap keanekaragaman, menelusuri hubungan kekerabatan berdasarkan evolusinya dan memperjelas kedudukan taksa gandaria di Indonesia belum pernah dilakukan. Penanda ini sangat bermanfaat untuk mendukung data molekuler gandaria yang sudah ada sebelumnya, sekaligus untuk memahami evolusi gandaria berdasarkan sekuen DNA kloroplasnya. Informasi evolusi gandaria bermakna untuk memprediksi tetua bersama dari gandaria yang ada di Indonesia saat ini. Penanda cpDNA telah banyak digunakan untuk studi filogeni tanaman lainnya. Misalnya Morus oleh Weiguo et al., (2005), Cucumis spp. oleh Chung et al., (2006). cpDNA sering digunakan sebagai penanda karena mudah diisolasi dan dipurifikasi, dikarakterisasi, dan dikloning, dan sangat konservatif dengan laju evolusi yang rendah, sehingga dapat digunakan untuk rekonstruksi filogeni  antar taksa pada tingkat famili tumbuhan berbunga (Clegg & Durbin 1990, Kajita et al., 1998).  

2.4.   Distribusi Gandaria
Gandaria merupakan salah satu tumbuhan khas kawasan Malesia. Beberapa informasi menyebutkan bahwa Sumatra bagian Utara dan Sumatra Bagian Tengah diduga merupakan daerah asal tanaman gandaria. Selain dua lokasi di atas, diketahui juga bahwa Jawa Barat merupakan sentra produksi gandaria di Jawa, bahkan telah ditetapkan sebagai flora maskot Provinsi Jawa Barat. Rifai (1991) menyatakan di Kalimantan juga ditemukan gandaria dan memiliki nama lokal ramania. Rehatta (2005) dan Papilaya (2007) menyatakan bahwa Ambon merupakan lokasi asli dimana gandaria berkembang pesat. Tiga lokasi (Sumatra, Jawa, Kalimantan) merupakan wilayah Malesia Barat, sedangkan Ambon merupakan wilayah Malesia timur yang berbatasan dengan garis Wallacea.
Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa Bouea umumnya ditemukan pada daerah dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Untuk Bouea budidaya masih bisa bertahan hidup pada ketinggian 850 m dpl. (Rifai, 1991). Wilayah ini sebagian besar merupakan daerah pesisir pantai dan daerah pemukiman, sehingga merupakan salah satu penyebab, mengapa plasma nutfah gandaria terus saja mengalami erosi genetika. Berdasarkan data yang ada di lembar herbarium (BO) juga diketahui bahwa habitat alami marga Bouea terbatas pada hutan hujan tropik dataran rendah. Keanekaragaman genetik tertinggi dijumpai di daerah bagian barat kawasan Malesia yaitu Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Thailand, Sumatra, Jawa, dan Ambon. Tumbuh di bawah kanopi tegakan hutan alam dataran rendah dan lereng gunung, baik di hutan primer dan sekunder, dekat permukaan laut, umumnya tumbuh pada ketinggian antara 5 -350 m dpl. sangat jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 500 m dpl., pada lapisan tanah coklat gelap dan juga ditemukan pada bukit berpasir. Harsono (2012) melaporkan bahwa keragaman morfologi gandaria di Sumatra belum terekam lengkap. Namun dipastikan bahwa jenis ini tidak dibudidayakan, tumbuh di tepi hutan berbatasan dengan lokasi pemukiman warga, pemanfaatan masih bervariasi (terutama sebagai sumber kayu), di beberapa lokasi ditemukan tumbuh dengan ketinggian mencapai 30 meter dan diameter batang l.k. 100 cm, jenis ini tidak terlalu dikenal warga dan sudah sangat jarang ditemukan. Upaya konservasi harus segera dilakukan, karena akan menyebabkan terjadinya erosi genetika, sementara data keragaman genetikanya belum terekam dengan baik.
Perbedaan geografi dan kondisi ekologi yang ada di kawasan habitat, turut memberi peran penting dalam terjadinya variasi pada tumbuhan. Ahli genetika populasi telah lama mengenal bahwa keragaman genetik yang ada pada spesies merupakan struktur bertingkat (hierarchically structured). Perbedaan genetik mungkin terdapat antar individu didalam satu populasi, antar populasi di dalam daerah geografi yang sama, antar populasi dari daerah geografi berbeda, dan antar seluruh daerah geografi (Holsinger & Mason-Gamer 1996).
Persebaran gandaria terkait dengan berbagai faktor baik ekologi, polinator maupun faktor faktor yang berperan dalam persebarannya dalam satu kawasan ataupun di luar kawasan. Salah satu faktor penting dalam persebarannya adalah upaya pemanfaatan gandaria dalam kehidupan manusia. Etnosains merupakan satu bagian ilmu pengetahuan yang mengungkap kearifan lokal suatu kelompok etnis terhadap sumberdaya yang ada di sekitarnya. Pemanfaatan suatu sumberdaya baik nabati maupun hewani seringkali bermula dari kearifan lokal dimana sumberdaya tersebut ditemukan. Achmad et al., (1995) menyatakan tidak jarang kearifan lokal tersebut terkadang sangat mengagumkan. Sebagian besar ilmu farmakologi berkembang dari kearifan lokal yang ada dalam upaya pemanfaatan tumbuhan dan hewan sebagai obat-obatan. Friedberg (1995) menyatakan bahwa sedikit demi sedikit para ahli etnologi telah memulai mempelajari dengan suatu cara yang lebih luas tentang pengetahuan botanis lokal. Hal ini dikenal dengan etnosains yang menggambarkan seluruh pengetahuan atau pengenalan populer yang berhubungan dengan elemen yang berbeda di alam.

Di habitatnya, gandaria dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan aktifitas kehidupan. Harsono (2012) melaporkan bahwa suku Dayak di pedalaman Kalimantan memanfaatkan buahnya sebagai campuran sambal dan dikenal dengan sambal ramania. Di Jawa Barat buah muda gandaria dimanfaatkan sebagai bahan campuran sambal, asinan gandaria dan campuran rujak kanistren. Di Palembang buah muda dimanfaatkan untuk manisan. Di Padangbolak buah yang matang menjadi makanan monyet, dan kayunya yang tergolong kayu berkualitas dijadikan bahan pembuat kosen. Kayu dari genus Bouea baik digunakan dalam membuat kosen karena memiliki kualitas yang baik (Kim et al., 2012). Kayu yang berasal dari genus Bouea memiliki potensi yang baik karena memiliki kekuatan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai kayu komersil (Kim et al., 2014). Berbagai upaya pemanfaatan organ tumbuhan ini dalam kehidupan masyarakat lokal perlu diulas dan disusun dalam satu bahasan, sehingga datanya terekam dalam satu tulisan yang lebih bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar