BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Gandaria
Gandaria merupakan nama pohon dan
buah dari suku Anacardiaceae yang lebih
dikenal dengan nama Bouea. Marga ini
terdiri atas 3 jenis yaitu Bouea macrophylla, Bouea oppositifolia dan Bouea poilanei (The Plant List, 2010). Dua
jenis pertama menyebar di kawasan Malesia sedangkan jenis yang ke 3 dilaporkan
tumbuh di Vietnam. Gandaria dimanfaatkan mulai dari buah, daun, hingga
batangnya. Buah gandaria yang masih muda sering dikonsumsi sebagai rujak atau
campuran sambal gandaria. Buah gandaria yang matang dapat dimakan langsung.
Daun gandaria sering digunakan sebagai lalap. Sedangkan batang gandaria dapat
dimanfaatkan sebagai papan dan bahan bangunan. Gandaria dikenal dengan bebe rapa sebutan seperti ramania (Kalimantan Selatan) Asam
kundang atau kundang an (Malaysia), gandaria (Jawa), jatake, gandaria
(Sunda), remieu (Gayo), barania (Dayak ngaju), dandoriah (Minangkabau), wetes (Sulawesi Utara), Kalawasa, rapo-rapo kebo (Makasar), buwa melawe (Bugis). (Heyne, 1927)
Ciri-ciri
dari tanaman gandaria (Bouea macrophylla)
adalah pohon dengan ketinggian mencapai 27 meter, tajuk yang membulat, rimbun
dengan untaian daun berjuntai serta memiliki pertumbuhan yang lambat. Daun
bundar telur memanjang sampai lanset atau jorong. Permukaan daun mengkilat dan berujung
runcing. Ukuran daun antara 11- 45 cm (panjang) dan 4 – 13 cm (lebar). Bunga
muncul dari ketiak daun berbentuk malai. Bunga berwarna kekuningan yang
kemudian berubah kecoklatan. Buah membulat dengan diameter antara 2.5-5 cm.
Buah muda berwarna hijau. Ketika mulai tua dan matang buah berwarna kuning
hingga jingga. Buah memiliki daging buah yang mengeluarkan cairan kental. Buah
ini memiliki bau khas yang menyengat dan memiliki rasa agak asam hingga manis
(Rifai, 1991).
Bouea macrophylla adalah salah satu
anggota marga Bouea yang berkerabat
dekat dengan Bouea oppositifolia. Sebagian besar masih
tumbuh liar dan tersebar dari Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Semenanjung
Malaysia. Hou (1978) melaporkan bahwa marga Bouea
hanya mencakup 2 jenis berdasarkan bentuk, ukuran daun dan ukuran kuncup yaitu Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia. Ciri bersama yang
dimiliki oleh kedua jenis ini adalah ciri duduk daun yang berhadapan (opposite) dan ciri yang membedakan jenis-jenis di atas
adalah ukuran daun dan tunas yang tumbuh
di ketiak daun, namun Harsono (2013)
melaporkan pada beberapa spesimen tersebut terdapat rentang ciri morfologi yang
cukup melebar ditinjau dari bentuk dan ukuran daun (Gambar 2.1.) serta masih
memungkinkan untuk ditinjau ulang. Selanjutnya dilaporkan juga adanya sejumlah
variasi pada bentuk, warna, ukuran dan bercak kulit buah gandaria yang tidak
dilaporkan Hou pada waktu melakukan identifikasi (Gambar 2.2. dan Gambar 2.3).
Selain itu Rehatta (2005) dan Papilaya (2007) melaporkan adanya Bouea di
Ambon, dengan ciri daun yang mirip dengan Bouea macrophylla namun
dengan ukuran, bentuk, dan warna buah
yang berbeda dengan yang sudah dilaporkan sebelumnya. Secara taksonomi
tidak dijumpai permasalahan batasan jenis pada Bouea, namun pada tingkatan di bawah jenis ditemukan banyak
keragaman yang dikenal dari banyaknya nama lokal yang mengacu kepada jenis ini
serta adanya perbedaan rasa pada daging buahnya
Gandaria secara taksonomi mengalami banyak
pergantian nama. Beberapa nama yang pernah diberikan kepada jenis ini antara
lain Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisn., Bouea angustifolia Blume, Bouea burmanica
Griff., Bouea burmanica Griff. var. kurzii Pierre, Bouea burmanica Griff. var. microphylla (Griff) Engl., Bouea burmanica
Griff. var. roxburghii
Pierre, Bouea diversifolia Miq., Bouea microphylla Griff., Bouea myrsinoides
Blume, Mangifera oppositifolia Roxb., Mangifera oppositifolia Roxb. var. microphylla (Griff.) Merr., Mangifera oppositifolia Roxb. var. roxburghii (Pierre)
Tard., Matania laotica Gagnep. Berdasarkan
revisi terakhir, diketahui bahwa nama yang benar untuk gandaria adalah Bouea macrophylla Griffith (Rifai, 1992).
A |
B |
A |
B |
A |
B |
Tanaman gandaria (Bouea macrophylla) merupakan tumbuhan asli
Indonesia yang juga terdapat di semenanjung Malaysia dan Thailand. Di Indonesia
tanaman ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Pohon
gandaria tumbuh di daerah beriklim tropis yang basah. Secara alami, tumbuhan
yang menjadi flora identitas provinsi Jawa barat ini tumbuh di daerah dataran
rendah hingga pada ketinggian 300 meter diatas permukaan laut. Pada tanaman
yang dibudidayakan, gandaria mampu tumbuh dengan baik hingga ketinggian 850
meter diatas permukaan laut (Rifai, 1991).
Gandaria dimanfaatkan mulai dari buah, daun, hingga batangnya. Buah
gandaria yang masih muda banyak dimanfaatkan sebagai rujak atau sebagai
campuran pada sambal gandaria yang banyak diminati di Jawa Barat (Sunda). Buah
Gandaria yang masih muda dapat pula diramu menjadi rujak Kanistren
yang dipergunakan dalam upacara Tebus Wetengan pada saat wanita sunda
hamil tujuh bulan. Selain dibuat asinan dan sirup buah gandaria yang sudah
matang juga dapat dikonsumsi (dimakan) langsung. Daun gandaria yang masih muda
sering kali dimanfaatkan sebagai lalap. Batang pohon gandaria bisa digunakan
sebagai papan dan bahan bangunan lainnya. Di samping manfaat dari buah, daun,
dan batang (kayu) gandaria. Pohon ini juga cocok ditanam di halaman sebagai
tanaman peneduh karena memiliki tajuk yang lebat. Gandaria mudah beradaptasi
pada lingkungan budidayanya dan merupakan salah satu komoditas buah-buahan
tropis yang berpotensi baik, sehingga ditetapkan menjadi flora untuk Provinsi
Jawa Barat. Gandari telah dibudidayakan dalam waktu yang cukup lama dan menjadi
bagian dari budaya lokal dimana tumbuhan ini ditemukan, sehingga penyebutan
nama tumbuhan ini menjadi beraneka ragam. Penyebutan nama gandaria yang
berbeda-beda tersebut merupakan satu
cerminan asal usul dan persebarannya. Nama-nama yang diberikan untuk gandaria
lebih mengikuti pola penamaan yang berkembang di kawasan Asia Tenggara sesuai
dengan daerah dan negara asalnya (Harsono, 2012).
Berbagai
bentuk, rasa, dan
nama daerah buah
gandaria dijumpai di
beberapa wilayah Indonesia.
Ragam morfologi buah
gandaria ada yang
bulat sampai membulat, lonjong
dan variasi bobot
buah gandaria. Berdasarkan rekaman data yang ada, diketahui bahwa
gandaria hanya ditemukan di Ambon, Bogor dan Kalimantan, sedangkan keberadaan
gandaria dari wilayah lain belum terdata dengan baik. Selain
itu, sering terjadi
nama yang sama
mungkin merujuk pada
gandaria yang berbeda atau
sebaliknya dua nama
yang berbeda mungkin
dimaksudkan untuk satu
gandaria yang sama. Sebagai
contoh buah ‘merinya’ dari
Aceh memiliki ciri-ciri
yang sama dengan
“gandaria” dari Bogor, “gondoria” dari Batusangkar, “jatake” dari Banten
dan “Ramania” dari Kalimantan Selatan.
Keadaan ini menyulitkan
dalam perdagangan karena
tidak adanya kepastian penamaan maupun pengelolaan plasma-nutfah
gandaria (Harsono, 2012).
2.2. Data Molekuler
Penelitian
yang dilakukan Hou (1978) menyatakan bahwa Bouea mencakup 2 jenis berdasarkan bentuk dan ukuran daunnya
yaitu Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia. Harsono
(2013) melaporkan bahwa spesimen yang diperiksa oleh Hou (1978) berasal
dari Sumatra, Jawa, Kalimantan dan
Semenanjung Malaysia. Masih terdapat beberapa spesimen yang dikoleksi di atas
tahun 1978 yang belum diperiksa dan jenis-jenis
yang disusun tersebut masih memiliki rentang ciri morfologi yang cukup
melebar ditinjau dari bentuk dan ukuran daun, sehingga data keanekaragaman di
seputar marga Bouea ini masih perlu ditinjau ulang.
Identifikasi, karakterisasi, dan
evaluasi varian varian gandaria baik yang sudah dibudidayakan maupun kerabat dekatnya masih belum banyak
dilakukan. Keanekaragaman gandaria Indonesia masih belum diidentifikasi dengan baik. Berbeda halnya dengan varian
varian gandaria asal Thailand yang telah mengalami perekayasaan menuju kultivar
unggul (Harsono, 2013). Pertautan ciri
antar varian dan besarnya
plastisitas ciri morfologi, cukup
menyulitkan dalam membuat
batasan kultivar yang
ada, sehingga perlu didukung oleh sumber data dengan pendekatan lain
(Fitmawati, 2010). Pemanfaatan ciri
molekuler dapat digunakan
untuk mengidentifikasi varian varian dan menduga kekerabatan antar varian, sehingga
variasi genotipe antar varian
dapat dibedakan dan dapat menghindari adanya duplikasi aksesi. Berbagai
penanda molekuler dapat digunakan sebagai alat bantu
analisis genetik tanaman diantaranya RAPD,
AFLP, RFLP, SSR, dan ISSR. Masing-masing teknik tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.
ISSR
merupakan semi-arbitrary
marker yang komplemen dengan
microsatelit, memberikan analisa yang
cepat, murah, tidak membutuhkan informasi sekuen, multilokus, tingkat
polimorfisme tinggi, dan menghasilkan penanda dominan (Zietkiewicz et
al., 1994; Mishra et al., 2003).
Selain itu penanda ISSR sangat baik untuk membedakan antar individu berkerabat dekat dan dapat
diaplikasikan untuk studi variasi di
dalam populasi (Gonzalez et al., 2005).
Sementara itu penggunaan data ISSR dan RAPD berhasil mengungkap asal
usul dan spatial distribution dari manggis Indonesia dimana pembentukan
populasi manggis diawali dari wilayah
Tembilahan, kemudian menyebar ke Purwakarta, Kerinci dan Bulukumba (Mansyah,
2012).
Penanda ISSR berdasarkan kepada
produk amplifikasi dengan ukuran sekitar
100-3000 bp dekat daerah mikrosatelit
yang merupakan dasar beberapa motif SSR. Teknik ISSR sangat bermanfaat
untuk mengetahui instabilitas genetik pada
stadia dini kultur
in vitro, evaluasi
diversitas genetik, identifikasi
kultivar dan monitoring variasi somaklonal (Racoczy-Trojanowska et al., 2004). ISSR lebih informatif daripada RAPD pada gandum,
tanaman buah (strawberi dan apel) dan Pisum sativum (Korbin et al.,
2002; Rakoczy-Trojanowska et al., 2004). Penanda
ini cukup reprodusibel dan telah digunakan untuk karakterisasi secara
cepat pada banyak kultivar seperti Poplar (Gao et al., 2006), kacang
kacangan (Gonzalez et al., 2005),
Cycad (Xiao et al.,
2005), studi kekerabatan antara kerabat jahe
(Wahyuni et a,. 2004), dan isolat Fusarium culmorum
(Mishra et a,. 2003).
2.3. Kekerabatan
Berdasarkan nama lokal yang berbeda
untuk lokasi berbeda, maka dapat diduga bahwa Bouea merupakan tumbuhan
asli wilayah tersebut. Terdapat beberapa
daerah yang berbeda tetapi memiliki nama lokal yang sama. Kondisi ini
menimbulkan satu pertanyaan tentang wilayah mana yang merupakan daerah asal Bouea di Malesia dan jenis Bouea mana yang merupakan tetua untuk
marga Bouea. Untuk dapat menjawab
pertanyaan ini, diperlukan satu kajian kekerabatan tentang marga Bouea. Informasi kekerabatan dari marga Bouea masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan marga Bouea masih jarang di kaji dan dalam
studi kekerabatan dan lebih sering dijadikan sebagai outgroup dalam analisis kekerabatan famili Anacardiaceae. Informasi filogeni molekuler ini sangat penting dalam
rangka memperjelas kedudukan
sistematika (klasifikasi), konservasi,
dan menjadi data dasar keanekaragaman genetik untuk penangkar tanaman gandaria dalam rangka perakitan gandaria
unggul.
Dalam melakukan studi kekerabatan
diperlukan penanda DNA yang mengalami perubahan lambat seperti DNA sitoplasmik (DNA
kloroplas dan DNA mitokondria). Penanda kloroplas (cpDNA) yang banyak digunakan adalah trnL-F intergenic spacer, merupakan bagian dari genom cpDNA yang bersifat nonkoding, region ini
lebih bervariasi dibanding region koding, sehingga lebih sesuai digunakan dalam
mengungkap hubungan evolusi pada tingkat taksa yang lebih rendah (Bayer et al.,
2000). Beberapa studi pada daerah non koding kloroplas memperlihatkan variasi
yang lebih tinggi dan sering mengalami mutasi (Baldwin et al., 1995)
dalam bentuk transversi, transisi, insersi, dan delesi.
Daerah intergenic spacer antara
trnL (UAA) 3’ exon dan gen trnF (GAA) juga berpotensi untuk studi
kekerabatan (Soltis et al., 1998). Daerah DNA ini mudah diamplifikasi dan
disekuen, ukurannya relatif kecil 120-350 bp dan gen kopi tunggal (single copy),
sehingga relatif mudah untuk menguji keseluruhan genom. Sekuen daerah trnL-F
lebih informatif pada tingkatan marga dan jenis (Alejandro et al.,
2005, Barfuss et al., 2005, Shaw et al., 2005).
Penggunaan penanda molekuler kloroplas
(cpDNA) untuk mengungkap
keanekaragaman, menelusuri hubungan kekerabatan berdasarkan evolusinya dan
memperjelas kedudukan taksa gandaria di Indonesia belum pernah dilakukan.
Penanda ini sangat bermanfaat untuk mendukung data molekuler gandaria yang
sudah ada sebelumnya, sekaligus untuk memahami evolusi gandaria berdasarkan sekuen
DNA kloroplasnya. Informasi evolusi gandaria bermakna untuk memprediksi tetua
bersama dari gandaria yang ada di Indonesia saat ini. Penanda cpDNA telah banyak digunakan untuk studi
filogeni tanaman lainnya. Misalnya Morus oleh Weiguo et al., (2005),
Cucumis spp. oleh Chung et al., (2006). cpDNA
sering digunakan sebagai penanda karena mudah diisolasi dan dipurifikasi,
dikarakterisasi, dan dikloning, dan sangat konservatif dengan laju evolusi yang
rendah, sehingga dapat digunakan untuk rekonstruksi filogeni antar taksa pada tingkat famili tumbuhan
berbunga (Clegg & Durbin 1990, Kajita et al., 1998).
2.4. Distribusi Gandaria
Gandaria merupakan salah satu tumbuhan khas kawasan
Malesia. Beberapa informasi menyebutkan bahwa Sumatra bagian Utara dan Sumatra
Bagian Tengah diduga merupakan daerah asal tanaman gandaria. Selain dua lokasi
di atas, diketahui juga bahwa Jawa Barat merupakan sentra produksi gandaria di
Jawa, bahkan telah ditetapkan sebagai flora maskot Provinsi Jawa Barat. Rifai
(1991) menyatakan di Kalimantan juga ditemukan gandaria dan memiliki nama lokal
ramania. Rehatta (2005) dan Papilaya (2007) menyatakan bahwa Ambon merupakan
lokasi asli dimana gandaria berkembang pesat. Tiga lokasi (Sumatra, Jawa,
Kalimantan) merupakan wilayah Malesia Barat, sedangkan Ambon merupakan wilayah
Malesia timur yang berbatasan dengan garis Wallacea.
Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa Bouea umumnya ditemukan pada daerah
dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl. Untuk Bouea budidaya masih bisa bertahan hidup pada ketinggian 850 m dpl.
(Rifai, 1991). Wilayah ini sebagian besar merupakan daerah pesisir pantai dan
daerah pemukiman, sehingga merupakan salah satu penyebab, mengapa plasma nutfah
gandaria terus saja mengalami erosi genetika. Berdasarkan data yang ada di
lembar herbarium (BO) juga diketahui bahwa habitat alami marga Bouea terbatas
pada hutan hujan tropik dataran rendah. Keanekaragaman genetik tertinggi
dijumpai di daerah bagian barat kawasan Malesia yaitu Kalimantan, Semenanjung
Malaysia, Thailand, Sumatra, Jawa, dan Ambon. Tumbuh di bawah kanopi tegakan
hutan alam dataran rendah dan lereng gunung, baik di hutan primer dan sekunder,
dekat permukaan laut, umumnya tumbuh pada ketinggian antara 5 -350 m dpl. sangat
jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 500 m dpl., pada lapisan tanah
coklat gelap dan juga ditemukan pada bukit berpasir. Harsono (2012) melaporkan
bahwa keragaman morfologi gandaria di Sumatra belum terekam lengkap. Namun
dipastikan bahwa jenis ini tidak dibudidayakan, tumbuh di tepi hutan berbatasan
dengan lokasi pemukiman warga, pemanfaatan masih bervariasi (terutama sebagai
sumber kayu), di beberapa lokasi ditemukan tumbuh dengan ketinggian mencapai 30
meter dan diameter batang l.k. 100 cm, jenis ini tidak terlalu dikenal warga
dan sudah sangat jarang ditemukan. Upaya konservasi harus segera dilakukan,
karena akan menyebabkan terjadinya erosi genetika, sementara data keragaman
genetikanya belum terekam dengan baik.
Perbedaan geografi dan kondisi ekologi yang ada di
kawasan habitat, turut memberi peran penting dalam terjadinya variasi pada
tumbuhan. Ahli genetika populasi telah lama mengenal bahwa keragaman genetik
yang ada pada spesies merupakan struktur bertingkat (hierarchically
structured). Perbedaan genetik mungkin terdapat antar individu didalam satu
populasi, antar populasi di dalam daerah geografi yang sama, antar populasi
dari daerah geografi berbeda, dan antar seluruh daerah geografi (Holsinger
& Mason-Gamer 1996).
Persebaran gandaria terkait dengan berbagai faktor
baik ekologi, polinator maupun faktor faktor yang berperan dalam persebarannya
dalam satu kawasan ataupun di luar kawasan. Salah satu faktor penting dalam
persebarannya adalah upaya pemanfaatan gandaria dalam kehidupan manusia.
Etnosains merupakan satu bagian ilmu pengetahuan yang mengungkap kearifan lokal
suatu kelompok etnis terhadap sumberdaya yang ada di sekitarnya. Pemanfaatan
suatu sumberdaya baik nabati maupun hewani seringkali bermula dari kearifan
lokal dimana sumberdaya tersebut ditemukan. Achmad et al., (1995) menyatakan tidak jarang kearifan lokal tersebut
terkadang sangat mengagumkan. Sebagian besar ilmu farmakologi berkembang dari
kearifan lokal yang ada dalam upaya pemanfaatan tumbuhan dan hewan sebagai
obat-obatan. Friedberg (1995) menyatakan bahwa sedikit demi sedikit para ahli
etnologi telah memulai mempelajari dengan suatu cara yang lebih luas tentang
pengetahuan botanis lokal. Hal ini dikenal dengan etnosains yang menggambarkan
seluruh pengetahuan atau pengenalan populer yang berhubungan dengan elemen yang
berbeda di alam.
Di habitatnya, gandaria dimanfaatkan untuk
berbagai peruntukan aktifitas kehidupan. Harsono (2012) melaporkan bahwa suku
Dayak di pedalaman Kalimantan memanfaatkan buahnya sebagai campuran sambal dan
dikenal dengan sambal ramania. Di Jawa Barat buah muda gandaria dimanfaatkan
sebagai bahan campuran sambal, asinan gandaria dan campuran rujak kanistren. Di
Palembang buah muda dimanfaatkan untuk manisan. Di Padangbolak buah yang matang
menjadi makanan monyet, dan kayunya yang tergolong kayu berkualitas dijadikan
bahan pembuat kosen. Kayu dari genus Bouea baik digunakan dalam membuat kosen
karena memiliki kualitas yang baik (Kim et
al., 2012). Kayu yang berasal dari genus Bouea memiliki potensi yang baik karena memiliki kekuatan yang
tinggi sehingga dapat digunakan sebagai kayu komersil (Kim et al., 2014). Berbagai upaya pemanfaatan organ tumbuhan ini dalam
kehidupan masyarakat lokal perlu diulas dan disusun dalam satu bahasan,
sehingga datanya terekam dalam satu tulisan yang lebih bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar