Senin, 12 Juni 2017


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keanekaragaman Morfologi Marga Bouea Indonesia
4.1.1.  Variasi morfologi pada B. macrophylla dan B. oppositifolia
Berdasarkan 31 karakter dan 81 sub-karakter morfologi dari 75 aksesi B. macrophylla dan 30 aksesi B. oppositifolia diperoleh data adanya variasi pada  daun, tunas ketiak daun, pohon dan buah.  Seluruh aksesi memiliki persamaan pa da daun berhadapan, biji berwarna ungu, dan bunga di ketiak daun. Data penanda morfologi menunjukkan bahwa B. macrophylla dan B. oppositifolia memiliki perbedaan morfologi yang dapat diamati berdasarkan karakteristik : daun, buah, batang, tunas ketiak daun, dan pohon. ­Karakter morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia berdasarkan karakter pohon disajikan pada Tabel 8

Tabel 8. Karakter morfologi berdasarkan karakter pohon

No
Karakter Pohon
Sub Karakter
B. macrophylla
(75 aksesi)
B. oppositifolia
(30 aksesi)
1.
Pohon
Dropping
64
4
Spreading
11
26
2.
Kerapatan Tajuk
Rimbun
67
9
Bercelah
8
21
3
Permukaan Batang muda
Berbulu
0
8
Licin
75
22



5
6

Karakter pohon dropping dimiliki oleh B. macrophylla (64 aksesi) dan 4 aksesi B. oppositifolia (KR1, KR2, KR5, dan KR6) sedangkan pohon spreading dimiliki oleh B. macrophylla (11 aksesi) dan B. oppositifolia (26 aksesi). Tajuk rimbun dimiliki oleh sebagain besar B. macrophylla (67 aksesi) dan B. oppositifolia (9 aksesi) sedangkan tajuk bercelah dimiliki oleh sebagian besar B. oppositifolia (21 aksesi) dan B. macrophylla 8 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki batang tumbuhan muda yang tidak berbulu (75 aksesi), sedangkan pada B. oppositifolia memiliki batang muda yang berbulu (8 aksesi) dan batang muda tidak berbulu (22 aksesi). Karakter munculnya bulu pada batang yang masih muda merupakan satu karakter penting dalam pengenalan ke dua jenis ini di lapangan dan merupakan karakter penting dalam membedakan Bouea oppositifolia. Sementara pada Bouea macrophylla  semua batang mudanya tidak berbulu. Berdasarkan data morfologi pohon terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (5 karakter) dibandingkan B. oppositifolia (6 karakter). Karakter morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia berdasarkan karakter daun disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakter morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia berdasarkan karakter daun


No
Karakter Daun
Sub Karakter
B. macrophylla
( 75 aksesi)
B. oppositifolia
(30 aksesi)
1
Bentuk Daun
Jorong
0
1
Bulat Telur Sungsang
0
1
Lonjong dan  Bulat Telur Sungsang
0
5
Jorong dan Bulat Telur Sungsang
2
8
Lonjong
0
15
Lanset
73
0
2.
Letak Daun
Berhadapan
75
75
Tersebar
0
0
3.
Panjang Daun
Sangat Panjang
60
0
Panjang
13
5
Sedang
2
15
Pendek
0
10
4.
Lebar Daun
Sangat Lebar
48
0
Lebar
27
8
Sempit
0
22
5.
Ujung Daun
Meruncing
75
17
Meruncing dan Tumpul
0
12
Tumpul
0
1
6.
Pangkal Daun
Runcing
40
10
Runcing dan Tumpul
20
8
Tumpul
15
12
7
Ukuran Ujung Daun
Panjang
75
6
Pendek
0
23
Tidak Berujung Daun
0
1
8.
Warna Permuka an atas Daun
Hijau Tua
56
23
Hijau Muda
19
7
9.
Warna Permuka an bawah Daun
Hijau Tua
10
2
Hijau Muda
65
28
10
Penampakan atas Daun
Mengkilap
70
24
Kusam
5
6
11
Penampakan bawah Daun
Mengkilap
0
3
Kusam
75
27
12
Tekstur Permuka an Daun
Halus
0
2
Kasar
75
28
13
Penampakan Permukaan Daun
Cembung
74
4
Datar
0
26
Melengkung
1
0

Lanjutan Tabel : 9
L
No
Karakter Daun
Sub Karakter
B. macrophylla
( 75 aksesi)
B. oppositifolia
(30 aksesi)
14
Bentuk Tangkai Daun
Pipih
0
12
Bulat
75
8
Persegi
0
10
15.
Ukuran Tangkai Daun
Sangat Panjang
1
0
Panjang
74
7
Pendek
0
23
16
Tunas Ketiak Daun
Runcing
Bulat
2
73
28
2
17
Permukaan seludang  muda
Berbulu
0
8
Licin
75
22
18
Jumlah Tulang
Sekunder
Banyak
0
10
Sedikit
75
20
19
Aroma Terpentin Pada Daun
Kuat
0
2
Halus
75
6
Tidak beraeroma
0
22
20
Jenis Daun Di Setiap
Sama
75
17
Berbeda
0
13
Total karakter yang dapat diamati
32
48

B. macrophylla sebagian besar memiliki bentuk daun lanset (73 aksesi) dan sebagian kecil memiliki bentuk daun Jorong dan Bulat Telur Sungsang (2 aksesi), sedangkan B. oppositifolia memiliki variasi bentuk daun jorong (1 aksesi), Bulat Telur Sungsang (1 aksesi), Lonjong dan Bulat Telur Sungsang (5 aksesi), Jorong dan Bulat Telur Sungsang (8 aksesi) dan lonjong (15 aksesi). Semua aksesi pada ke dua jenis memiliki daun yang letaknya berhadapan.
B. macrophylla memiliki ukuran daun sangat panjang (60 aksesi), panjang (13 aksesi) dan sedang (2 aksesi), sedangkan B. oppositifolia memiliki ukuran daun panjang (5 aksesi), sedang (15 aksesi) dan pendek (10 aksesi). B. macrophylla memiliki lebar daun sangat lebar (48 aksesi) dan lebar (27 aksesi) sedangkan B. oppositifolia umumnya memiliki daun yang lebar (8 aksesi) dan sempit (22 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki ujung daun berbentuk meruncing sedangkan B. oppositifolia menunjukkan variasi pada bentuk ujung daun yaitu meruncing (17 aksesi), meruncing dan tumpul (12 aksesi) dan tumpul (1 aksesi).  B. macrophylla seluruhnya memiliki ukuran ujung daun yang panjang sedangkan B. oppositifolia menunjukkan variasi yaitu ujung daun  panjang (6 aksesi), pendek (23 aksesi), dan tidak memiliki ujung daun (1 aksesi). Warna permukaan daun atas sebagian besar berwarna hijau tua pada B. macrophylla (56 aksesi) dan B. oppositifolia (23 aksesi) sedangkan yang berwarna hijau dimiliki oleh B. macrophylla (19 aksesi) dan B. oppositifolia (7 aksesi). Warna permukaan bawah sebagian berwarna hijau pada B. macrophylla (65 aksesi) dan B. oppositifolia (28 aksesi) sedangkan yang berwarna hijau tua hanya 10 aksesi pada B. macrophylla dan 2 aksesi pada B. oppositifolia. Penampakan bagian atas permukaan daun hijau tua 56 aksesi dan hijau muda 19 aksesi pada B. macrophylla sedangkan pada B. oppositifolia 23 aksesi hijau tua dan 7 aksesi berwarna hijau muda. Demikian juga halnya dengan permukaan bawah daun, dimana permukaan daun hijau tua 10 aksesi dan hijau muda 65 aksesi pada B. macrophylla sedangkan pada B. oppositifolia 2 aksesi hijau tua dan 28 aksesi berwarna hijau muda. Pada karakter penampakan bagian atas daun mengkilap sebanyak 70 aksesi dan kusam 5 aksesi pada B. macrophylla sedangkan pada B. oppositifolia 24 aksesi mengkilap dan 6 aksesi kusam, sedangkan karakter penampakan bagian bawah daun mengkilap sebanyak 75 aksesi pada B. macrophylla sedangkan pada B. oppositifolia 3 aksesi mengkilap dan 27 aksesi kusam. Tekstur daun yang kasar dimiliki oleh seluruh B. macrophylla, sedsangkan pada B. oppositifolia 2 aksesi teksturnya halus dan 28 aksesi teksturnya kasar.
Sebagian besar B. macrophylla memiliki penampakan permukaan daun berbentuk cembung (74 aksesi), dan berbentuk melengkung (1 aksesi), sedangkan sebagian besar B. oppositifolia memiliki bentuk daun datar (26 aksesi) dan cembung (4 aksesi). Tangkai daun pada B. macrophylla memiliki tangkai daun bulat (75 aksesi) sedangkan pada B. oppositifolia memiliki tangkai daun pipih (12 aksesi) dan bulat (8 aksesi) dan persegi (10 aksesi). Sebagian besar B. macrophylla memiliki tangkai daun berukuran sangat panjang (1 aksesi) dan berukuran panjang (74 aksesi), sedangkan pada B. oppositifolia tangkai daun berukuran pendek (23 aksesi) dan panjang (7 aksesi).
Tunas ketiak daun pada B. macrophylla sebagian besar berbentuk bulat (73 aksesi) dan runcing (2 aksesi), sedangkan pada B. oppositifolia  memiliki tunas ketiak daun runcing (28 aksesi) dan bulat (2 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki jumlah tulang sekunder yang sedikit sedangkan pada B. oppositifolia menunjukkan variasi yaitu banyak (10 aksesi) dan sedikit (20 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki tunas ketiak daun yang licin sedangkan B. oppositifolia memiliki tunas ketiak daun berbulu (8 aksesi) dan tunas ketiak daun licin (22 aksesi). Aroma terpentin tercium halus pada seluruh aksesi B. macrophyla, sedangkan pada B. oppositifolia aroma terpentin tidak beraroma (22 aksesi), beraroma halus (6 aksesi), dan beraroma kuat (2 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki daun dengan bentuk yang sama (homofili) sedangkan pada B. oppositifolia ada 17 aksesi memiliki daun sama dan  13 aksesi memiliki daun yang berbeda (heterofili).
Berdasarkan data morfologi daun terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (32 karakter) dibandingkan B. oppositifolia (48 karakter). Data ini memberikan gambaran bahwa berdasarkan morfologi daunnya B. oppositifolia terlilhat lebih polimorfis dibandingkan dengan B. macrophylla. Meskipun jumlah aksesi yang didapatkan pada B. oppositifolia lebih kecil (30 aksesi) dibandingkan dengan B. macrophylla (75 aksesi).
Karater morfologi lain  yang diamati dalah karakter generatif yaitu bunga, buah dan biji. Semua aksesi pada Bouea memiliki bunga yang letaknya diujung. Warna buah pada seluruh aksesi B. macrophylla berwarna kuning sedangkan pada B. oppositifolia menunjukkan variasi yaitu warna buah kuning (8 aksesi) dan warna buah merah (22 aksesi). Bentuk buah pada B. macrophylla seluruhnya berbentuk bulat sedangkan pada B. oppositifolia memiliki bentuk bulat (8 aksesi) dan lonjong (22 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki ukuran buah yang besar, sedangkan pada B. oppositifolia memiliki ukuran buah yang besar (8 aksesi) dan kecil (22 aksesi). Daging buah seluruh aksesi B. macrophylla berwarna kuning sedangkan pada B. oppositifolia berwarna kuning (8 aksesi) dan merah (22 aksesi). Berdasarkan data morfologi buah terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (9 karakter) dibandingkan B. oppositifolia (13 karakter). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.


Tabel 10. Karakter morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia berdasarkan  
                 karakter bunga, buah dan biji.

No
Karakter Buah
Sub Karakter
B. macrophylla
(75 aksesi)
B. oppositifolia
(30 aksesi)
1.
Tipe Bunga
Di Ujung
75
30
Di Ketiak daun
0
0
2.
Warna Buah
Kuning
75
8
Merah
0
22
3.
Bentuk Buah
Bulat Lonjong
0
22
Bulat
75
8
4.
Ukuran Buah
Besar
75
8
Kecil
0
22
5.
Warna Daging Buah
Merah
0
22
Kuning
75
8
6.
Rasa Buah
Manis
14
4
Asam Manis
61
26
7.
Tipe Buah
Asli
75
30
Semu
0
0
8.
Warna Biji
Ungu
75
30
Putih
0
0
Jumlah karakter
9
13

Berdasarkan data morfologi daun terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (46 karakter) dibandingkan B. oppositifolia (57 karakter). Data ini memberikan gambaran bahwa berdasarkan morfologi B. oppositifolia terlilhat lebih polimorfis dibandingkan dengan B. macrophylla. Meskipun jumlah aksesi yang didapatkan pada B. oppositifolia lebih kecil (30 aksesi) dibandingkan dengan B. macrophylla (75 aksesi). Persebaran B. macrophylla yang umumnya berada di kawasan pantai yang berdekatan dengan pemukiman penduduk diperkirakan merupakan satu penyebab mengapa sifat polimorfik pada B. macrophylla  lebih rendah dibandingkan dengan B. oppositifolia  yang memiliki persebaran di kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk dan tumbuh secara liar atau meliar. Secara lengkap data morfologi Bouea yang dianalisis dalam disertasi ini tertera pada Lampiran 1.

4.1.2.  Analisis Klaster
    A.   B. macrophylla
Data yang diperoleh dari penanda morfologi digunakan untuk analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02. Dendogram dibangun berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan data yang dihasilkan ke dalam dendogram. Sebanyak 75 aksesi B. macrophylla, 30 aksesi B. oppositifolia, dan 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale) memiliki kemiripan antara 0,77-1,00 dan dikelompokkan ke dalam 7 kelompok utama pada kemiripan 0,93 (Gambar 4.1).
Kelompok 1 terdiri dari 11 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon (Gambar 4.1 ; warna merah muda). Kelompok 2 terdiri dari 42 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Banten, Cibinong, Kalimantan Selatan, Bogor, dan Kalimantan Barat (Gambar 4.1 ; warna biru, ungu, dan hijau). Kelompok 3 terdiri dari 8 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon, Bangka Belitung, Banten, Lampung, Palembang, dan Bogor (Gambar 4.1 ; warna biru muda). Kelompok 4 terdiri dari 4 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Jambi, Kalimantan Barat, dan Kebun Raya Bogor (KR4) (Gambar 4.1 ; warna orange). Kelompok 5 terdiri dari 6 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat dan Ambon (AM14) (Gambar 4.1 ; warna kuning). Kelompok 6 terdiri dari 2 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Lhoksukon, Aceh dan Medan (Gambar 4.1 ; warna kuning). Kelompok 7 terdiri dari 2 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR7 dan KR8) (Gambar 4.1 ; warna abu-abu).
Kelompok 2 merupakan kelompok terbesar yang terdiri dari 42 aksesi sehingga masih dapat dibagi lagi menjadi 3 kelompok berdasarkan koefisien similaritas 0,96. Kelompok 1 yang terdiri 12 aksesi yang berasal dari Banten, Bogor, Cibinong, dan Palembang. Kelompok 2 terdiri dari 20 aksesi yang berasal dari Banten, Bogor, Cibinong, Palembang, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Kelompok 3 yang terdiri dari 10 aksesi yang berasal dari Cibinong, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Koefisien similaritas tertinggi memiliki nilai 0,96 yang terdapat pada banyak aksesi. Oleh karena itu, B. macrophylla memiliki keragaman yang rendah berdasarkan penanda morfologi.

B.   B. oppositifolia
Analisis klaster B. oppositifolia dilakukan dengan mengelompokkan fenotip yang dihasilkan ke dalam dendogram. Sebanyak 30 aksesi memiliki koefisien similaritas berkisar antara 0,49-1,00 dan dikelompokkan ke dalam 8 kelompok berdasarkan koefisien similaritas 0,84 (Gambar 4.2). Kelompok 1 terdiri dari 6 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Sumatra Utara dan Riau (Gambar 4.2 ; warna merah muda). Kelompok 2 terdiri dari 2 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR5 dan KR6) (Gambar 4.2 ; warna biru). Kelompok 3 terdiri dari 12 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR2) dan Bangka Belitung (Gambar 4.2 ; warna hijau). Kelompok 4 terdiri dari 9 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun Raya Bogor (KR3) dan Bangka Belitung (Gambar 4.2 ; warna orange). Kelompok 5 hanya memiliki 1 aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1) (Gambar 4.2 ; warna putih)). Koefisien similaritas tertinggi memiliki nilai 0,96 yang terdapat antara aksesi yang berasal dari antar Bangka Belitung (BL1 dan BL13, BL3 dan BL13, BL13 dan BL20).
Gabungan data yang diperoleh dari penanda morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia dianalisis kembali menggunakan NTSYS versi 2.0. Hasilnya menunjukkan bahwa data gabungan memiliki koefisien similaritas berkisar antara 0,37-1,00 dan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 terdiri dari 75 aksesi dari B. macrophylla, kelompok 2 terdiri dari 30 aksesi dari B. oppositifolia, dan kelompok 3 terdiri dari outgroup yang terdiri dari M. indica dan A. occidentale (Gambar 4.3).
B. oppositifolia yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1) memiliki ciri khas berdaun jorong, asal Bangka Belitung (BL19) memiliki ciri khas berdaun Bulat Telur Sungsang, dan ujung daun berbentuk tumpul. B. opposifolia yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1, KR5, dan KR6) memiliki ciri khas permukaan bawah mengkilap. B. oppositifolia asal Sumatra Utara, Riau dan Kebun Raya Bogor (KR5, KR6) dicirikan dengan bentuk daun lonjong sedangkan asal Bangka Belitung dan Kebun Raya Bogor (KR2, KR3) dicirikan dengan bentuk daun jorong/Bulat Telur Sungsang serta lonjong/Bulat Telur Sungsang. Bouea asal Kebun Raya Bogor (KR1) dicirikan dengan bentuk daun jorong. B. macrophylla asal Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kep. Bangka Belitung (BL17), Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan


    Gambar 4.1. Dendogram berdasarkan UPGMA dari karakter morfologi B. macrophylla                                

            Gambar 4.2. Dendogram berdasarkan UPGMA dari karakter morfologi B. oppositifolia                            

Gambar 4.3. Dendogram berdasarkan UPGMA dari penanda morfologi
                                              B. oppositifolia (biru) dan B.macrophylla (merah)                                                                     


Maluku dicirikan dengan bentuk daun jorong memanjang. Warna buah masak kuning kehijauan dimiliki B. oppositifolia asal Sumatra Utara dan Riau dan warna buah masak merah berasal dari Kep. Bangka Belitung dan Kebun Raya Bogor (KR1, KR2 dan KR3). B. macrophylla asal Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Kep. Bangka Belitung (BL17), Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Maluku memiliki kulit buah masak berwarna kuning hingga jingga.
B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR2) mengelompok sendiri bersama dengan kelompok Bangka Belitung. Kelompok ini memiliki ciri morfologi daun berbeda (dalam 1 pohon terdapat dua bentuk daun) jorong dan Bulat Telur Sungsang, ujung daun meruncing dan tidak ada ujung daun, tunas ketiak daun dan batang muda berbulu, ujung tunas ketiak daun runcing seperti tombak, ukuran buah kecil (2.1-3.4cm), warna buah masak merah, warna daging buah masak merah dan rasa asam manis.
B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR3) juga memisah dari kelompok Kebun Raya Bogor bersama dengan kelompok Bangka Belitung. B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR3) dicirikan dengan bentuk daun hanya satu yaitu lonjong, ujung daun meruncing, tulang daun sangat jelas, warna daun hijau tua, ukuran daun cukup besar (10.1-18.7 cm), tunas ketiak daun dan batang muda kadang ditemukan berbulu, tunas ketiak daun runcing, warna buah masak merah, warna daging buah merah, dan rasa asam manis.
Hasil yang ditunjukkan oleh dendogram dikonfirmasi kembali dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengevaluasi sebaran aksesi dalam ruang dua dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang berdasarkan data yang diperoleh dari penanda morfologi. Hasil pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.3) memperlihatkan adanya kemiripan dengan  analisis PCA seperti pada Gambar 4.4. PCA mengkonfirmasi profil data morfologi pada rentang kesamaan sumbu X sekitar -0,05 hingga 0,48 % dan pada sumbu Y berkisar antara -0,44 hingga 0,10. Hasil PCA menunjukkan adanya hubungan erat antara data yang diperoleh menggunakan data morfologi dengan jenis yang diamati (B. macrophylla, B. oppositifolia, M. indica, dan A. occidentale). Gambar 4.4 menunjukkan adanya pengelompokan yang tegas pada setiap jenis. Kolom 1 diisi oleh outgroup yaitu M. indica dan A. occidentale, Kolom 2 diisi oleh sampel B. oppositifolie asal Kebun Raya Bogor (KR5), kolom 3 diisi oleh sampel B. macrophylla, kolom 5 diisi oleh sampel B. oppositifolia asal Sumatra Utara, kolom 6 diisi oleh B. macrophylla asal Kebun Raya Bogor (KR7), dan kolom 7 diisi oleh B. oppositifolia. Hasil ini juga mengkonfirmasi luasnya variasi yang muncul pada B. oppositifolia yang menempati 3 kolom dalam hasil analisis PCA. Hasil ini menunjukan bahwa penanda morfologi dapat membedakan spesies pada marga Bouea dan outgroup-nya.

Gambar 4.4. Plot 2D principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 30 aksesi B. oppositifoliadan 75 aksesi B. macrophylla serta 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale) berdasarkan penanda morfologi

Akumulasi persentasi dari empat komponen utama mewakili  79,5% keragaman dari total 100% pada 81 karakter. Hasil Principal Component Analysis mendapatkan 4 principal component yang mampu menerangkan keragaman kumulatif sebesar 79,5% dari total keragaman (Tabel 11). Principal component I memiliki keragaman 27,8%, principal component II sebesar 24,1%, principal component III sebesar 14,6% dan principal component IV sebesar 13%.

Tabel 11. Total initial Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
Eigenvalue
Total
% Keragaman
% Kumulatif
I
0,66945
27,8%
27,8%
II
0,58158
24,1%
51,9%
III
0,35096
14,6%
66,5%
IV
0,31220
13%
79,5%
V
0,20935
8,7%
88,1%
VI
0,12881
5,3%
93,4%
VII
0,10527
4,4%
97,8%
VIII
0,04013
1,7%
99,5%
IX
0,01297
0,5%
100%

Keragaman dapat diperoleh hanya dengan 4 komponen utama dengan ciri utama yang menentukan keragaman adalah daun lanset, dasar daun tumpul, ujung daun panjang, bentuk tangkai daun pipih, bentuk petiol bulat, ukuran petiol panjang, ukuran petiol pendek, tunas ketiak daun runcing, tunas ketiak daun bulat, terpentin tidak tercium, terpentin halus, warna buah merah, warna buah kuning, bentuk buah bulat lonjong, bentuk buah bulat,ukuran buah kecil, ukuran buah besar, daging buah merah dan daging buah kuning (Tabel 12). Terdapat 34 karakter yang paling mempengaruhi variasi dan 47 karakter yang tidak terlalu berpengaruh terhadap variasi pada Bouea. Variasi yang muncul pada karakter morfologi disebabkan perbedaan jenis serta tersebarnya wilayah asal geografis Bouea yang tersebar di Indonesia.
Karakter dengan nilai positif yang besar pada Tabel 12 yang menyusun principal component I terdiri dari tujuh karakter yaitu tunas ketiak daun runcing, bentuk petiol pipih, terpentin tidak tercium, warna buah merah, bentuk buah bulat lonjong, ukuran buah kecil, dan daging buah berwarna merah, pada principal component II terdiri dari empat karater yaitu pohon medium, tajuk sedang, daun sama, dan ujung daun cuminate, pada principal component III terdiri dari empat karakter yaitu tajuk sedang, dasar daun tumpul, pohon medium, dan daun sangat panjang, pada principal component IV terdiri dari dua karakter yaitu ujung daun panjang dan ukuran tangkai daun panjang. 


Tabel 12. Nilai komponen utama karakter morfologi Bouea di Indonesia
Karakter
PC1
PC2
PC3
PC4
Tunas ketiak daun runcing 
0.195
0.122
-0.019
-0.078
Bentuk petiol pipih       
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Terpentin tidak tercium  
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Warna buah merah              
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Bentuk buah bulat lonjong       
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Ukuran buah kecil        
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Daging buah merah            
0.184
-0.075
-0.019
0.084
Ukuran petiol pendak   
0.181
-0.026
-0.008
-0.128
Tunas ketiak daun bulat
-0.195
-0.122
0.019
0.078
Daun lanset
-0.192
-0.159
0.112
0.053
Basis tumpul           
-0.185
-0.163
0.125
0.061
Bentuk petiol bulat       
-0.184
0.075
0.019
-0.084
Warna buah kuning            
-0.184
0.075
0.019
-0.084
Bentuk buah bulat       
-0.184
0.075
0.019
-0.084
Ukuran buah besar        
-0.184
0.075
0.019
-0.084
Daging buah kuning     
-0.184
0.075
0.019
-0.084
Ujung daun panjang           
-0.182
-0.005
0.003
0.141
Terpentin halus       
-0.182
0.038
0.111
-0.109
Ukuran petiol panjang  
-0.181
0.026
0.008
0.128
Ujung daun pendek             
0.175
0.009
-0.017
-0.149
Daun sempit            
0.173
-0.04
-0.003
-0.158
Pohon medium            
0.164
0.157
0.282
-0.053
Daun sangat lebar     
-0.145
-0.186
0.113
-0.232
Daun sangat panjang     
-0.16
-0.183
0.168
-0.12
Pohon drooping     
-0.164
-0.157
-0.282
0.053
Tunas ketiak daun tidakberbulu
-0.13
0.096
0.043
-0.026
Tunas ketiak daun berbulu       
0.124
-0.112
-0.04
-0.015
Tajuk sedang        
0.121
0.221
0.315
-0.077
Tajuk rimbun         
-0.121
-0.221
-0.315
0.077
Daun berbeda         
0.118
-0.155
-0.022
-0.062
Daun sama          
-0.118
0.155
0.022
0.062
Ujung daun acuminate         
-0.117
0.162
0.015
0.051
Ujung daun acuminate tumpul
0.11
-0.158
-0.028
-0.059
Basis acute tumpul       
0.11
-0.158
-0.028
-0.059


4.2. Variasi Genetik Marga Bouea di Indonesia dengan Penanda ISSR
4.2.1.  Bouea macrophylla Griffit
       A. Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda ISSR
Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman genetik dari 75 aksesi B. macrophylla, seluruh DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR  (Tabel 13). Setiap primer memproduksi berbagai panjang produk dan jumlah pita DNA. Jumlah pita DNA yang dapat dihitung dan terlihat dengan jelas adalah 2084 pita. Selama pengamatan terdapat 126 alel yang dapat diidentifikasi serta persentase lokus polimorfik 100%. Ukuran amplikon berkisar 100-130 bp. Jumlah alel pada setiap primer ISSR berkisar antara 14 (PKBT5) hingga 21 (PKBT3) dengan rata-rata 18 alel per primer. Nilai PIC (Polymorphism Information Content) yang diperoleh berkisar antara 0,880 – 0,933 dengan nilai rata-rata 0,893 menunjukkan bahwa primer ISSR yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kemampuan menghasilkan alel polimorfik yang tinggi. Alel efektif tertinggi (1,6092) ditemukan pada primer PKBT12 dan alel efektif terendah yang terdeteksi ditemukan pada primer PKBT5 (1,2878). Nilai heterozigositas tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT12 (0,3602)  dan terendah ditunjukkan oleh primer PKBT5 (0,1952) dengan nilai rata-rata 0,4072, sedangkan indeks informasi Shannon bervariasi berkisar antara 0,3223-0,5391 dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT12 dan terendah ditunjukkan oleh primer PKBT5. 

Tabel 13. Analisis diversitas genetik B. macrophylla menggunakan penanda ISSR menggunakan program POPGENE version 1.32.

Primer
Jumlah Alel Efektif
Heterozigositas
Polymorphic Information Content (PIC)
Shannon’s Information Index
PKBT3
1,4342
0,2625
0,915
0,4075
PKBT4
1,3970
0,2392
0,885
0,3723
PKBT5
1,2878
0,1952
0,835
0,3223
PKBT7
1,4761
0,2916
0,925
0,4485
PKBT9
1,3663
0,2365
0,883
0,3804
PKBT10
1,3894
0,2431
0,880
0,3803
PKBT12
1,6092
0,3602
0,933
0,5391
Rata-rata
1,4228
0,2611
0,893
0,4072

Jumlah alel efektif merupakan indeks untuk mengukur variasi genetik dalam populasi yang dicerminkan melalui interaksi antara alel per lokus. Umumnya,  jumlah alel yang diamati lebih besar dari jumlah alel efektif.  Semakin dekat jumlah alel efektif dengan jumlah alel yang diamati maka semakin merata distribusi alel dalam suatu populasi (Yuan et al., 2007). Shannon’s information index merupakan pengukur diversitas gen  (Lewontin, 1972) dan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat diferensiasi genetik yang cukup tinggi antara primer yang digunakan dalam penelitian ini. Polymorphic Information Content (PIC) digunakan untuk menentukan variasi suatu marka molekuler. Menurut Botstein et al., (1980) bahwa nilai PIC adalah indeks yang digunakan untuk mengukur penilaian dari nilai Polimorfisme. Polimorfisme dikatakan tinggi apabila nilai PIC = > 0,5, sedangkan sedang apabila bila PIC = 0,25 < PIC < 0,5, dan rendah apabila nilai PIC = < 0,25 (Botstein et al., 1980). Hasil penelitian pada Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai Polymorphic Information Content (PIC) semuanya memiliki nilai > 0,5 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai polimorfisme primer yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi. Nilai heterozigositas yang dapat diamati adalah 0,2611 yang menunjukkan bahwa nilai heterozigositas pada pada setiap populasi cukup tinggi.
Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas dari total populasi (HT) adalah 0,2219 menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik yang cukup besar antar individu di dalam populasi B. macrophylla. Nilai heterozigositas merupakan salah satu parameter untuk mengukur tingkat keragaman genetik dalam suatu populasi. Heterozigositas merupakan hasil perhitungan dari frekuensi gen pada masing-masing lokus (Arifin, 2010). Semakin tinggi frekuensi heterozigot pada suatu populasi, maka semakin tinggi tingkat keragamannya (Vika et al., 2015). Koefisiensi diferensiasi genetik (GST) pada B. macrophylla menunjukkan nilai 0,576 yang menunjukkan bahwa angka ini memiliki nilai yang lebih tinggi dari jumlah diferensiasi genetik standar yang diusulkan oleh Nybom dan Bartisth (2000) yang memiliki nilai 0,23 (untuk tanaman hasil persilangan) dan 0,19 untuk tanaman endemik. Isolasi geografis menjadi faktor utama penyebab cukup tingginya nilai koefisien diferensiasi genetik B. macrophylla karena isolasi geografis telah menghambat aliran gen. Kondisi ini terbukti dengan rendahnya nilai Gene Flow (0,361). Fishcher dan Mathies (1988) menyatakan bahwa isolasi geografis yang lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang.

Tabel 14. Hasil analisis diversitas genetik B. macrophylla menggunakan penanda ISSR (POPGENE Program 1.32)

Sampel
HT
HS
GST
NM
75
0,2219
0,0941
0,5750
0,3681

Keterangan:
HT = Nilai heterozigositas total populasi, HS = Nilai heterozigositas pada subpopulasi, GST = Koefisien diferensiasi genetik, NM = Nilai Gen flow

       B. Analisis Klaster
Data yang diperoleh dari penanda ISSR digunakan untuk analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02. Kladogram dibangun berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan genotipe yang dihasilkan ke dalam dendogram. Sebanyak 75 Aksesi ditambah dengan 2 outgroup berupa Mangifera indica dan Anacardium occidentale memiliki koefisien kemiripan berkisar antara 0,18-0,83 dan dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,35 (Gambar 4.5).
Kelompok 1 merupakan kelompok terbesar yang terdiri dari 53 aksesi dengan koefisien kesamaan 0,36 yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon, Kalimantan Selatan, Banten, Kalimantan Barat, Bogor (Loji, Pandeglag, Leuwisadeng, dan Jasinga), Cibinong, dan Kebun Raya 4. Kelompok 2 terdiri dari 10 aksesi dengan koefisien kesamaan 0,37 terdiri dari aksesi yang berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat, Cibinong, Aceh, Medan, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung. Kelompok 3 dengan koefisien kemiripan 0,35 terdiri dari 5 aksesi dari aksesi yang berasal dari Batu Sangkar (Sumatra Barat), Kebun Raya (Bogor) (KR7 asal Jambi dan KR8 asal Peninsula Malaysia), dan Kalimantan Selatan) Kelompok 4 terdiri dari outgroup yaitu Anacardium occidentale dan Mangifera indica.
Kelompok 1 dapat dibagi menjadi 7 kelompok lagi yaitu kelompok I memiliki 11 aksesi yang berasal Ambon dengan koefisien kesamaan 0,51, kelompok II memiliki 8 aksesi yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Ambon dengan koefisien kesamaan 0,56, kelompok III memiliki 11 aksesi yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Ambon dengan koefisien kesamaan 0,54, kelompok IV memiliki 9 aksesi yang berasal dari Banten dan Kalimantan Barat dengan indeks kesamaan 0,49, kelompok V memiliki 5 aksesi yang berasal dari Kalimantan Barat dan Banten dengan indeks kesamaan 0,43, Kelompok VI memiliki 4 aksesi yang berasal dari Bogor (Loji, Pandeglang, Leuwisadeng, dan Jasinga) dengan koefisien kesamaan 0,64, dan kelompok VII memiliki 5 aksesi yang berasal dari Cibinong dan Kebun Raya 4 dengan koefisien kesamaan 0,47.
Indeks similaritas pada 75 aksesi B. macrophylla berkisar antara 0,6429-0,9504 dimana kesamaan tertinggi yang dapat diamati antara populasi Ambon dengan Kalimantan Selatan sedangkan kesamaan terendah yang dapat diamati adalah antara populasi Medan dengan Lampung. Matriks indeks similaritas antar populasi menggunakan penanda ISSR pada 14 populasi B. macrophylla disajikan pada Lampiran 2. Jarak genetik yang dapat diamati berkisar antara 0,0509-0,4418 dimana jarak tertinggi terdapat antara populasi Lampung dengan Medan sedangkan jarak genetik terendah terdapat antara populasi Ambon dengan Kalimantan Selatan.

Gambar 4.5. Dendogram B. macrophylla menggunakan data ISSR menggunakan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA)                                                                                                                                                                            

C. Principal Component Analysis (PCA)
Principal component analysis (PCA) dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran aksesi dalam ruang dua dimensi. PCA merupakan pengelompokan aksesi yang diperoleh berdasarkan data ISSR. PCA dilakukan untuk melihat perpindahan aksesi dan untuk mengkonfirmasi pola pengelompokan yang diperoleh dari dendogram. Hasil plot dari Gambar 3 dimensi dan 2 dimensi hasil PCA menunjukkan adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.6). Hasil PCA menunjukkan adanya hubungan yang erat antara data molekuler menggunakan penanda ISSR dengan populasi asal. Gambar 4.6 memperlihatkan adanya pengelompokan aksesi yang berasal dari  Ambon, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Banten sedangkan aksesi asal Bogor dan Cibinong mengelompok sendiri. Hasil PCA juga mengkonfirmasi letak aksesi outgroup (M. indica dan A. occidentale) yang membentuk kelompok sendiri.
Akumulasi persentase dari 3 komponen utama telah mewakili 87,3% keragaman dari total 100% pada 126 alel. Hasil PCA menunjukkan bahwa terdapat 3 principal component yang mampu menerangkan keragaman kumulatif sebesar 87,3% dari total keragaman (Tabel 15).

Tabel. 15. Total initial Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
Eigenvalue
Total
% Keragaman
% Kumulatif
I
0,74324
34,7%
34,7%
II
0,63746
31,9%
66,6%
III
0,53467
20,7%
87,3%
IV
0,24986
4,6%
91,9%
V
0,21345
3,7%
95,6%
VI
0,12834
3,3%
98,9%
VII
0.02812
1,1%
100%

Keragaman dapat diperoleh dengan 3 komponen utama dengan ciri utama yang menentukan keragaman adalah alel primer PKBT12-250, PKBT12-300, PKBT12-500, PKBT12-600, PKBT7-250, PKBT7-350, PKBT7-600, PKBT3-700, PKBT3-750, PKBT3-800, PKBT4-500, dan PKBT4-600. Terdapat 112 alel berpengaruh terhadap variasi dan 14 alel yang tidak terlalu berpengaruh pada variasi B. macrophlylla. Variasi pada B. macrophylla yang muncul pada alel menggunakan penanda ISSR disebabkan karena sempitnya sebaran B. macrophylla secara geografis di Indonesia.
Karakter dengan nilai positif terbesar pada Tabel 16 yang menyusun principal component I terdiri dari 8 alel yaitu PKBT12-250, PKBT12-300, PKBT12-500, PKBT12-600, PKBT7-250, PKBT7-350, PKBT7-600, dan PKBT3-700, pada principal component II terdiri dari 3 alel yaitu PKBT3-750, PKBT3-800, PKBT4-500, sedangkan pada principal component III terdiri dari 1 alel yaitu PKBT4-600.

Keterangan : AM = Ambon, BA = Banten, BL = Bangka Belitung, BS = Batu Sangkar, Sumatra barat, EP = Cibinong, KB = Kalimantan Barat, KR = Kebun Raya, KS = Kalimantan Selatan, PLB = Palembang, LP = Lampung, MDN = Medan, SN = Lhoksukon, Aceh, BO = Bogor, AO = A. occidentale, MI = M. indica.

Gambar 4.6.   Plot 2D dimensi principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 75 aksesi B. macrophylla berdasarkan penanda ISSR

Tabel. 16. Nilai komponen utama karakter molekuler B. macrophylla di Indonesia
Alel
PC1
PC2
PC3
PKBT12-250
0,307
0,143
0,124
PKBT12-300
0,297
0,124
0,132
PKBT12-500
0,291
0,245
0,214
PKBT12-600
0,288
0,221
0,238
PKBT7-250
0,288
0,221
0,243
PKBT7-350
0,279
0,187
0,257
PKBT7-600
0,273
0,176
0,243
PKBT3-700
0,273
0,185
0,267
PKBT3-750
0187
0,324
0,256
PKBT3-800
0,211
0,298
0,112
PKBT4-500
0,225
0,288
0,132
PKBT4-600
0,196
0,213
0,312

     D.  Analysis of Molecular Variance (AMOVA)
AMOVA digunakan untuk melihat pengaruh wilayah antar populasi dan di dalam populasi yang berkontribusi keragaman genetik. AMOVA dilakukan dengan menggunakan perangkat GenAlEX 6.5 untuk memperkirakan komponen genetik yang bervariasi dalam populasi maupun antar populasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi genetik yang tersimpan di dalam populasi adalah 86%, sedangkan keragaman genetik antar populasi adalah 14%. Variasi di dalam populasi yang tinggi menunjukkan keragaman genetik di dalam populasi. Keragaman genetik di dalam populasi yang tinggi menunjukkan diferensiasi populasi yang cukup tegas. Hasil AMOVA juga memperlihatkan bahwa variasi dalam populasi dan antar populasi sangat signifikan (P-value< 0,01). Hasil AMOVA 75 aksesi B. macrophylla dalam 14 populasi menggunakan penanda ISSR disajikan pada Lampiran 3.
AMOVA dapat digunakan untuk memisahkan variasi ketika ada jarak genetik untuk menggambarkan perbedaan suatu alel dengan alel lainnya (Holsinger, 2010). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa variasi genetik lebih besar berasal dari dalam populasi (86%) dari pada dari luar populasi (14%). Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang muncul pada B. macrophylla sebagian besar disebabkan oleh pengaruh variasi di dalam populasi dibandingkan dengan variasi yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya sebaran tumbuhan ini dalam suatu populasi yang menyebabkan tingginya variasi. Walaupun sebaran antara geografis sangat luas, kemungkinan B. macrophylla hanya dapat hidup pada kondisi lingkungan yang sama antara satu populasi dengan populasi yang lain.

4.2.2. Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.
     A.   Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda ISSR
Berdasarkan analisis keanekaragaman dari 30 aksesi B. oppositifolia, selu ruh DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR (Tabel 17). Jumlah pita DNA yang dapat dihitung dan terlihat dengan jelas adalah 782 pita DNA. Selama pengamatan terdapat 49 alel yang dapat diidentifikasi dengan jumlah lokus polimorfik 32 dan persentase lokus polimorfik 65,31%. Ukuran amplikon yang berhasil diamati berkisar antara 100-1300 bp. Jumlah alel pada setiap primer berkisar antara 2 (PKBT5) dan 11 (PKBT12) dengan rata-rata 6,125 alel per primer. Nilai PIC (Polymorphism Information Content) yang diperoleh berkisar antara 0,4987-0,8405 dengan nilai rata-rata 0,7009 yang menunjukkan bahwa primer ISSR yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kemampuan menghasilkan data polimorfik yang tinggi kecuali pada primer PKBT 5 yang memiliki nilai PIC dibawah 0,5 yaitu 0,4987. Alel efektif tertinggi yang dapat diamati terdapat pada primer PKBT12 (1,2484) sedangkan alel efektif terendah yang dapat diamati terdapat pada PKBT5 (1,0344). Nilai heterozigositas tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT8 dengan nilai 0,2286 sedangkan nilai heterozigositas terendah terdapat pada primer PKBT4 dengan nilai 0,0207 dengan nilai rata-rata 0,1261. Nilai indeks informasi Shannon bervariasi berkisar antara 0,0408-0,3524 dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT4 dan terendah ditunjukkan oleh primer PKBT4.

Tabel 17. Analisis diversitas genetik B. oppositifolia menggunakan penanda ISSR menggunakan program POPGENE version 1.32.

Primer
Jumlah Alel Efektif
Heterozigositas
Polymorphic Information Content (PIC)
Shannon’s Information Index
PKBT3
1,0711
0,0622
0,6799
0,1225
PKBT4
1,1165
0,0207
0,7596
0,0408
PKBT5
1,0345
0,0322
0,4987
0,0731
PKBT7
1,2168
0,2056
0,6254
0,3001
PKBT8
1,3369
0,2286
0,7559
0,3599
PKBT9
1,1330
0,1590
0,7789
0,2815
PKBT10
1,1126
0,0861
0,6684
0,1521
PKBT12
1,2484
0,2147
0,8405
0,3524
Rata-rata
1,1587
0,1261
0,7009
0,2103

Jumlah alel efektif pada Tabel 17 menunjukkan ukuran alel yang sering sama yang diambil untuk mencapai tingkat keakekaragaman gen tertentu. Artinya, hal ini memungkinkan kita untuk membandingkan dimana jumlah dan distribusi alel yang berbeda secara signifikan (Hartl & Clark, 1989). Konsep polimorfisme digunakan untuk mendefenisikan variasi genetik dalam populasi. PolymorphismInformation Content (PIC) telah menjadi formula yang paling sering digunakan untuk studi genetika dalam mengukur kandungan informasi dari suatu penanda molekuler (Botstein et al., 1980). Tingginya nilai PIC menunjukkan tingginya nilai keinformatifan suatu primer. Nilai PIC dari hasil pengamatan berkisar  0,4987-0,8405 dengan rata-rata 0,7009 yang berarti keinformatifan data yang dihasilkan penanda molekuler yang digunakan pada penelitian ini cukup tinggi. Nilai Shannon’s information index menunjukkan ukuran yang paling umum digunakan untuk memperkirakan keanekaragaman berdasarkan frekuensi ada tidaknya pita DNA pada setiap penanda molekuler dalam setiap populasi. Dalam teori, nilai ini berkisar antara 0-1 (homozitositas ke heterozigositas penuh), meskipun penanda molekuler dominan mencapai tingkat maksimum pada nilai 0,5 dan penanda co-dominan tidak pernah mencapai nilai maksimum 1 untuk spesies dengan tipe penyerbukan self pollinating.
Berdasarkan data pada Tabel 18 terlihat bahwa nilai heterozigositas dari total populasi (HT) adalah 0,1528. Data ini menunjukkan adanya variasi genetik yang cukup besar antar individu di dalam populasi B. oppositifolia. Koefisiensi diferensiasi genetik (GST) pada B. oppositifolia menunjukkan nilai 0,4316 yang menunjukkan bahwa angka ini memiliki nilai yang cukup rendah tetapi berdasarkan jumlah diferensiasi genetik standar yang diusulkan oleh Nybom dan Bartisth (2000) yang memiliki nilai 0,23 (untuk tanaman hasil persilangan) dan 0,19 untuk tanaman endemik, nilai ini masih cukup tinggi. Letak geografis menjadi faktor utama penyebab rendahnya nilai koefisien diferensiasi genetik B. oppositifolia karena jarak geografis telah menentukan aliran gen. Kondisi ini terbukti dengan tingginya nilai Gene Flow (0,6584). Fishcher dan Mathies (1988) menyatakan bahwa isolasi geografis yang lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang, sedangkan letak geografi yang dekat akan menyebabkan tingginya aliran gen.

Tabel 18. Hasil analisis diversitas genetik B. oppositifolia menggunakan penanda ISSR (POPGENE Program 1.32)

Sampel
HT
HS
GST
NM
30
0,1528
0,0869
0,4316
0,6584

Keterangan:
HT = Nilai heterozigositas total populasi, HS = Nilai heterozigositas pada subpopulasi, GST = Koefisien diferensiasi genetik, NM = Nilai Gen flow

    B.   Analisis Klaster
Data yang berhasil diperoleh dari penanda ISSR digunakan dalam analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02. Kladogram dibangun berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan genotipe yang dihasilkan kedalam dendogram. Sebanyak 30 aksesi B. oppositifolia ditambah dengan 2 outgroup berupa Mangifera indica dan Anacardium occidentale memiliki koefisien kemiripan berkisar antara 0,56-0,99 dan dikelompokkan ke dalam 5 kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,84 (Gambar 4.7).
Gambar 4.7. Dendogram B. oppositifolia menggunakan data ISSR menggunakan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA)

Kelompok 1 merupakan kelompok outgroup berupa M. indica dan A. occidentale. Kelompok 2 merupakan kelompok dengan 1 aksesi yaitu Kebun Raya (KR1). Kelompok 3 merupakan kelompok dengan anggota terbesar yaitu 23 aksesi yaitu aksesi yang berasal dari Sumatra Utara (GT, HA, SO), Riau, Kebun Raya (KR2 dan KR3) serta Bangka Belitung. Kelompok 4 merupakan kelompok dengan 2 aksesi yang berasal dari Sumatra Utara (SP dan LG). kelompok 5 merupakan kelompok dengan 2 aksesi yang berasal dari Kebun Raya (KR5 dan KR6).
Indeks similaritas pada 30 aksesi B. oppositifolia berkisar antara 0,8946-0,9428 dimana kesamaan tertinggi yang dapat diamati terdapat diantara populasi Kebun Raya dengan populasi Bangka Belitung sedangkan kesamaan terendah yang dapat diamati terdapat antara populasi Kebun Raya dengan Populasi Riau. Matriks indeks similaritas antara populasi menggunakan penanda ISSR pada 4 populasi B. oppositifolia disajikan pada Lampiran 4. Jarak genetik yang dapat diamati berkisar antara 0,0589-0,1113 dimana jarak genetik tertinggi terdapat diantara populasi Kebun Raya dengan populasi Riau sedangkan jarak genetik terendah terdapat diantara populasi Kebun Raya dengan Populasi Bangka Belitung. Matriks jarak genetik antar populasi menggunakan penanda ISSR pada 4 populasi B. oppositifolia disajikan pada Lampiran 6.

C.   Principal Component Analysis
Principal Component Analysis (PCA) dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran aksesi dalam ruang dua dan tiga dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang diperoleh berdasarkan data ISSR. Hasil PCA plot Gambar dua dimensi menunjukkan adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.8). Hasil PCA menunjukkan adanya hubungan yang erat antara data molekuler menggunakan penanda ISSR dengan populasi asal aksesi. Gambar 4.8 menunjukkan adanya pengelompokan yang tegas pada aksesi yang berasal dari Bangka Belitung, sedangkan aksesi asal KRB, Riau, dan Medan ada yang mengelompok sendiri dan ada yang bergabung dengan kelompok lain.
Keterangan : BL = Bangka Belitung, KR = Kebun Raya Bogor, LG = Langga Payung (Sumatra Utara), SP = Sipiongot (Sumatra Utara), GT= Gunung Tua (Sumatra Utara), MDN = Medan (Sumatra utara), BO = Bogor, AO = A. occidentale, MI = M. indica.

Gambar 4.8. Plot 2D dimensi principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 30 aksesi B. oppositifolia berdasarkan penanda ISSR

Akumulasi persentase dari empat komponen utama mewakili 77,3 % keragaman dari 100 % pada 49 alel. Hasil PCA menunjukkan bahwa 4 principal component mampu menerangkan keragaman kumulatif sebesar 77.3 % dari total keragaman (Tabel 19). Principal component I memiliki keragaman sebesar 29,3 %, principal component II memiliki keragaman sebesar 23,4 %, principal component III memiliki keragaman sebesar 12,9 %, dan principal component IV memiliki keragaman sebesar 11,7 %.

Tabel. 19. Total initial Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
Eigenvalue
Total
% Keragaman
% Kumulatif
I
0,68435
29,3 %
29,3 %
II
0,59382
23,4 %
52,7 %
III
0,51928
12,9 %
65,6 %
IV
0,47283
11,7 %
77,3 %
V
0,35384
8,1 %
85,4 %
VI
0,30127
6,4 %
91,8 %
VII
0,28374
4,3 %
96,1 %
VIII
0,10287
2,7 %
98,8 %
IX
0,01228
1,2 %
100 %

Keragaman dapat diperoleh hanya dengan 4 komponen utama dengan alel utama yang menentukan keragaman adalah PKBT12-400, PKBT12-550, PKBT12-700, PKBT12-950, PKBT9-550, PKBT9-750, PKBT9-900, PKBT4-400, PKBT4-650, PKBT4-950, PKBT8-550, PKBT8-700, dan PKBT3-550.  Terdapat 34 alel yang paling mempengaruhi variasi dan 15 alel yang tidak terlalu berpengaruh terhadap variasi pada Bouea. Karakter dengan nilai positif yang paling besar pada Tabel 20 yang menyusun principal component I terdiri dari lima alel yaitu PKBT12-400, PKBT12-550, PKBT12-700, PKBT12-950, dan PKBT9-550, pada principal component II terdiri dari empat alel yaitu PKBT9-750, PKBT9-900, PKBT4-400, dan PKBT4-650, pada principal component III terdiri dari tiga alel yaitu PKBT4-950, PKBT8-550, PKBT8-700, sedangkan pada principal component IV terdiri dari satu alel yaitu PKBT3-500. Nilai komponen utama alel pada B. oppositifolia berdasarkan penanda ISSR di Indonesia disajikan pada Tabel 20.
Tabel. 20. Nilai komponen utama karakter molekuler B. macrophylla di Indonesia
Alel
PC1
PC2
PC3
PC4
PKBT12-400
0,326
-0,156
0,182
0,118
PKBT12-550
0,314
-0,221
0,231
0,106
PKBT12-700
0,297
-0,253
0,191
0,125
PKBT12-950
0,291
0,187
0,189
0,154
PKBT9-550
0,289
0,135
0,176
0,123
PKBT9-750
0,181
0,314
0,162
0,234
PKBT9-900
0,176
0,297
0,189
0,219
PKBT4-400
0,145
0,289
0,123
0,221
PKBT4-650
0,197
0,278
0,137
0,198
PKBT4-950
0,263
-0,176
0,326
0,187
PKBT8-550
0,154
-0,185
0,314
0,231
PKBT8-700
0,149
0,178
0,279
0,263
PKBT3-550
0,135
0,149
0,211
0,291

D.   Analysis of Molecular Variance (AMOVA)
AMOVA digunakan untuk menganalisis pengaruh dalam populasi dan antar populasi terhadap keragaman genetik yang ada. AMOVA dilakukan dengan menggunakan perangkat GenAlEX 6.5 untuk memperkirakan komponen genetik dalam populasi maupun antar populasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi genetik yang tersimpan di dalam populasi adalah 60%, sedangan keragaman genetik antar populasi adalah 40%. Variasi di dalam populasi yang tinggi menunjukkan diferensiasi populasi yang cukup tegas. Hasil AMOVA juga menunjukkan bahwa variasi dalam populasi dan antar populasi sangat signifikan (P-value< 0,01). Hasil AMOVA 30 aksesi B. oppositifolia dalam 4 populasi menggunakan penanda ISSR disajikan pada Lampiran 4.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa variasi genetik lebih besar berasal dari dalam populasi (60%) dari pada dari luar populasi (40%). Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang muncul pada B. oppositifolia sebagian besar disebabkan oleh pengaruh variasi di dalam populasi dibandingkan dengan variasi yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya sebaran tumbuhan ini dalam suatu populasi yang menyebabkan rendahnya variasi. Walaupun sebaran antara geografis cukup luas, kemungkinan B. macrophylla hanya dapat hidup pada kondisi lingkungan yang sama antara satu populasi dengan populasi yang lain. Nilai variasi antar populasi dan dalam populasi yang cukup dekat menunjukkan bahwa variasi yang muncul cukup berimbang antara pengaruh geografis dengan pengaruh genetik dari dalam populasi.

4.2.3.  Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. dan Bouea macrophylla Griffith
    A.   Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda ISSR
Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman dari 30 aksesi B. oppositifolia, 75 aksesi B. macrophylla, dan 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale) seluruh DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR. Jumlah pita DNA yang dapat di hitung dan terlihat dengan jelas adalah 2790 pita DNA. Selama pengamatan terdapat 131 alel yang dapat diidentifikasi dengan jumlah lokus polimorfik 130 dan persentase lokus polimorfik 99,24%. Ukuran amplikon yang berhasil diamati berkisar antara 100-1300 bp. Jumlah lokus polimorfisme pada sampel B. macrophylla adalah 126 (96,18%) dan pada B. oppositifolia adalah 26 (19,85%).

    B.   Analisis Klaster
Sebanyak 30 aksesi B. oppositifolia dan 75 aksesi B. macrophylla ditambah dengan 2 outgroup berupa Mangifera indica dan Anacardium occidentale memiliki koefisien kemiripan berkisar antara 0,17-1,00 dan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,34 (Gambar 4.9). Hasil analisis menunjukkan bahwa penanda ISSR mampu membedakan kedua jenis marga Bouea dan outgroup-nya. Jarak genetik dan koefisien similaritas B. oppositifolia, B. macropylla, dan 2 outgroup yaitu A. occidentale dan M. Indica.

Gambar 4.9. Dendogram Gabungan data ISSR B. macrophylla dan B. oppositifilia menggunakan data ISSR dengan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average (UPGMA). Background Merah (B. macrophylla), Biru (B. oppositifolia), dan Hijau (M. indica dan A. occidentale) menunjukkan perbedaan klaster.

    C.   Principal Component Analysis (PCA)
Principal Component Analysis (PCA) dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran aksesi dalam ruang dua dan tiga dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang diperoleh berdasarkan data ISSR. Hasil PCA plot Gambar 2 dimensi menunjukkan adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.10). Terdapat pengelompokan data sampel B. macrophylla, B. oppositifolia, dan outgroup berupa M. indica dan A. occidentale. Hal ini menunjukkan bahwa penanda ISSR dapat digunakan sebagai penanda molekuler yang dapat membedakan antara jenis pada anggota marga Bouea.
Gambar 4.10.  Plot 2D dimensi principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 107 aksesi B. oppositifolia, B. macrophylla, dan outgroup (Mangifera idica dan Anacardium occidentale) berdasarkan penanda ISSR

Penelitian molekuler terkait marga Bouea masih sangat jarang dilakukan sehingga pencarian data pembanding dalam analisis molekuler pada penelitian ini sangat sulit untuk ditemukan. Hasil dalam penelitian ini cukup berbeda dengan hasil penelitian dari Ghazali et al. (2015) yang meneliti tentang hubungan antara marga Bouea di semenanjung Malaysia berdasarkan penanda ISSR yang menunjukkan bahwa koefisien similaritas B. macrophylla berkisar antara 0,659-0,955 dan koefisien similaritas B. oppositifolia berkisar antara 0,591-0,977.  Hal ini disebabkan perbedaan jarak sebaran sampel yang diperoleh. Pada marga Bouea yang berasal dari Indonesia, kebanyakan sampel terpisah jauh antar provinsi dan antar pulau sedangkan Bouea yang berasal dari semenanjung Malaysia memiliki sebaran yang cukup kecil. Posisi geografi ini dapat mempengaruhi variasi genetik yang muncul pada setiap anggota marga Bouea. Data matriks indeks similaritas dan jarak antar populasi B. macrophylla dan B. oppositifolia menggunakan penanda ISSR tertera pada Lampiran 5

4.3. Data cpDNA
4.3.1. Visualisasi Hasil PCR
Visualisasi hasil PCR menggunakan agarose 1% menunjukkan single band yang berarti sekuen trnL-F berhasil diamplifikasi dengan primer cpDNA forward dan cpDNA reverse. Gambar visualisasi hasil PCR disajikan pada Gambar 4.11. Hasil visualisasi terlihat cukup jelas sehingga produk PCR dapat dilanjutkan ke proses sekuensing. Proses sequencing dilakukan dengan cara mengirimkan sampel ke 1st Base Singapore untuk kemudian disekuensing. Hasil sequencing berupa file .ab1 diolah menggunakan program Bioedit dan MEGA untuk memperoleh sekuen konsensus. Sekuen konsensus yang diperoleh kemudian dianalisis bioinformatik.


Gambar 4.11. Visualisasi hasil PCR dengan menggunakan primer cpDNA forward dan cpDNA reverse pada agarose 1%; AO = A. occidentale, AM1 = Ambon (B. macrophylla), BA5 = Banten (B. macrophylla), BS4 = Batu Sangkar, Sumatra Barat (B. macrophylla), KB = Kalimantan Barat (B. macrophylla), SN = Lhoksukon, Aceh (B. macrophylla), MI = Mangifera indica, BL17 = Bangka Belitung (B. oppositifolia), GT = Gunung Tua, Sumatra Utara (B. oppositifolia), KR1, KR2, KR3, dan KR5 = Kebun Raya Bogor (B. oppositifolia), KR4 = Kebun Raya Bogor (B. macrophylla), SP = Sipiongot, Sumatra Utara (B. oppositifolia)

4.3.2. Alignment hasil sequencing sekuen trnL-F pada Marga Bouea dan outgroup (M. indica dan A. occidentale)

Hasil alignment sekuen trnL-F terdiri dari 483 karakter. Dari data tersebut terdapat 351 karakter konservatif, 8 karakter berpotensi parsimony informativ, dan 108 karakter merupakan variable sites (Lampiran 9). Hasil alignment menunjukkan tingkat homologi yang sangat tinggi (98 %) pada kedua spesies dari marga Bouea. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan tingkat homologi 14 spesies famili Anacardiaceae pada daerah ITS-1 genom inti yaitu 75% (Hidayat & Pancoro, 2001). Rata-rata frekuensi nukleotida pada sekuen trnL-F adalah 32,2% (T), 22,6% (C), 29.3% (A), dan 16% (G). Sekuen ini kaya akan T/A yaitu sebesar 61,1% sedangkan G/C sebesar 38,8% (Tabel 21). Hal ini sesuai dengan pernyataan Li (1997) yang menyatakan bahwa komposisi nukleotida yang paling banyak pada daerah nonkoding DNA kloroplas adalah Adenin dan Timin. Di sisi lain, rasio transisi/transversi cukup tinggi (R = 0,92) dimana transisi/transversi rasio purin (0,004) dan transisi/transversi rasio pirimidin (0,258). Variasi muncul diantara spesies yang satu dengan spesies yang lain dalam marga yang sama maupun yang berbeda.

Tabel 21.  Variasi panjang, AT content, dan GC content pada sekuen trnL-F pada Marga Bouea

Sampel
T
C
A
G
Total (bp)
%AT
%GC
B. macrophylla(BA5)
32,2
22,6
28,8
16,4
451,0
61,0
39,0
B. macrophylla(AM1)
32,4
22,9
28,5
16,2
445,0
60,9
39,1
B. macrophylla(BS4)
31,9
22,2
29,4
16,4
445,0
61,3
38,7
B. macrophylla(KB5)
32,3
22,6
29,0
16,2
452,0
61,3
38,7
B. macrophylla(KR4)
32,2
22,8
28,9
16,2
426,0
61,0
39,0
B. macrophylla(SN)
32,1
22,2
29,5
16,3
455,0
61,5
38,5
B. oppositifolia(BL12)
32,2
22,5
29,1
16,3
454,0
61,2
38,8
B. oppositifolia(GT)
32,1
23,1
28,5
16,3
424,0
60,6
39,4
B. oppositifolia(KR1)
32,1
22,8
28,8
16,4
452,0
60,8
39,2
B. oppositifolia(KR2)
32,1
22,8
29,0
16,2
452,0
61,1
38,9
B. oppositifolia(KR3)
32,2
22,7
28,9
16,1
453,0
61,1
38,9
B. oppositifolia(KR5)
32,1
22,8
29,0
16,2
452,0
61,1
38,9
B. oppositifolia(SP)
31,9
22,8
29,0
16,2
451,0
61,0
39,0
Anacardium occidentale
31,3
22,5
30,2
16,0
457,0
61,5
38,5
Mangifera indica
33,7
21,5
32,0
12,8
413,0
65,6
34,4
Rata-rata
32,2
22,6
29,2
16,0
445,5
61,4
38,6

Variasi urutan sekuen yang terdapat pada cpDNA umumnya disebabkan oleh mutasi nukleotida tunggal yang mempresentasikan mutasi yang telah terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama (Fitmawati & Hartana, 2010). Hal ini sangat penting karena perbedaan panjang pada sekuen trnL-F pada tanaman berbiji telah diamati (Quandt & Stech, 2004) yang disebabkan oleh terjadinya mutasi pada beberapa wilayah tertentu pada sekuen trnL-F (Borsch et al., 2003). Oleh karena itu, perubahan pada sekuen ini meskipun dalam jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan genom inti, tetap bermakna penting sebagai informasi dalam analisis proses evolusinya karena cpDNA diwariskan secara uniparental atau umumnya maternal heredity sehingga tidak terdapat rekombinan seperti yang terjadi pada DNA inti.
Hasil alignment pada Lampiran 6 menunjukkan adanya gap pada sekuen yang disebabkan oleh adanya insersi dan delesi. Pada ingroup (B. macrophylla dan B. oppositifolia), delesi terjadi pada basa no. 1-12, 433, dan 467-483, insersi terjadi pada basa no. 3, 5, 16, 17, 35, 466, 467, 470, dan 471, sedangkan insersi delesi terjadi pada basa no. 3, 5, 467, 470, dan 471. Perubahan sekuen cpDNA pada tingkat taksa yang rendah seperti spesies dan intra spesies memiliki laju yang sangat rendah (<1%) (Fitmawati & Hartana, 2010) sehingga sekuen ini lebih cocok digunakan untuk taksa yang lebih tinggi (Marga, Family, dan seterusnya) dari pada untuk taksa yang rendah (spesies, intra spesies), tetapi dapat digunakan untuk menguji status taksonomi suatu spesies yang menunjukkan variasi yang tinggi untuk melihat apakah variasi tersebut disebabkan oleh perbedaan antar spesies atau hanya intra spesies.

4.3.3.  Analisis filogenetik sekuen trnL-F DNA kloroplas pada Marga Bouea
Pohon filogenetik yang disajikan pada Gambar 4.12 dibangun dengan metode Maximum Parsimony dan 1000x bootstrap.

Gambar 4.12. Pohon filogenetik sekuen trnL-F  dari Bouea dan outgroup (A. occidentale dan M. indica) hasil rekonstruksi dengan menggunakan metode Maximum parsimony berdasarkan kimura-2-parameter model. Percabangan dianalisis dengan nilai bootstrap >50% dari 1000 ulangan.

Analisis pohon filogenetik menyingkap jawaban penting tentang sifat leluhur. Pohon yang dihasilkan merupakan pohon monofiletik dengan 3 kelompok utama. Kelompok pertama merupakan kelompok yang terdiri dari 1 spesies yaitu B. oppositifolia terdiri dari 7 aksesi. Kelompok kedua terdiri dari 1 spesies yaitu B. macrophylla terdiri dari 6 aksesi. Kelompok ketiga terdiri dari outgroup yaitu M. indica dan A. occidentale (Gambar 4.12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Taberlet et al. (1991) yang menyatakan bahwa DNA kloroplas baik digunakan untuk analisis kekerabatan antar spesies tetapi kurang baik dalam analisis kekerabatan intraspesies. Pada Gambar 4.12 terlihat bahwa B. oppositifolia dan B. macrophylla terpisah secara tegas percabangannya kecuali B. macrophylla aksesi asal Ambon (AM1) yang menunjukkan keunikan tersendiri dengan membentuk cabang terpisah dari kedua jenis Bouea. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jauhnya letak geografi aksesi tersebut sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada sekuen trnL-F pada DNA kloroplasnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa cabang yang ditempati oleh B. macrophylla dan B. oppositifolia mengelompok secara terpisah dari outgroup dengan nilai bootstrap 100% dan merupakan kelompok monofiletik atau dari nenek moyang yang sama.
Analisis pohon filogenetik berdasarkan sekuen trnL-F kurang mampu menjelaskan hubungan biogeografi Bouea. Hal ini dapat dilihat dari satu cabang pada pohon filogenetik terdiri dari 2 aksesi dengan perbedaan geografi yang cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa sekuen trnL-F pada marga Bouea tidak terpengaruh letak geografi. Sebanyak 6 aksesi pada B. macrophylla dan 7 aksesi pada B. oppositifolia bersama-sama membentuk 2 cabang utama dan tidak terkelompok secara geografi.
Metode Neighbour Joining (NJ) juga dilakukan untuk melihat perbedaan jarak genetik dan menganalisis similaritas antar sampel (Gambar 4.13). Berdasarkan analisis Neighbour Joining (Saitou & Nei, 1987) terlihat bahwa B. oppositifolia asal Gunung Tua (GT), Sumatra Utara memiliki ruas terpanjang dan muncul lebih awal sehingga diduga B. oppositifolia sebagai tetua bersama dari B. oppositifolia dan B. macrophylla. Keanekaragaman yang ditunjukkan oleh penanda cpDNA dapat sangat berbeda dengan keanekaragaman yang ditunjukkan oleh penanda morfologi. Pola yang muncul dari penanda cpDNA tidak selalu berhubungan dengan pola yang dihasilkan dari penanda morfologi, dan demikian pula sebaliknya. Kloroplas diwariskan secara uniparental atau maternal heredity yaitu diturunkan hanya dari tetua betina dan tidak terjadi rekombinasi sedangkan karakter morfologi diwariskan dari kedua tetua dan terjadi rekombinasi antara sifat kedua tetua serta dipengaruhi oleh lingkungan.
Gambar 4.13 mengkonfirmasi bahwa B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR1, KR2, KR3, dan KR5), Bangka Belitung (BL), dan Sipiongot (SP/Sumatra Utara) memiliki similaritas yang tinggi jika dibandingkan dengan B. oppositifolia asal Gunung Tua (GT), Sumatra Utara. Kelompok kedua diduduki oleh B. macrophylla asal Banten (BA5), Ambon (AM1), Sumatra Barat (BS4), Kalimantan Barat (KB5), Aceh (SN), dan Kebun Raya Bogor (KR4), sedangkan kelompok ketiga ditempati oleh A. occidentale dan M. indica. Marga Bouea memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan A. occidentale dibandingkan dengan M. indica yang memiliki kemiripan yang lebih dengan marga Bouea.

Gambar 4.13. Pohon filogenetik sekuen trnL-F  dari Bouea dan outgroup (A. occidentale dan  M. indica) hasil rekonstruksi dengan menggunakan metode Neighbour Joining. Percabangan dianalisis dengan nilai bootstrap > 50 % dari 1000 ulangan.

Gen trnL-F terletak di DNA kloroplas mayoritas tumbuhan dan diwariskan secara maternal, oleh karena itu gen ini tidak memiliki rekombinasi. Meskipun rekombinasi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies, sangat sulit untuk mendapatkan informasi leluhur dari gen yang terekombinasi. Sekuen gen yang terletak di DNA kloroplas mengalami tingkat evolusi yang rendah, oleh karena itu DNA ini baik digunakan untuk analisis kekerabatan antar spesies tetapi kurang dalam analisis kekerabatan intraspesies (Taberlet et al., 1991).
Daerah non-koding memiliki tingkat mutasi yang rendah jika dibandingkan dengan dengan daerah koding (Taberlet, et al., 1991 ; Hamilton, 1999). Daerah nonkoding akan menunjukkan lebih banyak variasi ketika diurutkan dari daerah koding, sehingga jika hasil sekuensing cukup informatif, maka sekuen intron dan intergenic spacer pada DNA kloropas dapat digunakan untuk mempelajari kekerabatan antar spesies (Hamilton, 1999).

4.4. Distribusi Spasial Gandaria (Bouea) di Indonesia
4.4.1.  Studi Herbarium
Persiapan awal dalam memperoleh informasi tentang distribusi dan karakteristik dari Bouea dikumpulkan dari informasi literatur yang diperoleh dari spesimen herbarium. Pengamatan spesimen herbarium dilakukan di Herbarium Bogoriense, Center of Biology, Indonesia Institute of Sciences (LIPI), Cibinong, Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari spesimen herbarium, herbarium dikoleksi dari tahun 1868 hingga tahun 2004, sehingga status taksonomi yang ditentukan oleh Hou pada tahun 1975 kemungkinan sudah tidak sesuai lagi dengan status Bouea saat ini. Spesimen diidentifikasi oleh Ding Hou, Kochumer, CA Backer, and Koorders. Berdasarkan data herbarium diketahui terdapat 52 spesimen B. oppositifolia, 30 spesimen B. macrophylla, dan 1 spesimen Bouea sp yang tidak dapat dijelaskan termasuk ke dalam Bouea jenis oppositifolia atau macrophylla. Pada penelitian ini digunakan 30 spesimen B. oppositifolia dan 29 spesimen B. macrophylla berdasarkan lokasi pengkoleksian spesimen. Spesimen yang dipilih adalah spesimen yang dikoleksi dari wilayah Indonesia dan memiliki koordinat yang jelas untuk analisis spasial.
Sebagian besar spesimen B. macrophylla diperoleh dari Jawa (23 spesimen) dan yang lainnya berasal dari Sumatra Utara (4 spesimen), dan Bangka Belitung (2 spesimen). Data spesimen B. oppositifolia sebagian besar berasal dari Kalimantan (15 spesimen) dan yang lainnya berasal dari Jawa (1 spesimen), Bangka Belitung (6 spesimen), Sumatra Utara (3 spesimen), dan Sumatra Selatan (5 spesimen) (Tabel 22). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat diversitas Bouea di dunia yang termasuk ke dalam wilayah Malesia bagian barat. Sesuai dengan pernyataan Rifai (1992) yang menyatakan bahwa wilayah Malesia bagian barat merupakan pusat diversitas Bouea.

Tabel 22. Daftar aksesi Bouea yang ditemukan pada pengamatan herbarium

No.
Jenis
Provinsi
Jumlah
1
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kalimantan Tengah
1
2
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kalimantan Utara
1
3
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kalimantan Barat
1
4
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kalimantan Selatan
1
5
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kalimantan Timur
11
6
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Jawa Barat
1
7
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Bangka Belitung 
6
8
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Sumatra Utara
3
9
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Sumatra Selatan
5
10
B. macrophylla Griffit.
Jawa Tengah
8
11
B. macrophylla Griffit.
Jawa Barat
10
12
B. macrophylla Griffit.
Banten
1
13
B. macrophylla Griffit.
DKI Jakarta
4
14
B. macrophylla Griffit.
Sumatra Utara
4
15
B. macrophylla Griffit.
Bangka Belitung
2
Total
59

Perbedaan yang signifikan pada pengamatan spesimen herbarium adalah perbedaan ukuran daun dan tata letak daun antara kedua jenis Bouea sehingga dapat dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan bentuk daun yaitu daun telur sungsang (Bulat Telur Sungsang), daun elips, dan daun linear. Berdasarkan klasifikasi Bouea oleh Ding Hou, B. oppositifolia menunjukkan perbedaan bentuk daun yang signifikan dengan bentuk bulat panjang dan daun berbentuk telur sungsang (Bulat Telur Sungsang).

4.4.2.  Studi Lapangan
Berdasarkan data yang diperoleh pada studi lapangan, Bouea terdistribusi luas di wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Wilayah Indonesia bagian barat mencakup pulau Sumatra, Kalimantan Barat, Banten, dan Jawa Barat, wilayah Indonesia bagian tengah mencakup Kalimantan Selatan dan wilayah Indonesia bagian Timur mencakup kepulauan Maluku (Ambon). Berdasarkan studi herbarium, tidak ditemukan spesimen yang terdistribusi di wilayah Timur Indonesia, sedangkan pada studi lapangan, ditemukan distribusi baru dari marga Bouea yang terdapat di wilayah Ambon, Kepulauan Maluku.
Berdasarkan hasil studi lapangan, data yang diperoleh adalah 75 aksesi spesies B. macrophylla dan 30 aksesi spesies B. oppositifolia. B. macrophylla tersebar di wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, sedangkan B. oppositifolia terdistribusi hanya di wilayah Indonesia Bagian Barat (Tabel 23).

Tabel 23. Daftar aksesi Bouea yang ditemukan pada studi lapangan
No.
Jenis
Provinsi
Jumlah
1
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Sumatra Utara                       (SU)
5
2
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Riau                                        (RI)
1
3
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Bangka Belitung    (BL)
19
4
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
Kebun Raya Bogor               (KR)
5
5
B. macrophylla Griffit.
Ambon                                   (AM)
14
6
B. macrophylla Griffit.
Banten                                   (BA)
8
7
B. macrophylla Griffit.
Sumatra Barat                       (BS)
5
8
B. macrophylla Griffit.
Bogor                                     (BO)
13
9
B. macrophylla Griffit.
Jambi                                      (JB)
2
10
B. macrophylla Griffit.
Kalimantan Barat  (KB)
6
11
B. macrophylla Griffit.
Kalimantan Selatan              (KS)
18
12
B. macrophylla Griffit.
Palembang                            (PLB)
2
13
B. macrophylla Griffit.
Lampung                                (LP)
1
14
B. macrophylla Griffit.
Bangka Belitung    (BL)
1
15
B. macrophylla Griffit.
Medan                                   (MDN)
1
16
B. macrophylla Griffit.
Aceh                                       (SN)
1
17
B. macrophylla Griffit.
Kebun Raya Bogor               (KR)
3
Total
105

Distribusi dari B. macrophylla di Indonesia terdapat di wilayah provinsi Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Banten, Jawa Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Maluku. Distribusi dari B. oppositifolia terdapat di wilayah Sumatra Utara, Bangka Belitung, Riau, dan Jawa Barat. Jumlah tertinggi terdapat pada populasi Bangka Belitung, Ambon, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan, sedangkan distribusi terluas terdapat di pulau Sumatra.


4.4.3.  Analisis Hasil
a.  Model distribusi dari B. macrophylla
Model Maximum Entropy (MaxEnt) menghasilkan peta distribusi spesies dimana nilai Area Under the Curve (AUC) merepresentasikan kinerja model, kurva respon dan tabel persentase menunjukkan bagaimana masing-masing variabel prediktor berkontribusi pada model MaxEnt. Peta yang dihasilkan adalah model prediksi kehadiran spesies pada suatu wilayah berdasarkan kesesuaian variabel habitat. Model yang diprediksi berdasarkan model MaxEnt pada wilayah kehadiran sangat baik. Nilai AUC pada kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) menunjukkan nilai 0,974 dan 0,906 (Gambar 4.14).

Gambar 4.14. Kurva Receiver Operating Characterictic (ROC) dari model distribusi B.                  macrophylla

Gambar 4.15 menunjukkan tingkat kesalahan pada daerah sampel dan  daerah yang diprediksi dengan menggunakan kurva ambang kumulatif. Tingkat kesalahan dihitung berdasarkan data kehadiran sampel dan kehadiran daerah prediksi. Tingkat kesalahan sampel harus dekat dengan tingkat kesalahan prediksi berdasarkan defenisi ambang kumulatif.


Gambar 4.15.  Kesesuaian data prediktif dengan data yang digunakan dalam model distribusi B. macrophylla

Gambar 4.15. menunjukkan bahwa kesalahan prediksi dengan kesalahan sampel berada pada kurva yang berdekatan dan sebagain besar di luar ambang kumulatif sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas data yang digunakan dalam penelitian ini sangat baik. Kurva ini memverifikasi secara signifikan bahwa sampel dan data model lebih baik daripada data acak (Philips, et al., 2006).


Gambar 4.16.  Model Prediksi habitat B. macrophylla di Indonesia berdasarkan analisis
                         model MaxEnt

Gambar 4.16 merupakan representasi dari model MaxEnt untuk B. macrophylla. Titik putih pada Gambar 4.16 menunjukkan daerah lokasi sampel sedangkan titik berwarna ungu menunjukkan hasil model prediksi distribusi. Nilai model yang mendekati 1 menunjukkan bahwa nilai probabilitas kehadiran sangat tinggi pada daerah tersebut. Gambar 4.16 menunjukkan bahwa wilayah Jawa bagian barat dan Kalimantan Selatan merupakan wilayah dengan nilai probabilitas kehadiran yang sangat tinggi. Berdasarkan model distribusi hasil analisis MaxEnt menunjukkan bahwa B. macrophylla tersebar luas di wilayah Pulau Sumatra dari Aceh hingga Lampung. Sebaran yang cukup luas di pulau Sumatra terdapat di wilayah Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Utara, dan Aceh. Distribusi B. macrophylla di wilayah Pulau Jawa berdasarkan hasil analisis Maxent adalah wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebaran yang cukup luas terdapat pada Banten dan Jawa Barat. Distribusi B. macrophylla di wilayah Pulau Kalimantan berdasarkan hasil analisis MaxEnt adalah wilayah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Sebaran terluas terdapat pada wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.

Tabel 24. Persentasi kontribusi relatif dari variabel pada model MaxEnt
Variabel
Persentase Kontribusi
Permutasi Penting
Soil2
44,3
12,3
Bio3
16,6
2,3
Landcover2
7,9
1,3
Bio7
5,1
3,5
Dem
5
3
Prec8
4,5
0
Prec6
3,5
3,2
Aspect
2
0
Bio11
1,9
0,3
Prec5
1,9
5,8
Bio4
1,3
3,9
Slope2
1,2
1,1
Prec1
0,9
21,2
Bio15
0,7
3,9
Bio13
0,6
12,6
Bio9
0,6
0,8
Bio8
0,5
0,6
Prec3
0,4
9,9
Prec7
0,4
0
Prec11
0,4
0,5
Bio12
0,2
0
Bio1
0,2
13,6
Bio19
0,1
0,3
Prec12
0,1
0

Persentase kontribusi pada 14 variabel yang memberikan pengaruh dalam analisis model MaxEnt disajikan pada Tabel 24. Tabel ini memberikan perkiraan kontribusi relatif dari variabel lingkungan yang digunakan dalam model MaxEnt. Soil-2, illuvial humus podzol (FAO, 2006), diidentifikasi sebagai variabel paling penting pada model distribusi MaxEnt pada B. macrophylla. Bio3, iklim isotermal, diidentifikasi sebagai variabel iklim yang paling mempengaruhi distirbusi B. macrophylla. Prec2, curah hujan di bulan Februari menjadi faktor curah hujan yang paling mempengaruhi distribusi B. macrophylla. Uji Jacknife pada model MaxEnt seperti pada gambar 4.17 menunjukkan bahwa jenis tanah alluvial humus podzol, iklim isotermal, landcover2, dan rentang suhu tahunan merupakan 4 faktor lingkungan yang paling penting bagi distribusi B. macrophylla.

Gambar 4.17.  Hasil uji Jackknife terhadap variabel yang paling berpengaruh terhadap model distribusi


b. Model distribusi dari B. oppositifolia
Model yang diprediksi berdasarkan model MaxEnt pada wilayah kehadiran menunjukkan nilai yang sangat baik. Gambar 4.18 memperlihatkan bahwa Nilai AUC pada kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) berada pada angka 0,977 dan 0,906. Hal ini menunjukkan bahwa peta hasil dianalisis memiliki nilai probabilitas yang sangat tinggi. AUC merupakan salah satu metode untuk menentukan kurva ambang batas (Liu et al., 2005). Menurut Swets (1988), klasifikasi data menurut AUC memiliki peringkat yang baik dalam menentukan kurva ambang batas.


Gambar 4.18. Kurva Receiver Operating Characterictic (ROC) dari model distribusi B. oppositifolia

Setelah menganalisis menggunakan AUC, kinerja model kemudian dianalisis menggunakan extrinsic omission rate untuk menguji kesesuaian kesalahan data dengan kesalahan model prediksi seperti terlihat pada gambar 4.19. Tingkat kesalahan data yang rendah tidak cukup untuk membuat suatu model prediksi yang baik (Anderson et al., 2003). Sebaliknya, untuk membuat suatu model prediksi yang baik diperlukan data yang proporsional antara data yang digunakan dengan data pada model yang potensial terhadap distribusi spesies. Kurva ini memverifikasi secara signifikan bahwa sampel dan data model lebih baik dari pada data acak (Philips, et al., 2006).
Omission on training sampel (garis biru) menunjukkan fraksi dari titik koordinat yang berada di luar wilayah potensi model MaxEnt dari nilai terendah ke nilai tertinggi berdasarkan ambang batas (cumulative threshold) prediksi potensi berdasarkan model MaxEnt. Training sampel merupakan representasi dari analisis point kehadiran (presence point). Fraction of background predicted (garis merah) menunjukkan fraksi nilai dari wilayah penelitian yang termasuk pada batas wilayah potensial berdasarkan model MaxEnt. Garis biru yang berada di bawah garis hitam menunjukkan bahwa data yang digunakan sesuai dengan model yang digunakan MaxEnt.

Gambar 4.19. Kesesuaian data prediktif dengan data yang digunakan dalam model distribusi B. oppositifolia

Persentase kontribusi pada 25 variabel yang paling berpengaruh dalam analisis model MaxEnt disajikan pada Tabel 25 yang memberikan perkiraan kontribusi relatif dari variabel lingkungan yang digunakan dalam model distribusi MaxEnt pada B. oppositifolia. Variabel yang paling berpengaruh terhadap distribusi B. oppositifolia adalah Soil2, illuvial humus podzol (FAO, 2006) yang merupakan variabel yang paling mempengaruhi analisis distribusi B. oppositifolia (49,5). Landcover2, merupakan variabel tutupan lahan yang paling mempengaruhi analisis MaxEnt B. oppositifolia (19,8). Bio2, rata-rata suhu harian, merupakan variabel iklim yang paling mempengaruhi (6,5%). Slope2, 0,2–0,5%, merupakan variabel kemiringan lereng yang paling mempengaruhi distribusi B. oppositifolia (6,1%). Prec1, curah hujan di bulan Januari, merupakan variabel curah hujan yang paling mempengaruhi distribusi B. oppositifolia (2,1%).

Tabel 25. Persentasi kontribusi relatif dari variabel pada model MaxEnt
Variable
Percent contribution
Permutation importance
Soil2
49.5
13
Landcover2
19.8
1.7
Bio2
6.5
3
Slope2
6.1
1.4
Bio19
4.1
0
Dem
2.7
15.3
Bio14
2.3
19.2
Prec1
2.1
17.6
Prec3
1.7
5.5
Prec8
1.6
0.8
Bio4
1.1
9.6
Prec5
0.6
2.5
Bio10
0.6
0.1
Bio18
0.3
0.9
Prec4
0.2
2.7
Bio15
0.2
4.7
Bio7
0.2
0
Prec9
0.2
1.1
Aspect
0.1
0.2
Prec2
0.1
0.3
Prec11
0
0.4

Uji Jackknife seperti yang terlihat pada Gambar 4.20 menunjukkan bahwa variabel jenis tanah, tutupan lahan, iklim, dan kemiringan merupakan faktor utama yang paling berpengaruh terhadap distribusi B. oppositifolia. Uji Jackknife digunakan untuk mengidentifikasi kontribusi kovariat yang paling berpengaruh pada model dengan menjalankan model dengan masing-masing kovariat (Elith et al., 2011). Kovariat yang memiliki kontribusi yang sangat tinggi dapat mengubah kontribusi kovariat lainnya pada model (Phillips et al., 2006; Baldwin, 2009).
Uji Jackknife akan menentukan variabel awal yang paling menentukan dalam pembentukan model. Warna biru merepresentasikan keseluruhan AUC dari model yang dibuat menggunakan satu variabel saja untuk menunjukkan bahwa setiap variabel memiliki pengaruh yang berbeda terhadap model dan juga menunjukkan pentingnya variabel tersebut terhadap model yang dibentuk. Warna biru kehijauan merepresentasikan kinerja model menggunakan keseluruhan variabel untuk menunjukkan bahwa ada terdapat korelasi yang tinggi antar variabel di dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan panjang batang warna biru kehijauan pada tingkat kinerja yang sama (Gambar 4.20).

Gambar 4.20.  Hasil uji Jackknife terhadap variabel yang paling berpengaruh terhadap model      distribusi B. macrophylla.

Gambar 4.21 merupakan representasi dari model MaxEnt untuk B. oppositifolia. Titik putih menunjukkan daerah lokasi sampel sedangkan titik berwarna ungu menunjukkan hasil model prediksi distribusi. Nilai model yang mendekati 1 (berwarna merah) menunjukkan bahwa nilai probabilitas kehadiran sangat tinggi pada daerah tersebut. Gambar 4.21 menunjukkan bahwa wilayah Bangka Belitung, Sumatra Utara, Aceh, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat merupakan wilayah dengan nilai probabilitas kehadiran yang sangat tinggi. Berdasarkan model distribusi hasil analisis MaxEnt, B. oppositifolia tersebar luas seluruh wilayah Pulau Sumatra. Sebaran yang cukup luas di pulau sumatra terdapat di wilayah Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung. Sebaran B. oppositifolia di pulau kalimantan terdapat di hampir seluruh wilayah pulau Kalimantan. Sebaran yang luas terdapat pada wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Sebaran B. oppositifolia di pulau Jawa terdapat pada daerah Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.


Gambar 4.21.  Model Prediksi habitat B. oppositifolia di Indonesia berdasarkan
                         kesesuaian
Pembuatan model distribusi MaxEnt didasarkan pada data variabel lingkungan dengan resolusi 5-arc-minutes seperti iklim (bio = bioclim) (www.worldclim.org), curah hujan (prec = precipitation) (www.worldclim.org), kemiringan lereng (slope) (www2.jpl.nasa.gov), jenis tanah (soil) (www.isric.org), tutupan lahan (landcover), arah kemiringan lereng (aspect) (srtm.csi.cgiar.org) dan ketinggian (dem = digital elevation model) (www.worldclim.org). Untuk menghubungkan antara distribusi dengan iklim, digunakan 19 variabel iklim (Hijmans, et al., 2005), 12 variabel curah hujan, 10 data kemiringan lereng, 8 data aspect  dan 15 data jenis tanah.

4.5.  Pembahasan Umum
Bouea atau yang lebih umum dikenal sebagai gandaria di Indonesia merupakan tumbuhan asli kawasan Malesiana yang berkerabat dekat dengan mangga. Perbedaan mangga dengan gandaria terletak pada beberapa ciri seperti duduk daun yang berhadapan (opposite), warna kotiledon ungu, dan bentuk buah bulat melonjong (aksesi dari Thailand berbentuk seperti mangga) pada gandaria sedangkan pada mangga duduk daun berseling (alternate), kotiledon berwarna putih, dan bentuk buah pipih membujur (Hou, 1975). Marga Bouea terdiri 3 jenis yaitu Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia yang tersebar di kawasan Malesia dan Bouea poilanei yang dilaporkan tumbuh di Vietnam (Le & Hancock, 1999).
Di lokasi tumbuhnya B. macrophylla dan B. oppositifolia ditemukan tumbuh pada ketinggian 5-350 meter alt di kawasan tepi pantai dan dataran rendah (Rifai, 1991). Hanya satu koleksi dari Sibolangit yang dilaporkan tumbuh pada ketinggian 500 m alt berdasarkan koleksi herbarium di Herbarium Bogoriense. B. macrophylla dilaporkan banyak ditemukan di Jawa Barat, Kalimantan dan Ambon. Namun hasil penelusuran menyatakan bahwa B. macrophylla juga ditemukan tumbuh di sepanjang pantai timur Sumatra dan ini merupakan satu informasi yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Sementara itu B. oppositifolia ditemukan di kawasan Sumatra tengah mulai dari Sipiongot, Padang Lawas Utara, Padang Lawas  hingga ke Taman Nasional Sultan Syarif Hasyim II yang juga belum pernah dilaporkan sebelumnya dan selain Sumatra Tengah, B. oppositifolia juga ditemukan di pulau Belitung. B. oppositifolia yang ditemukan di Sumatra Tengah memiliki ciri bentuk seperti melinjo dengan warna hijau pada saat muda dan hijau kekuningan jika matang, sementara yang ditemukan di pulau Belitung memiliki ciri buah berwarna hijau ketika muda dan merah pada saat matang dan rasanya asam. B. oppositifolia yang berasal dari Belitung dan Lampung memiliki buah berwarna merah. B. macrophylla yang ditemukan di Ambon memiliki ciri buah yang berukuran lebih besar dan rasanya manis jika dibandingkan dengan B. macrophylla dari wilayah lainnya. Selain itu, B. macrophylla yang ditemukan di Kalimantan Selatan juga memiliki rasa yang manis tetapi ukuran buah sama seperti sampel dari wilayah lainnya.
Hasil analisis klaster berdasarkan penanda morfologi menunjukkan bahwa variasi morfologi pada B. oppositifolia lebih besar dibandingkan dengan variasi morfologi pada B. macrophylla. B. oppositifolia memiliki rentang koefisien kemiripan antara 0,49-1,00 sedangkan B. macrophylla memiliki rentang koefisien kemiripan antara 0,77-1,00. B. oppositifolia pada koefisien kemiripan 0,83 terbagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi yang berasal dari Sumatra Utara dan Riau dengan ciri daun lonjong, buah berwarna kuning dan kuning kehijauan, serta bau terpentin halus. Kelompok II terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal Batang Sumani, Solok, Sumatra Barat (KR5 dan KR6) dengan ciri tunas ketiak daun membulat, tangkai daun sangat panjang, rasa buah manis, permukaan adaksial dan bawah daun mengkikap. Kelompok III terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal pulau Belitung (KR2) dan pulau Belitung dengan ciri tajuk pohon rimbun dan daun berbeda. Kelompok IV terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal pulau Belitung (KR3) dan pulau Belitung dengan ciri tajuk pohon sedang dan pertulangan daun rapat. Kelompok V terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal Lampung (KR1) dengan ciri warna daun bawah dan adaksial berwarna hijau tua, permukaan daun berbentuk cembung, bentuk daun Jorong, dan tekstur permukaan daun halus. B. macrophylla pada koefisien kemiripan yang sama dengan B. oppositifolia (0,83) hanya membentuk 1 kelompok. B. macrophylla pada koefisien 0,93 terbagi menjadi 7 kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon dengan ciri rasa buah manis dan ukuran buah besar. Kelompok II terdiri dari aksesi yang berasal dari Banten, Bogor, Cibinong, Palembang, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Kelompok III terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon (Ambon 3 dan Ambon 4), Belitung, Banten, Palembang, dan Lampung. Kelompok IV terdiri dari aksesi yang berasal dari Jambi, Kalimantan Barat, Kebun Raya Bogor (KR4). Kelompok V terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon (Ambon 14) dan Batu Sangkar dengan ciri pohon medium dan tajuk sedang. Kelompok VI terdiri dari aksesi yang berasal dari Lhoksukon dan Medan. Kelompok VII terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor asal Jambi (KR7) dan Jawa Barat (KR8).
Hasil analisis klaster berdasarkan penanda morfologi menunjukkan bahwa variasi morfologi B. oppositifolia lebih besar dibandingkan dengan variasi morfologi pada B. macrophylla. Namun hasil analisis menggunakan penanda ISSR menunjukkan bahwa variasi genetik pada B. macrophylla lebih besar dibandingkan variasi genetik pada B. oppositifolia. Berdasarkan analisis klaster menggunakan penanda ISSR, B macrphylla memiliki koefisien similaritas antara 0,33-0,83 sedangkan pada B. oppositifolia, koefisien similaritas antara 0,68-0,99. Hal ini dapat dianalisis berdasarkan efektifitas penanda pada analisis ISSR. Jumlah alel efekfif pada B. macrophylla tertinggi berasal dari primer PKBT12 (1,6092) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (1,2878) dengan rata-rata jumlah alel efektif 1,4228 sedangkan pada B. oppositifolia jumlah alel efektif tertinggi berasal dari primer PKBT12 (1,2484) dan terendah berasal dari PKBT5 (1,0345) dengan rata-rata jumlah alel efektif 1,1587. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan yang digunakan mampu menganalisis jumlah alel efektif pada B. macrophylla lebih baik dari pada B. oppositifolia. Menurut Yuan et al. (2007) semakin dekat jumlah alel efektif dengan jumlah alel yang diamati maka distribusi alel dalam suatu populasi semakin merata. Menurut Hartl & Clark (1989), alel efektif memungkinkan kita untuk membandingkan jumlah dan distribusi alel yang berbeda secara signifikan.
Nilai heterozigositas pada B. macrophylla tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,3602) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,1952) dengan rata-rata nilai heterozigositas 0,2611 sedangkan pada B. oppositifolia nilai heterozigositas tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,2147) dan terendah berasal dari primer PKBT4 (0,0207) dengan rata-rata nilai heterozigositas 0,1261. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan mampu menganalisis nilai heterozigositas pada pada B. macrophylla lebih baik dari pada B. oppositifolia. Nilai Polymorphic Information Content (PIC) pada B. macrophylla tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,933) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,835) dengan rata-rata nilai PIC 0,893 sedangkan nilai PIC pada B. oppositifolia tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,8405) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,4987) dengan rata-rata nilai PIC 0,7009. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan mampu menganalisis nilai PIC pada B. macrophylla lebih baik dari pada B. oppositifolia. PIC merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur penilaian dari nilai polimorfisme (Botstein et al., 1980). Polimorfisme dikatakan tinggi apabila nilai PIC => 0,5, sedangkan kategori sedang apabila nilai PIC = 0,25 < PIC < 0,5, dan kategori rendah apabila nilai PIC =< 0,25.
Menurut Lewontin (1972), Shannon’s Information Index (SII) merupakan pengukur diversitas gen. Nilai SII pada B. macrophylla tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,5391) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,3223) dengan nilai rata-rata SII 0,4072, sedangkan pada B. oppositifolia nilai tertinggi berasal dari primer PKBT8 (0,3599) dan terendah berasal dari primer PKBT4 (0,0408) dengan nilai rata-rata SII 0,2103. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan mampu menganalisis nilai Shannon’s Information Index lebih baik pada B. macrophylla dari pada B. oppositifolia..
Nilai heterozigositas pada seluruh populasi B. macrophylla berdasarkan penanda ISSR adalah 0,2219 sedangkan pada B. oppositifolia adalah 0,1528. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik yang cukup besar antar individu di dalam populasi B. oppositifolia.  Nilai heterozigositas pada sub populasi pada B. macrophylla adalah 0,0941 sedangkan pada B. oppositifolia adalah 0,0869. Nilai koefisien diferensiasi genetik pada populasi B. macrophylla adalah 0,5750 sedangkan pada B. oppositifolia adalah 0,4316. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien diferensiasi genetik pada populasi B. macrophylla lebih besar dari pada B. oppositiffolia. Nilai gen flow pada B. macrophylla adalah 0,3681 sedangkan pada oppositifolia adalah 0,6584. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat isolasi yang lebih besar pada B. oppositifolia dari pada B. macrophylla. Menurut Fishcer & Mathies (1988), isolasi geografis yang lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang.
Berdasarkan Analysis of Molecular Variance (AMOVA), untuk melihat pengaruh wilayah antar populasi dan dalam populasi yang berkontribusi pada keragaman genetik, pada B. macrophylla keragaman genetik yang disebabkan oleh dalam populasi adalah 86% sedangkan keragaman genetik yang disebabkan oleh antar populasi adalah 14%. Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang muncul berasal dari dalam populasi itu sendiri dan nilai AMOVA yang rendah untuk antar populasi menunjukkan bahwa wilayah sebaran dari B. macrophylla luas atau terfragmentasi oleh wilayah geografis. Pada B. oppositifolia, keragaman genetik yang disebabkan oleh dalam populasi adalah 40 % sedangkan keragaman genetik yang disebabkan oleh antar populasi adalah 60 %. Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang muncul lebih besar berasal dari variasi antar populasi jika dibandingkan dengan dalam populasi itu sendiri. Nilai AMOVA yang tinggi untuk variasi yang disebabkan oleh antar populasi menunjukkan bahwa wilayah sebaran dari B. oppositifolia lebih sempit atau pengaruh fragmentasi wilayah geografis yang rendah.
Hal ini diduga karena meskipun B. oppositifolia memiliki beberapa aksesi, masing-masing aksesi tersebut terdistribusi di kawasan sempit dan terbatas serta letaknya yang masih berada di daerah hutan. B. oppositifolia ditemukan di daerah Belitung, Sumatra Tengah, dan Kebun Raya Bogor (asal Lampung dan Batang Sumani), sebaliknya meskipun aksesi B. macrophylla jumlahnya sedikit tetapi tersebar dalam kawasan yang luas di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Ambon. Sehingga adaptasi dengan kondisi geografisnya yang berbeda beda dan berlangsung dalam waktu yang lama memungkinkan terjadinya aksesi aksesi baru yang hanya terlacak dengan analisis molekuler. Campur tangan manusia juga turut berperan dalam upaya menampilkan karakter-karakter yang menguntungkan dalam hal seleksi tanaman. Manusia hanya membudidayakan tanaman dengan karakter unggul seperti buah besar, rasa manis, warna menarik, umur genjah, dan lain-lain. Akibatnya terjadi variasi-variasi baru di lokasi temuan yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan kondisi ekologi setempat.
Kondisi geografis memunculkan variasi nilai AMOVA pada setiap anggota dari marga Bouea. Kelompok yang agak spesifik seperti Ambon memiliki kondisi geografis yang tidak jauh berbeda dibandingkan kondisi geografis lainnya. Akan tetapi ada catatan lain di lapangan bahwa umumnya buah buahan yang di lokasi lain terasa asam, maka yang ditemukan di kawasan Ambon memiliki rasa manis (Kalimantan dan Sumatra rasanya asam, akan tetapi yang ditemukan di Ambon rasanya manis). Hal ini memberikan satu masukan baru tentang keunikan kondisi tanah di Ambon dan memerlukan satu kajian lain. Selain ambon aksesi asal Kota Baru Kalimantan Selatan juga memiliki buah dengan rasa manis yang setelah dilakukan skrining fitokimia ternyata mengandung steroid dan tidak mengandung triterpenoid.
Munculnya beberapa sifat unggul seperti rasa buah manis dan ukuran buah yang melebihi rata rata seperti yang ada di ambon dan buah manis yang ada di kota baru Kalimantan merupakan satu bentuk interaksi antara tumbuhan itu sendiri dengan faktor faktor lingkungannya. Campur tangan manusia dalam kondisi ini jelas terlihat mulai dari penanaman atau distribusi tanaman ini dari tempat asal, proses penananam, pemupukan dan berbagai faktor ekologi lainnya yang sudah disesuaikan dengan kondisi geografis dimana manusia hidup. Umumnya B. macrophylla ditemukan di kawasan pemukiman, dan kawasan terbuka dengan cahaya matahari yang cukup, sehingga banyak tekanan tekanan lingkungan yang berkurang dibandingkan ketika berada di habitat aslinya di kawasan hutan. Akibatnya beberapa karakter yang diinginkan manusia seperti rasa manis, buah besar, warna yang disukai diupayakan muncul dengan proses seleksi, sehingga budidaya tanaman ini diarahkan kepada hanya yang memiliki sifat sifat unggul saja. Akibatnya kondisi tanaman ini sekarang berbeda jauh dengan kerabat kerabatnya yang lain di daerah asalnya.
Aksesi B. macrophylla asal Batusangkar juga tercatat sebagai aksesi yang agak berbeda dengan aksesi lainnya. Aksesi ini tumbuh hanya di kawasan terbatas di sekitar istana Pagaruyung dan umumnya hanya dikenal oleh warga sekitar istana. Secara geografis terletak di lembah yang diapit oleh beberapa perbukitan, ketinggian lk. 30-50 m alt dan jauh dari kawasan pantai dimana umumnya B. macrophylla ditemukan. Habit tanaman dan kondisi buah sama dengan kerabatnya yang lain, hanya saja daunnya mencapai ukuran 15 x 50 cm. Keunikan aksesi Batusangkar ini diperkirakan merupakan tanaman introduksi yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Pagaruyung yang bernuansa agama Hindu.  Hingga kini sisa sisa kebudayaan tersebut masih ada. Diduga buahnya dijadikan sebagai bahan pelengkap sesajen dalam kegiatan upacara ritual agama Hindu pada saat itu. Hal ini berkaitan dengan armada Pamalayu dari kerajaan Singasari yang berupaya memperluas kekuasaan Kartanegara hingga ke Swarna Dwipa (Sumatra)  dengan membawa ajaran Hindu ke Sumatra. Keberadaan Bouea di Batusangkar belum pernah dilaporkan sebelumnya.
B. oppositifolia berdasarkan hasil eksplorasi ditemukan tumbuh di Sumatra tengah, Belitung dan Kebun Raya Bogor dengan warna buah yang bervariasi antara hijau kekuningan hingga merah. Berdasarkan catatan dari Kebun Raya Bogor koleksi B. oppositifolia yang ditanam di Kebun Raya Bogor berasal dari Lampung (Kebun Raya Bogor-1), dari Batang Sumani, Kerinci Seblat (Kebun Raya Bogor-5 dan Kebun Raya Bogor-6), asal Belitung (Kebun Raya Bogor 2 dan Kebun Raya Bogor3). Koleksi asal Lampung dan koleksi asal Batang Sumani sudah tidak ditemukan lagi, keran lokasi tumbuhnya sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun berdasarkan catatatan dari koleksi Herbarium, B. oppositifolia berwarna merah juga ditemukan di Kalimantan dan dikenal dengan nama ramania tembaga. Namun hasil eksplorasi ke lapangan tidak ditemukan lagi karena berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Perbedaan karakter morfologi pada B. oppositifolia dapat dilihat dari morfologi daun, tunas ketiak daun, bentuk dan ukuran buah, warna buah dan perawakan pohon.  Koleksi asal Belitung memiliki ciri ciri daunnya berbeda, berwarna hijau terang, daun berukuran kecil, berbentuk membulat hingga lanset, ujung daun runcing hingga meruncing, tunas ketiak daun berbentuk tombak, buah berbentuk oval dan berwarna hijau pada saat muda dan merah pada saat matang, rasanya asam pada saat masih muda dan sedikit manis setelah matang.
Koleksi asal Sumatra Tengah memiliki ciri daun lanset, warna hijau terang, ujung daun runcing sampai meruncing, tunas ketiak daun berbentuk tombak, buah berbentuk oval, berwarna hijau pada saat muda dan hijau kekuningan pada saat matang, rasanya asam pada saat muda dan sedikit manis setelah matang. Ditemukan di kawasan Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatra Utara (Sipiongot), Padang Lawas Utara (Gunung Tua, Simangambat, Hajoran), Padang Lawas  (Sosa), Taman Nasional Sultan Syarif Hasyim II. Koleksi asal Batang Sumani Kerinci Seblat memiliki ciri ciri daun lanset, warna hijau terang, tangkai daun panjang, ujung daun runcing sampai meruncing, buah berbentuk membulat, berwarna hijau pada saat muda dan kuning kabus pada saat matang, rasanya asam pada saat muda dan manis setelah matang. Pada Kebun Raya Bogor, hanya terdapat dua tanaman yang belum pernah dilaporkan.
Koleksi asal Lampung memiliki ciri ciri daun lanset, warna hijau gelap, tangkai daun pendek, ujung daun runcing sampai meruncing, buah berbentuk membujur telur, berwarna hijau pada saat muda dan merah pada saat matang, rasanya asam pada saat muda dan sedikit manis setelah matang. Hanya terdapat satu tanaman di Kebun Raya Bogor dan belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Beberapa catatan yang belum dilaporkan sebelumnya adalah bahwa B. macrophylla ditemukan hampir di sepanjang pantai timur sumatra mulai dari Lhokseumawe hingga Lampung. Keberadaan gandaria asal Belitung yang dikenal dengan nama urisan juga belum terlalu banyak dipublikasikan. Gandaria yang buahnya berwarna kuning langsat asal Batang Sumani dan buah berwarna merah asal Lampung belum pernah dilaporkan sebelumnya dan koleksinya hanya tinggal 2 pohon. Aksesi asal Sumatra Tengah dan Belitung masih ditemukan dalam jumlah yang banyak di habitatnya. Namun ekspansi perkebunan dan pemukiman terus membuat keberadaan aksesi aksesi ini semakin berkurang dan terus mengalami pelangkaan, sementara upaya penanamannya di Belitung dan Sumatra Tengah hampir tidak ada sama sekali. Kalaupun ada itu berasal dari biji yang tumbuh alami dan liar.
Pengelompokan yang dilakukan dengan penanda morfologi memperlihat kan bahwa aksesi aksesi pada B. oppositifolia lebih banyak dibandingkan dengan aksesi aksesi pada B. macrophylla. Namun ketika menggunakan penanda ISSR, terjadi beberapa hal yang agak bergeser, dimana aksesi aksesi pada B. macrophylla justru lebih banyak dibandingkan aksesi aksesi pada B. oppositifolia.
Dengan menggunakan sebanyak 7 primer ISSR didapatkan data bahwa keragaman pada B. macrophylla terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman pada B. oppositifolia. Hal ini diduga karena meskipun B. oppositifolia memiliki beberapa aksesi, masing masing aksesi tersebut terdistribusi di kawasan sempit dan terbatas serta letaknya berjauhan satu sama lain. Ada di Belitung, Sumatra Tengah, Kebun Raya Bogor (asal Lampung dan Batang Sumani). Sebaliknya meskipun aksesi aksesi B. macrophylla jumlahnya sedikit tetapi tersebar dalam kawasan yang luas di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Ambon. Sehingga adaptasi dengan kondisi geografisnya yang berbeda beda dan berlangsung dalam waktu yang lama memungkinkan terjadinya aksesi aksesi baru yang hanya terlacak dengan analisis molekuler. Campur tangan manusia juga turut berperan dalam upaya menampilkan karakter-karakter yang menguntungkan dalam hal seleksi tanaman. Manusia hanya membudidayakan tanaman dengan karakter unggul seperti buah besar, rasa manis, warna menarik, umur genjah, dll. Akibatnya terjadi variasi variasi baru di lokasi temuan yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan kondisi ekologi setempat.
Dengan penanda ISSR B. oppositifolia mengelompok koefisien similaritas 0,56-0,99 sedangkan pada B. macrophylla justru mengelompok pada koefisien similaritas 0,18-0,83. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik berdasarkan penanda ISSR pada B. macrophylla lebih tinggi jika dibandingkan dengan B. oppositifolia. Data ini bertolak belakang dengan data morfologi yang telah diperoleh. Hal yang memungkinkan terjadinya kondisi ini adalah perkiraan bahwa primer yang digunakan memiliki tingkat efektifitas yang tinggi pada B. macrophylla akan tetapi tidak terlalu efektif jika digunakan pada B. oppositifolia, sehingga keragaman pada B. macrophylla lebih banyak terlacak dibandingkan keragaman pada B. oppositifolia. Jumlah alel efektif untuk melihat variasi genetik dalam populasi yang tercermin pada interaksi antar alel hasil dari analisis.
Nilai heterozigositas merupakan parameter untuk mengukur keragaman genetik dalam populasi berdasarkan perhitungan frekuensi gen pada masing masing lokus. Semakin tinggi nilai heterozigositas maka semakin tinggi pula keragamannnya. Nilai heterozigositas B. oppositifolia lebih kecil jika dibandingkan dengan B. macrophylla. Koefisien diferensiasi genetik pada B. macrophylla (0.5750) lebih besar jika dibandingkan dengan B. oppositifolia (0.43126). Nilai Gene Flow pada B. macrophylla (0,3681) lebih kecil jika dibandingkan dengan B. oppositifolia (0.6584). Hal ini menunjukkan bahwa gene flow B. oppositifolia yang cenderung lebih besar akan menurunkan nilai keragaman genetik sedangkan pada B. macrophylla menunjukkan nilai gen flow yang rendah sehingga memiliki nilai keragaman yang tinggi.
Polymorphic Information Content merupakan informasi penting dari suatu penanda pada suatu sampel. Semakin tinggi Polymorphic Information Content maka semakin tinggi keragamannya. Tujuh primer yang digunakan pada analisis ISSR memberikan informasi yang lebih banyak pada B. macrophylla dibandingkan pada B. oppositifolia. Shanon Information Indeks menunjukkan perkiraan keragaman berdasarkan ada tidaknya pita DNA pada setiap penanda molekuler pada setiap sampel dapat digunakan untuk melihat differensiasi genetik pada setiap primer yang digunakan. Amova digunakan untuk melihat apakah keragaman yang muncul disebabkan dalam populasi atau dari antar populasi. Pada B. macrophylla nilai keragaman antar populasi 14% sedangkan keragaman antar populasi 86%, sedangkan B. oppositifolia nilai keragaman antar populasi adalah 40% sedangkan keragaman dalam populasi adalah 60%. Semakin rendah nilai keragaman antar populasi menunjukkan sampel yang digunakan memiliki jarak geografis yang jauh sedangkan semakin tinggi nilai keragaman antar populasi menunjukkan bahwa jarak geografis sampel yang digunakan lebih dekat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan sebaran B. oppositifolia yang terbatas pada wilayah Sumatra Tengah dan Bangka Belitung, sedangkan pada B. macrophylla tersebar luas di wilayah Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Ambon.
Untuk melakukan pelacakan tetua gandaria dilakukan dengan menggunakan analisis cpDNA. Hasil analisis mendapatkan pohon filogenetik yang dianalisis dengan metode Maximum Parsimoni dan Neighbour Joining, dimana hasil analisis kedua metode tersebut menunjukkan hasil yang sama. Pohon filogenetik yang dihasilkan adalah monofiletik artinya semua gandaria yang ada berasal dari satu nenenk moyang yang sama. Pohon filogenetik mengelompok menjadi 3 kelompok dimana B. oppositifolia pada bagian atas, B. macrophylla di tengah dan Outgroup (Mangifera indica dan Anacardium occidentale) di bagian bawah. Jumlah data monomorfik dan polimorfic pada kedua jenis ini berbeda. Pada B. oppositifolia lebih banyak data monomorfik dibandingkan data yang polimorfic. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa B. oppositifolia lebih tua dibandingkan B. macrophylla. Hal ini juga didukung adanya beberapa karakter primitif. Beberapa karakter yang dimiliki oleh B. oppositifolia merupakan ciri ciri primitif seperti ukuran daun kecil-kecil, rasa buah asam, daun berbeda lebih primitif dibandingkan data seperti daun besar besar, buah manis, daun sama.
Data dendogram ini juga didukung oleh kondisi geografis dan kondisi ekologi dan kondisi botani lainnya. Habitat tempat tumbuh. B. oppositifolia umumnya tumbuh dikawasan hutan basah dan jauh dari pantai (Lampung, Batang Sumani, Sumatra Tengah, Belitung sebuah kawasan yang mestinya ada di ketinggian 2000 m tetapi justru ada pada kawasan kurang dari 300 m alt). Sedangkan B. macrophylla umum ditemukan di kawasan tepi pantai atau tidak terlalu jauh dari pantai kecuali di Batu Sangkar dan satu spesies yang ada di Belitung yang diperkirakan introduksi manusia karena hanya ditemukan satu koleksi dari sekian banyak koleksi asal Belitung. Kawasan pantai Timur Sumatra merupakan kawasan muda yang tanahnya juga sedimentasi yang diperkirakan ada sekitar 200-300 tahun yang lalu. Berbeda dengan B. oppositifolia yang kawasannya diperkirakan jauh lebih tua dibandingkan kawasan sedimentasi.
Pergeseran lempeng batuan bumi juga diperkirakan memberikan peran dalam persebaran B. oppositifolia.  Sumatra Tengah merupakan satu kawasan terjadinya pertemuan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia. Pada pertemuan lempeng ini ditemukan B. oppositifolia aksesi Sumatra Tengah. Selain itu posisinya yang jauh dari tepi laut dan berada di kawasan hutan atau tepian hutan juga memberikan Gambaran lebih tua dibandingkan jika berada pada kawasan sedimentasi atau alluvial yang muncul setelahnya. Aksesi B. oppositifolia yang lain yang berasal dari Belitung juga ditemukan pada kawasan hutan meranggas yang diperkirakan berdekatan dengan ekologi Kalimantan. Di pulau Belitung, gandaria ditemukan tumbuh pada kawasan hutan dengan kondisi tanah PMK (Podzolik Merah Kuning). Diperkirakan pulau Belitung pernah bersatu dengan Kalimantan sebelum zaman es berakhir, sehingga diduga B. oppositifolia asal Belitung merupakan aksesi yang lebih tua dibandingkan B. macrophylla yang umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah tepi pantai.
Kondisi berbeda ditemukan di kawasan Ambon yang memiliki struktur tanah jenis latosol, sebuah  kondisi yang tidak umum bagi pertumbuhan B. macrophylla. Diperkirakan B. macrophylla yang ada di Ambon diintroduksi dari kawasan lain di Malesia Barat. Melihat persebaran B. macrophylla dan B. oppositifolia yang ditemukan di Indonesia, maka diperkirakan kawasan Malesia Barat merupakan kawasan distribusi awal dari B. macrophylla dan B. oppositifolia.

Berdasarkan morfologi buah dan biji yang dimilikinya maka dipastikan bahwa yang berperan besar dalam penyebaran tanaman ini berasal dari hewan menyusui (Tupai, Monyet, Kelelawar). Jika tanaman ini ada di Malesia Timur, maka perkiraan yang paling mungkin adalah disebarkan oleh manusia. Persebaran bisa juga lewat jalur laut atau jalur perdagangan yang memang sudah ada sejak zaman Sriwidjaja di abad ke VII atau Kerajaan Majapahit di abad ke XII, atau mungkin juga oleh pedagang pedagang Portugis atau Belanda yang sudah berada di Indonesia sejak abad ke XV (500 tahun yang lalu). Data pendukung lain adalah bahwa berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense tidak satupun ditemukan dari B. macrophylla dan B. oppositifolia yang bersumber dari wilayah Malesia Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar