BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keanekaragaman Morfologi Marga Bouea Indonesia
4.1.1. Variasi morfologi pada B. macrophylla dan B.
oppositifolia
Berdasarkan 31 karakter dan 81 sub-karakter morfologi
dari 75 aksesi B. macrophylla dan 30
aksesi B. oppositifolia diperoleh data
adanya variasi pada daun, tunas ketiak
daun, pohon dan buah. Seluruh aksesi memiliki persamaan pa da daun
berhadapan, biji berwarna ungu, dan bunga di ketiak daun. Data penanda
morfologi menunjukkan bahwa B.
macrophylla dan B. oppositifolia memiliki
perbedaan morfologi yang dapat diamati berdasarkan karakteristik : daun, buah,
batang, tunas ketiak daun, dan pohon. Karakter morfologi B. macrophylla dan B.
oppositifolia berdasarkan karakter pohon disajikan pada Tabel 8
Tabel 8.
Karakter morfologi berdasarkan karakter pohon
No
|
Karakter
Pohon
|
Sub Karakter
|
B. macrophylla
(75 aksesi)
|
B. oppositifolia
(30 aksesi)
|
1.
|
Pohon
|
Dropping
|
64
|
4
|
Spreading
|
11
|
26
|
||
2.
|
Kerapatan
Tajuk
|
Rimbun
|
67
|
9
|
Bercelah
|
8
|
21
|
||
3
|
Permukaan
Batang muda
|
Berbulu
|
0
|
8
|
Licin
|
75
|
22
|
||
|
|
|
5
|
6
|
Karakter pohon dropping
dimiliki oleh B. macrophylla (64
aksesi) dan 4 aksesi B. oppositifolia (KR1,
KR2, KR5, dan KR6) sedangkan pohon spreading dimiliki oleh B. macrophylla (11 aksesi) dan B.
oppositifolia (26 aksesi). Tajuk rimbun dimiliki oleh sebagain besar B. macrophylla (67 aksesi) dan B. oppositifolia (9 aksesi) sedangkan
tajuk bercelah dimiliki oleh sebagian besar B.
oppositifolia (21 aksesi) dan B.
macrophylla 8 aksesi). Seluruh aksesi B.
macrophylla memiliki batang tumbuhan muda yang tidak berbulu (75 aksesi),
sedangkan pada B. oppositifolia memiliki
batang muda yang berbulu (8 aksesi) dan batang muda tidak berbulu (22 aksesi).
Karakter munculnya bulu pada batang yang masih muda merupakan satu karakter
penting dalam pengenalan ke dua jenis ini di lapangan dan merupakan karakter
penting dalam membedakan Bouea oppositifolia. Sementara pada Bouea macrophylla semua batang mudanya tidak berbulu.
Berdasarkan data morfologi pohon terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (5 karakter)
dibandingkan B. oppositifolia (6
karakter). Karakter morfologi B.
macrophylla dan B. oppositifolia
berdasarkan karakter daun disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakter morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia berdasarkan karakter daun
No
|
Karakter Daun
|
Sub
Karakter
|
B. macrophylla
( 75 aksesi)
|
B. oppositifolia
(30 aksesi)
|
1
|
Bentuk Daun
|
Jorong
|
0
|
1
|
Bulat
Telur Sungsang
|
0
|
1
|
||
Lonjong
dan Bulat Telur Sungsang
|
0
|
5
|
||
Jorong
dan Bulat Telur Sungsang
|
2
|
8
|
||
Lonjong
|
0
|
15
|
||
Lanset
|
73
|
0
|
||
2.
|
Letak Daun
|
Berhadapan
|
75
|
75
|
Tersebar
|
0
|
0
|
||
3.
|
Panjang Daun
|
Sangat
Panjang
|
60
|
0
|
Panjang
|
13
|
5
|
||
Sedang
|
2
|
15
|
||
Pendek
|
0
|
10
|
||
4.
|
Lebar Daun
|
Sangat
Lebar
|
48
|
0
|
Lebar
|
27
|
8
|
||
Sempit
|
0
|
22
|
||
5.
|
Ujung Daun
|
Meruncing
|
75
|
17
|
Meruncing
dan Tumpul
|
0
|
12
|
||
Tumpul
|
0
|
1
|
||
6.
|
Pangkal
Daun
|
Runcing
|
40
|
10
|
Runcing
dan Tumpul
|
20
|
8
|
||
Tumpul
|
15
|
12
|
||
7
|
Ukuran Ujung Daun
|
Panjang
|
75
|
6
|
Pendek
|
0
|
23
|
||
Tidak
Berujung Daun
|
0
|
1
|
||
8.
|
Warna Permuka an atas Daun
|
Hijau
Tua
|
56
|
23
|
Hijau
Muda
|
19
|
7
|
||
9.
|
Warna Permuka an bawah Daun
|
Hijau
Tua
|
10
|
2
|
Hijau
Muda
|
65
|
28
|
||
10
|
Penampakan atas Daun
|
Mengkilap
|
70
|
24
|
Kusam
|
5
|
6
|
||
11
|
Penampakan bawah Daun
|
Mengkilap
|
0
|
3
|
Kusam
|
75
|
27
|
||
12
|
Tekstur Permuka an Daun
|
Halus
|
0
|
2
|
Kasar
|
75
|
28
|
||
13
|
Penampakan
Permukaan Daun
|
Cembung
|
74
|
4
|
Datar
|
0
|
26
|
||
Melengkung
|
1
|
0
|
Lanjutan Tabel : 9
L
No
|
Karakter Daun
|
Sub Karakter
|
B. macrophylla
(
75 aksesi)
|
B. oppositifolia
(30
aksesi)
|
14
|
Bentuk
Tangkai Daun
|
Pipih
|
0
|
12
|
Bulat
|
75
|
8
|
||
Persegi
|
0
|
10
|
||
15.
|
Ukuran Tangkai Daun
|
Sangat Panjang
|
1
|
0
|
Panjang
|
74
|
7
|
||
Pendek
|
0
|
23
|
||
16
|
Tunas Ketiak Daun
|
Runcing
Bulat
|
2
73
|
28
2
|
17
|
Permukaan seludang muda
|
Berbulu
|
0
|
8
|
Licin
|
75
|
22
|
||
18
|
Jumlah Tulang
Sekunder
|
Banyak
|
0
|
10
|
Sedikit
|
75
|
20
|
||
19
|
Aroma Terpentin Pada Daun
|
Kuat
|
0
|
2
|
Halus
|
75
|
6
|
||
Tidak beraeroma
|
0
|
22
|
||
20
|
Jenis Daun Di Setiap
|
Sama
|
75
|
17
|
Berbeda
|
0
|
13
|
||
Total karakter yang dapat diamati
|
32
|
48
|
B. macrophylla sebagian besar memiliki bentuk daun lanset (73 aksesi) dan sebagian kecil
memiliki bentuk daun Jorong dan Bulat Telur Sungsang (2 aksesi), sedangkan B. oppositifolia memiliki variasi bentuk
daun jorong (1 aksesi), Bulat Telur Sungsang (1 aksesi), Lonjong dan Bulat
Telur Sungsang (5 aksesi), Jorong dan Bulat Telur Sungsang (8 aksesi) dan
lonjong (15 aksesi). Semua aksesi pada ke dua jenis memiliki daun yang letaknya
berhadapan.
B. macrophylla memiliki
ukuran daun sangat panjang (60 aksesi), panjang (13 aksesi) dan sedang (2
aksesi), sedangkan B. oppositifolia memiliki
ukuran daun panjang (5 aksesi), sedang (15 aksesi) dan pendek (10 aksesi). B. macrophylla memiliki lebar daun
sangat lebar (48 aksesi) dan lebar (27 aksesi) sedangkan B. oppositifolia umumnya memiliki daun yang lebar (8 aksesi) dan
sempit (22 aksesi). Seluruh aksesi B.
macrophylla memiliki ujung daun berbentuk meruncing sedangkan B. oppositifolia
menunjukkan variasi pada bentuk ujung daun yaitu meruncing (17 aksesi), meruncing
dan tumpul (12 aksesi) dan tumpul (1 aksesi). B. macrophylla seluruhnya
memiliki ukuran ujung daun yang panjang sedangkan B. oppositifolia menunjukkan variasi yaitu ujung daun panjang (6 aksesi), pendek (23 aksesi), dan
tidak memiliki ujung daun (1 aksesi). Warna permukaan daun atas sebagian besar
berwarna hijau tua pada B. macrophylla (56
aksesi) dan B. oppositifolia (23
aksesi) sedangkan yang berwarna hijau dimiliki oleh B. macrophylla (19 aksesi) dan B.
oppositifolia (7 aksesi). Warna permukaan bawah sebagian berwarna hijau
pada B. macrophylla (65 aksesi) dan B. oppositifolia (28 aksesi) sedangkan
yang berwarna hijau tua hanya 10 aksesi pada B. macrophylla dan 2 aksesi pada B. oppositifolia. Penampakan bagian atas permukaan daun hijau tua
56 aksesi dan hijau muda 19 aksesi pada B.
macrophylla sedangkan pada B. oppositifolia 23 aksesi hijau tua dan
7 aksesi berwarna hijau muda. Demikian juga halnya dengan permukaan bawah daun,
dimana permukaan daun hijau tua 10 aksesi dan hijau muda 65 aksesi pada B.
macrophylla sedangkan pada B.
oppositifolia 2 aksesi hijau tua dan 28 aksesi berwarna hijau muda. Pada
karakter penampakan bagian atas daun mengkilap sebanyak 70 aksesi dan kusam 5
aksesi pada B. macrophylla sedangkan
pada B. oppositifolia 24 aksesi mengkilap dan 6 aksesi kusam, sedangkan
karakter penampakan bagian bawah daun mengkilap sebanyak 75 aksesi pada B. macrophylla
sedangkan pada B. oppositifolia 3
aksesi mengkilap dan 27 aksesi kusam. Tekstur daun yang kasar dimiliki oleh
seluruh B. macrophylla, sedsangkan
pada B. oppositifolia 2 aksesi
teksturnya halus dan 28 aksesi teksturnya kasar.
Sebagian besar B.
macrophylla memiliki penampakan permukaan daun berbentuk cembung (74
aksesi), dan berbentuk melengkung (1 aksesi), sedangkan sebagian besar B. oppositifolia memiliki bentuk daun
datar (26 aksesi) dan cembung (4 aksesi). Tangkai daun pada B. macrophylla memiliki tangkai daun
bulat (75 aksesi) sedangkan pada B. oppositifolia
memiliki tangkai daun pipih (12 aksesi) dan bulat (8 aksesi) dan persegi
(10 aksesi). Sebagian besar B.
macrophylla memiliki tangkai daun berukuran sangat panjang (1 aksesi) dan
berukuran panjang (74 aksesi), sedangkan pada B. oppositifolia tangkai daun berukuran pendek (23 aksesi) dan
panjang (7 aksesi).
Tunas ketiak daun pada B. macrophylla sebagian besar berbentuk bulat (73 aksesi) dan
runcing (2 aksesi), sedangkan pada B.
oppositifolia memiliki tunas ketiak daun
runcing (28 aksesi) dan bulat (2 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki jumlah tulang sekunder yang sedikit
sedangkan pada B. oppositifolia menunjukkan
variasi yaitu banyak (10 aksesi) dan sedikit (20 aksesi). Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki tunas ketiak
daun yang licin sedangkan B.
oppositifolia memiliki tunas ketiak daun berbulu (8 aksesi) dan tunas
ketiak daun licin (22 aksesi). Aroma terpentin tercium halus pada seluruh
aksesi B. macrophyla, sedangkan pada B. oppositifolia aroma terpentin tidak beraroma
(22 aksesi), beraroma halus (6 aksesi), dan beraroma kuat (2 aksesi). Seluruh
aksesi B. macrophylla memiliki daun
dengan bentuk yang sama (homofili) sedangkan pada B. oppositifolia ada 17 aksesi memiliki daun sama dan 13 aksesi memiliki daun yang berbeda
(heterofili).
Berdasarkan data morfologi daun terlihat bahwa
keragaman pada B. macrophylla lebih
kecil (32 karakter) dibandingkan B.
oppositifolia (48 karakter). Data ini memberikan gambaran bahwa berdasarkan
morfologi daunnya B. oppositifolia
terlilhat lebih polimorfis dibandingkan dengan B. macrophylla. Meskipun jumlah aksesi yang didapatkan pada B. oppositifolia lebih kecil (30 aksesi)
dibandingkan dengan B. macrophylla
(75 aksesi).
Karater morfologi lain yang diamati dalah karakter generatif yaitu
bunga, buah dan biji. Semua aksesi pada Bouea
memiliki bunga yang letaknya diujung. Warna buah pada seluruh aksesi B. macrophylla berwarna kuning sedangkan
pada B. oppositifolia menunjukkan
variasi yaitu warna buah kuning (8 aksesi) dan warna buah merah (22 aksesi).
Bentuk buah pada B. macrophylla seluruhnya
berbentuk bulat sedangkan pada B.
oppositifolia memiliki bentuk bulat (8 aksesi) dan lonjong (22 aksesi).
Seluruh aksesi B. macrophylla memiliki
ukuran buah yang besar, sedangkan pada B.
oppositifolia memiliki ukuran buah yang besar (8 aksesi) dan kecil (22
aksesi). Daging buah seluruh aksesi B.
macrophylla berwarna kuning sedangkan pada B. oppositifolia berwarna kuning (8 aksesi) dan merah (22 aksesi). Berdasarkan
data morfologi buah terlihat bahwa keragaman pada B. macrophylla lebih kecil (9 karakter) dibandingkan B. oppositifolia (13 karakter). Data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakter morfologi B. macrophylla dan B.
oppositifolia berdasarkan
karakter bunga, buah dan biji.
No
|
Karakter
Buah
|
Sub Karakter
|
B.
macrophylla
(75 aksesi)
|
B.
oppositifolia
(30 aksesi)
|
1.
|
Tipe Bunga
|
Di
Ujung
|
75
|
30
|
Di
Ketiak daun
|
0
|
0
|
||
2.
|
Warna Buah
|
Kuning
|
75
|
8
|
Merah
|
0
|
22
|
||
3.
|
Bentuk Buah
|
Bulat
Lonjong
|
0
|
22
|
Bulat
|
75
|
8
|
||
4.
|
Ukuran Buah
|
Besar
|
75
|
8
|
Kecil
|
0
|
22
|
||
5.
|
Warna Daging Buah
|
Merah
|
0
|
22
|
Kuning
|
75
|
8
|
||
6.
|
Rasa Buah
|
Manis
|
14
|
4
|
Asam Manis
|
61
|
26
|
||
7.
|
Tipe Buah
|
Asli
|
75
|
30
|
Semu
|
0
|
0
|
||
8.
|
Warna Biji
|
Ungu
|
75
|
30
|
Putih
|
0
|
0
|
||
Jumlah karakter
|
9
|
13
|
Berdasarkan data morfologi daun terlihat bahwa
keragaman pada B. macrophylla lebih
kecil (46 karakter) dibandingkan B.
oppositifolia (57 karakter). Data ini memberikan gambaran bahwa berdasarkan
morfologi B. oppositifolia terlilhat
lebih polimorfis dibandingkan dengan B.
macrophylla. Meskipun jumlah aksesi yang didapatkan pada B. oppositifolia lebih kecil (30 aksesi)
dibandingkan dengan B. macrophylla
(75 aksesi). Persebaran B. macrophylla yang
umumnya berada di kawasan pantai yang berdekatan dengan pemukiman penduduk
diperkirakan merupakan satu penyebab mengapa sifat polimorfik pada B. macrophylla lebih rendah dibandingkan dengan B. oppositifolia yang memiliki persebaran di kawasan yang jauh
dari pemukiman penduduk dan tumbuh secara liar atau meliar. Secara lengkap data
morfologi Bouea yang dianalisis dalam
disertasi ini tertera pada Lampiran 1.
4.1.2.
Analisis Klaster
A. B. macrophylla
Data yang diperoleh dari penanda morfologi digunakan
untuk analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02. Dendogram dibangun
berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice
Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan data yang
dihasilkan ke dalam dendogram. Sebanyak 75 aksesi B. macrophylla, 30 aksesi B.
oppositifolia, dan 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale) memiliki kemiripan antara 0,77-1,00 dan
dikelompokkan ke dalam 7 kelompok utama pada kemiripan 0,93 (Gambar 4.1).
Kelompok 1 terdiri dari 11 aksesi yang terdiri dari
aksesi yang berasal dari Ambon (Gambar 4.1 ; warna merah muda). Kelompok 2
terdiri dari 42 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Banten,
Cibinong, Kalimantan Selatan, Bogor, dan Kalimantan Barat (Gambar 4.1 ; warna
biru, ungu, dan hijau). Kelompok 3 terdiri dari 8 aksesi yang terdiri dari
aksesi yang berasal dari Ambon, Bangka Belitung, Banten, Lampung, Palembang,
dan Bogor (Gambar 4.1 ; warna biru muda). Kelompok 4 terdiri dari 4 aksesi yang
terdiri dari aksesi yang berasal dari Jambi, Kalimantan Barat, dan Kebun Raya
Bogor (KR4) (Gambar 4.1 ; warna orange). Kelompok 5 terdiri dari 6 aksesi yang
terdiri dari aksesi yang berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat dan Ambon
(AM14) (Gambar 4.1 ; warna kuning). Kelompok 6 terdiri dari 2 aksesi yang
terdiri dari aksesi yang berasal dari Lhoksukon, Aceh dan Medan (Gambar 4.1 ;
warna kuning). Kelompok 7 terdiri dari 2 aksesi yang terdiri dari aksesi yang
berasal dari Kebun Raya Bogor (KR7 dan KR8) (Gambar 4.1 ; warna abu-abu).
Kelompok 2 merupakan kelompok terbesar yang terdiri
dari 42 aksesi sehingga masih dapat dibagi lagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
koefisien similaritas 0,96. Kelompok 1 yang terdiri 12 aksesi yang berasal dari
Banten, Bogor, Cibinong, dan Palembang. Kelompok 2 terdiri dari 20 aksesi yang
berasal dari Banten, Bogor, Cibinong, Palembang, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Barat. Kelompok 3 yang terdiri dari 10 aksesi yang berasal dari
Cibinong, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Koefisien similaritas
tertinggi memiliki nilai 0,96 yang terdapat pada banyak aksesi. Oleh karena
itu, B. macrophylla memiliki
keragaman yang rendah berdasarkan penanda morfologi.
B. B.
oppositifolia
Analisis klaster B.
oppositifolia dilakukan dengan mengelompokkan fenotip yang dihasilkan ke
dalam dendogram. Sebanyak 30 aksesi memiliki koefisien similaritas berkisar
antara 0,49-1,00 dan dikelompokkan ke dalam 8 kelompok berdasarkan koefisien
similaritas 0,84 (Gambar 4.2). Kelompok 1 terdiri dari 6 aksesi yang terdiri
dari aksesi yang berasal dari Sumatra Utara dan Riau (Gambar 4.2 ; warna merah
muda). Kelompok 2 terdiri dari 2 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal
dari Kebun Raya Bogor (KR5 dan KR6) (Gambar 4.2 ; warna biru). Kelompok 3
terdiri dari 12 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya
Bogor (KR2) dan Bangka Belitung (Gambar 4.2 ; warna hijau). Kelompok 4 terdiri
dari 9 aksesi yang terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun Raya Bogor (KR3)
dan Bangka Belitung (Gambar 4.2 ; warna orange). Kelompok 5 hanya memiliki 1
aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1) (Gambar 4.2 ; warna putih)).
Koefisien similaritas tertinggi memiliki nilai 0,96 yang terdapat antara aksesi
yang berasal dari antar Bangka Belitung (BL1 dan BL13, BL3 dan BL13, BL13 dan
BL20).
Gabungan data yang diperoleh dari penanda
morfologi B. macrophylla dan B. oppositifolia dianalisis kembali
menggunakan NTSYS versi 2.0. Hasilnya menunjukkan bahwa data gabungan memiliki
koefisien similaritas berkisar antara 0,37-1,00 dan dapat dikelompokkan menjadi
3 kelompok. Kelompok 1 terdiri dari 75 aksesi dari B. macrophylla, kelompok 2 terdiri dari 30 aksesi dari B. oppositifolia, dan kelompok 3 terdiri
dari outgroup yang terdiri dari M. indica dan A. occidentale (Gambar 4.3).
B.
oppositifolia yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1) memiliki ciri khas
berdaun jorong, asal Bangka Belitung (BL19) memiliki ciri khas berdaun Bulat Telur
Sungsang, dan ujung daun berbentuk tumpul. B.
opposifolia yang berasal dari Kebun Raya Bogor (KR1, KR5, dan KR6) memiliki
ciri khas permukaan bawah mengkilap. B.
oppositifolia asal Sumatra Utara, Riau dan Kebun Raya Bogor (KR5, KR6)
dicirikan dengan bentuk daun lonjong sedangkan asal Bangka Belitung dan Kebun
Raya Bogor (KR2, KR3) dicirikan dengan bentuk daun jorong/Bulat Telur Sungsang
serta lonjong/Bulat Telur Sungsang. Bouea
asal Kebun Raya Bogor (KR1) dicirikan dengan bentuk daun jorong. B. macrophylla asal Aceh, Sumatra Barat,
Jambi, Sumatra Selatan, Kep. Bangka Belitung (BL17), Banten, Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Gambar 4.1. Dendogram berdasarkan UPGMA
dari karakter morfologi B. macrophylla
Gambar 4.2. Dendogram berdasarkan
UPGMA dari karakter morfologi B.
oppositifolia
B. oppositifolia (biru) dan B.macrophylla (merah)
Maluku dicirikan dengan bentuk daun jorong memanjang. Warna
buah masak kuning kehijauan dimiliki B.
oppositifolia asal Sumatra Utara dan Riau dan warna buah masak merah
berasal dari Kep. Bangka Belitung dan Kebun Raya Bogor (KR1, KR2 dan KR3). B. macrophylla asal Aceh, Sumatra Barat,
Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Kep. Bangka Belitung (BL17), Banten, Jawa
Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Maluku memiliki kulit buah
masak berwarna kuning hingga jingga.
B.
oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR2) mengelompok sendiri bersama
dengan kelompok Bangka Belitung. Kelompok ini memiliki ciri morfologi daun berbeda
(dalam 1 pohon terdapat dua bentuk daun) jorong dan Bulat Telur Sungsang, ujung
daun meruncing dan tidak ada ujung daun, tunas ketiak daun dan batang muda
berbulu, ujung tunas ketiak daun runcing seperti tombak, ukuran buah kecil
(2.1-3.4cm), warna buah masak merah, warna daging buah masak merah dan rasa
asam manis.
B.
oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR3) juga memisah dari kelompok Kebun
Raya Bogor bersama dengan kelompok Bangka Belitung. B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR3) dicirikan dengan
bentuk daun hanya satu yaitu lonjong, ujung daun meruncing, tulang daun sangat
jelas, warna daun hijau tua, ukuran daun cukup besar (10.1-18.7 cm), tunas
ketiak daun dan batang muda kadang ditemukan berbulu, tunas ketiak daun
runcing, warna buah masak merah, warna daging buah merah, dan rasa asam manis.
Hasil yang ditunjukkan oleh dendogram dikonfirmasi
kembali dengan menggunakan Principal
Component Analysis (PCA) untuk mengevaluasi sebaran aksesi dalam ruang dua
dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang berdasarkan data yang diperoleh dari
penanda morfologi. Hasil pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.3)
memperlihatkan adanya kemiripan dengan analisis PCA seperti pada Gambar 4.4. PCA
mengkonfirmasi profil data morfologi pada rentang kesamaan sumbu X sekitar
-0,05 hingga 0,48 % dan pada sumbu Y berkisar antara -0,44 hingga 0,10. Hasil
PCA menunjukkan adanya hubungan erat antara data yang diperoleh menggunakan
data morfologi dengan jenis yang diamati (B.
macrophylla, B. oppositifolia, M. indica, dan A. occidentale). Gambar 4.4 menunjukkan adanya pengelompokan yang
tegas pada setiap jenis. Kolom 1 diisi oleh outgroup
yaitu M. indica dan A. occidentale, Kolom 2 diisi oleh
sampel B. oppositifolie asal Kebun
Raya Bogor (KR5), kolom 3 diisi oleh sampel B.
macrophylla, kolom 5 diisi oleh sampel B.
oppositifolia asal Sumatra Utara, kolom 6 diisi oleh B. macrophylla asal Kebun Raya Bogor (KR7), dan kolom 7 diisi oleh B. oppositifolia. Hasil ini juga
mengkonfirmasi luasnya variasi yang muncul pada B. oppositifolia yang menempati 3 kolom dalam hasil analisis PCA. Hasil
ini menunjukan bahwa penanda morfologi dapat membedakan spesies pada marga Bouea dan outgroup-nya.
Gambar 4.4. Plot 2D principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 30
aksesi B. oppositifoliadan 75 aksesi B. macrophylla serta 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale)
berdasarkan penanda morfologi
Akumulasi persentasi dari empat komponen
utama mewakili 79,5% keragaman dari
total 100% pada 81 karakter. Hasil Principal
Component Analysis mendapatkan 4 principal
component yang mampu menerangkan keragaman kumulatif sebesar 79,5% dari
total keragaman (Tabel 11). Principal
component I memiliki keragaman 27,8%, principal
component II sebesar 24,1%, principal
component III sebesar 14,6% dan principal
component IV sebesar 13%.
Tabel 11. Total initial
Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
|
Eigenvalue
|
||
Total
|
% Keragaman
|
% Kumulatif
|
|
I
|
0,66945
|
27,8%
|
27,8%
|
II
|
0,58158
|
24,1%
|
51,9%
|
III
|
0,35096
|
14,6%
|
66,5%
|
IV
|
0,31220
|
13%
|
79,5%
|
V
|
0,20935
|
8,7%
|
88,1%
|
VI
|
0,12881
|
5,3%
|
93,4%
|
VII
|
0,10527
|
4,4%
|
97,8%
|
VIII
|
0,04013
|
1,7%
|
99,5%
|
IX
|
0,01297
|
0,5%
|
100%
|
Keragaman dapat diperoleh hanya dengan 4
komponen utama dengan ciri utama yang menentukan keragaman adalah daun lanset,
dasar daun tumpul, ujung daun panjang, bentuk tangkai daun pipih, bentuk petiol
bulat, ukuran petiol panjang, ukuran petiol pendek, tunas ketiak daun runcing,
tunas ketiak daun bulat, terpentin tidak tercium, terpentin halus, warna buah
merah, warna buah kuning, bentuk buah bulat lonjong, bentuk buah bulat,ukuran
buah kecil, ukuran buah besar, daging buah merah dan daging buah kuning (Tabel
12). Terdapat 34 karakter yang paling mempengaruhi variasi dan 47 karakter yang
tidak terlalu berpengaruh terhadap variasi pada Bouea. Variasi yang muncul pada karakter morfologi disebabkan
perbedaan jenis serta tersebarnya wilayah asal geografis Bouea yang tersebar di Indonesia.
Karakter dengan nilai positif yang besar
pada Tabel 12 yang menyusun principal
component I terdiri dari tujuh karakter yaitu tunas ketiak daun runcing,
bentuk petiol pipih, terpentin tidak tercium, warna buah merah, bentuk buah
bulat lonjong, ukuran buah kecil, dan daging buah berwarna merah, pada principal component II terdiri dari empat
karater yaitu pohon medium, tajuk sedang, daun sama, dan ujung daun cuminate, pada principal component III terdiri dari empat karakter yaitu tajuk
sedang, dasar daun tumpul, pohon
medium, dan daun sangat panjang, pada principal
component IV terdiri dari dua karakter yaitu ujung daun panjang dan ukuran tangkai
daun panjang.
Tabel
12. Nilai komponen utama karakter morfologi Bouea
di Indonesia
Karakter
|
PC1
|
PC2
|
PC3
|
PC4
|
Tunas ketiak daun runcing
|
0.195
|
0.122
|
-0.019
|
-0.078
|
Bentuk petiol pipih
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Terpentin tidak tercium
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Warna buah merah
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Bentuk buah bulat lonjong
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Ukuran buah kecil
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Daging buah merah
|
0.184
|
-0.075
|
-0.019
|
0.084
|
Ukuran petiol pendak
|
0.181
|
-0.026
|
-0.008
|
-0.128
|
Tunas ketiak daun bulat
|
-0.195
|
-0.122
|
0.019
|
0.078
|
Daun lanset
|
-0.192
|
-0.159
|
0.112
|
0.053
|
Basis tumpul
|
-0.185
|
-0.163
|
0.125
|
0.061
|
Bentuk petiol bulat
|
-0.184
|
0.075
|
0.019
|
-0.084
|
Warna buah kuning
|
-0.184
|
0.075
|
0.019
|
-0.084
|
Bentuk buah bulat
|
-0.184
|
0.075
|
0.019
|
-0.084
|
Ukuran buah besar
|
-0.184
|
0.075
|
0.019
|
-0.084
|
Daging buah kuning
|
-0.184
|
0.075
|
0.019
|
-0.084
|
Ujung daun panjang
|
-0.182
|
-0.005
|
0.003
|
0.141
|
Terpentin halus
|
-0.182
|
0.038
|
0.111
|
-0.109
|
Ukuran petiol panjang
|
-0.181
|
0.026
|
0.008
|
0.128
|
Ujung daun pendek
|
0.175
|
0.009
|
-0.017
|
-0.149
|
Daun sempit
|
0.173
|
-0.04
|
-0.003
|
-0.158
|
Pohon medium
|
0.164
|
0.157
|
0.282
|
-0.053
|
Daun sangat lebar
|
-0.145
|
-0.186
|
0.113
|
-0.232
|
Daun sangat panjang
|
-0.16
|
-0.183
|
0.168
|
-0.12
|
Pohon drooping
|
-0.164
|
-0.157
|
-0.282
|
0.053
|
Tunas ketiak daun tidakberbulu
|
-0.13
|
0.096
|
0.043
|
-0.026
|
Tunas ketiak daun berbulu
|
0.124
|
-0.112
|
-0.04
|
-0.015
|
Tajuk sedang
|
0.121
|
0.221
|
0.315
|
-0.077
|
Tajuk rimbun
|
-0.121
|
-0.221
|
-0.315
|
0.077
|
Daun berbeda
|
0.118
|
-0.155
|
-0.022
|
-0.062
|
Daun sama
|
-0.118
|
0.155
|
0.022
|
0.062
|
Ujung daun acuminate
|
-0.117
|
0.162
|
0.015
|
0.051
|
Ujung daun acuminate tumpul
|
0.11
|
-0.158
|
-0.028
|
-0.059
|
Basis acute tumpul
|
0.11
|
-0.158
|
-0.028
|
-0.059
|
4.2. Variasi Genetik
Marga Bouea di Indonesia dengan Penanda ISSR
4.2.1. Bouea macrophylla Griffit
A.
Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda ISSR
Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman genetik
dari 75 aksesi B. macrophylla, seluruh
DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR (Tabel 13). Setiap primer memproduksi berbagai
panjang produk dan jumlah pita DNA. Jumlah pita DNA yang dapat dihitung dan
terlihat dengan jelas adalah 2084 pita. Selama pengamatan terdapat 126 alel
yang dapat diidentifikasi serta persentase lokus polimorfik 100%. Ukuran
amplikon berkisar 100-130 bp. Jumlah alel pada setiap primer ISSR berkisar
antara 14 (PKBT5) hingga 21 (PKBT3) dengan rata-rata 18 alel per primer. Nilai
PIC (Polymorphism Information Content)
yang diperoleh berkisar antara 0,880 – 0,933 dengan nilai rata-rata 0,893
menunjukkan bahwa primer ISSR yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
kemampuan menghasilkan alel polimorfik yang tinggi. Alel efektif tertinggi
(1,6092) ditemukan pada primer PKBT12 dan alel efektif terendah yang terdeteksi
ditemukan pada primer PKBT5 (1,2878). Nilai heterozigositas tertinggi
ditunjukkan oleh primer PKBT12 (0,3602)
dan terendah ditunjukkan oleh primer PKBT5 (0,1952) dengan nilai
rata-rata 0,4072, sedangkan indeks informasi Shannon bervariasi berkisar antara
0,3223-0,5391 dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT12 dan
terendah ditunjukkan oleh primer PKBT5.
Tabel 13. Analisis diversitas genetik B. macrophylla menggunakan penanda ISSR
menggunakan program POPGENE version 1.32.
Primer
|
Jumlah Alel Efektif
|
Heterozigositas
|
Polymorphic Information Content (PIC)
|
Shannon’s Information Index
|
PKBT3
|
1,4342
|
0,2625
|
0,915
|
0,4075
|
PKBT4
|
1,3970
|
0,2392
|
0,885
|
0,3723
|
PKBT5
|
1,2878
|
0,1952
|
0,835
|
0,3223
|
PKBT7
|
1,4761
|
0,2916
|
0,925
|
0,4485
|
PKBT9
|
1,3663
|
0,2365
|
0,883
|
0,3804
|
PKBT10
|
1,3894
|
0,2431
|
0,880
|
0,3803
|
PKBT12
|
1,6092
|
0,3602
|
0,933
|
0,5391
|
Rata-rata
|
1,4228
|
0,2611
|
0,893
|
0,4072
|
Jumlah alel efektif merupakan indeks untuk mengukur
variasi genetik dalam populasi yang dicerminkan melalui interaksi antara alel
per lokus. Umumnya, jumlah alel yang
diamati lebih besar dari jumlah alel efektif. Semakin dekat jumlah alel efektif dengan
jumlah alel yang diamati maka semakin merata distribusi alel dalam suatu
populasi (Yuan et al., 2007). Shannon’s information index merupakan
pengukur diversitas gen (Lewontin, 1972)
dan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat diferensiasi genetik yang cukup
tinggi antara primer yang digunakan dalam penelitian ini. Polymorphic Information Content (PIC) digunakan untuk menentukan
variasi suatu marka molekuler. Menurut Botstein et al., (1980) bahwa nilai PIC adalah indeks yang digunakan untuk
mengukur penilaian dari nilai Polimorfisme. Polimorfisme dikatakan tinggi
apabila nilai PIC = > 0,5, sedangkan sedang apabila bila PIC = 0,25 < PIC
< 0,5, dan rendah apabila nilai PIC = < 0,25 (Botstein et al., 1980). Hasil penelitian pada
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai Polymorphic
Information Content (PIC) semuanya memiliki nilai > 0,5 sehingga dapat
dikatakan bahwa nilai polimorfisme primer yang digunakan dalam penelitian ini
cukup tinggi. Nilai heterozigositas yang dapat diamati adalah 0,2611 yang
menunjukkan bahwa nilai heterozigositas pada pada setiap populasi cukup tinggi.
Tabel 14 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas dari
total populasi (HT) adalah
0,2219 menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik yang cukup besar antar
individu di dalam populasi B. macrophylla.
Nilai heterozigositas merupakan salah satu parameter untuk mengukur tingkat
keragaman genetik dalam suatu populasi. Heterozigositas merupakan hasil
perhitungan dari frekuensi gen pada masing-masing lokus (Arifin, 2010). Semakin
tinggi frekuensi heterozigot pada suatu populasi, maka semakin tinggi tingkat
keragamannya (Vika et al., 2015). Koefisiensi
diferensiasi genetik (GST)
pada B. macrophylla menunjukkan nilai
0,576 yang menunjukkan bahwa angka ini memiliki nilai yang lebih tinggi dari
jumlah diferensiasi genetik standar yang diusulkan oleh Nybom dan Bartisth
(2000) yang memiliki nilai 0,23 (untuk tanaman hasil persilangan) dan 0,19
untuk tanaman endemik. Isolasi geografis menjadi faktor utama penyebab cukup
tingginya nilai koefisien diferensiasi genetik B. macrophylla karena isolasi geografis telah menghambat aliran
gen. Kondisi ini terbukti dengan rendahnya nilai Gene Flow (0,361). Fishcher dan Mathies (1988) menyatakan bahwa
isolasi geografis yang lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang.
Tabel 14. Hasil analisis diversitas genetik B. macrophylla menggunakan penanda ISSR
(POPGENE Program 1.32)
Sampel
|
HT
|
HS
|
GST
|
NM
|
75
|
0,2219
|
0,0941
|
0,5750
|
0,3681
|
Keterangan:
HT = Nilai heterozigositas
total populasi, HS = Nilai
heterozigositas pada subpopulasi, GST
= Koefisien diferensiasi genetik, NM = Nilai Gen flow
B. Analisis Klaster
Data yang diperoleh dari penanda ISSR digunakan untuk
analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02. Kladogram dibangun
berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice
Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan genotipe yang
dihasilkan ke dalam dendogram. Sebanyak 75 Aksesi ditambah dengan 2 outgroup berupa Mangifera indica dan Anacardium
occidentale memiliki koefisien kemiripan berkisar antara 0,18-0,83 dan
dikelompokkan ke dalam 4 kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,35 (Gambar
4.5).
Kelompok 1 merupakan kelompok terbesar yang terdiri
dari 53 aksesi dengan koefisien kesamaan 0,36 yang terdiri dari aksesi yang
berasal dari Ambon, Kalimantan Selatan, Banten, Kalimantan Barat, Bogor (Loji,
Pandeglag, Leuwisadeng, dan Jasinga), Cibinong, dan Kebun Raya 4. Kelompok 2
terdiri dari 10 aksesi dengan koefisien kesamaan 0,37 terdiri dari aksesi yang
berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat, Cibinong, Aceh, Medan, Jambi,
Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung. Kelompok 3 dengan koefisien kemiripan 0,35
terdiri dari 5 aksesi dari aksesi yang berasal dari Batu Sangkar (Sumatra Barat),
Kebun Raya (Bogor) (KR7 asal Jambi dan KR8 asal Peninsula Malaysia), dan
Kalimantan Selatan) Kelompok 4 terdiri dari outgroup
yaitu Anacardium occidentale dan Mangifera indica.
Kelompok 1 dapat dibagi menjadi 7 kelompok lagi yaitu
kelompok I memiliki 11 aksesi yang berasal Ambon dengan koefisien kesamaan
0,51, kelompok II memiliki 8 aksesi yang berasal dari Kalimantan Selatan dan
Ambon dengan koefisien kesamaan 0,56, kelompok III memiliki 11 aksesi yang
berasal dari Kalimantan Selatan dan Ambon dengan koefisien kesamaan 0,54,
kelompok IV memiliki 9 aksesi yang berasal dari Banten dan Kalimantan Barat
dengan indeks kesamaan 0,49, kelompok V memiliki 5 aksesi yang berasal dari
Kalimantan Barat dan Banten dengan indeks kesamaan 0,43, Kelompok VI memiliki 4
aksesi yang berasal dari Bogor (Loji, Pandeglang, Leuwisadeng, dan Jasinga)
dengan koefisien kesamaan 0,64, dan kelompok VII memiliki 5 aksesi yang berasal
dari Cibinong dan Kebun Raya 4 dengan koefisien kesamaan 0,47.
Indeks similaritas pada 75 aksesi B. macrophylla berkisar antara
0,6429-0,9504 dimana kesamaan tertinggi yang dapat diamati antara populasi
Ambon dengan Kalimantan Selatan sedangkan kesamaan terendah yang dapat diamati
adalah antara populasi Medan dengan Lampung. Matriks indeks similaritas antar
populasi menggunakan penanda ISSR pada 14 populasi B. macrophylla disajikan pada Lampiran 2. Jarak genetik yang dapat
diamati berkisar antara 0,0509-0,4418 dimana jarak tertinggi terdapat antara
populasi Lampung dengan Medan sedangkan jarak genetik terendah terdapat antara
populasi Ambon dengan Kalimantan Selatan.
Gambar 4.5. Dendogram
B. macrophylla menggunakan data ISSR
menggunakan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Average
(UPGMA)
C. Principal Component Analysis
(PCA)
Principal component analysis (PCA)
dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran aksesi dalam ruang dua dimensi. PCA
merupakan pengelompokan aksesi yang diperoleh berdasarkan data ISSR. PCA
dilakukan untuk melihat perpindahan aksesi dan untuk mengkonfirmasi pola
pengelompokan yang diperoleh dari dendogram. Hasil plot dari Gambar 3 dimensi
dan 2 dimensi hasil PCA menunjukkan adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam
dendogram UPGMA (Gambar 4.6). Hasil PCA menunjukkan adanya hubungan yang erat
antara data molekuler menggunakan penanda ISSR dengan populasi asal. Gambar 4.6
memperlihatkan adanya pengelompokan aksesi yang berasal dari Ambon, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
dan Banten sedangkan aksesi asal Bogor dan Cibinong mengelompok sendiri. Hasil
PCA juga mengkonfirmasi letak aksesi outgroup
(M. indica dan A. occidentale) yang membentuk kelompok
sendiri.
Akumulasi persentase dari 3 komponen utama
telah mewakili 87,3% keragaman dari total 100% pada 126 alel. Hasil PCA
menunjukkan bahwa terdapat 3 principal
component yang mampu menerangkan keragaman kumulatif sebesar 87,3% dari
total keragaman (Tabel 15).
Tabel. 15. Total initial
Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
|
Eigenvalue
|
||
Total
|
% Keragaman
|
% Kumulatif
|
|
I
|
0,74324
|
34,7%
|
34,7%
|
II
|
0,63746
|
31,9%
|
66,6%
|
III
|
0,53467
|
20,7%
|
87,3%
|
IV
|
0,24986
|
4,6%
|
91,9%
|
V
|
0,21345
|
3,7%
|
95,6%
|
VI
|
0,12834
|
3,3%
|
98,9%
|
VII
|
0.02812
|
1,1%
|
100%
|
Keragaman dapat diperoleh dengan 3
komponen utama dengan ciri utama yang menentukan keragaman adalah alel primer
PKBT12-250, PKBT12-300, PKBT12-500, PKBT12-600, PKBT7-250, PKBT7-350, PKBT7-600,
PKBT3-700, PKBT3-750, PKBT3-800, PKBT4-500, dan PKBT4-600. Terdapat 112 alel
berpengaruh terhadap variasi dan 14 alel yang tidak terlalu berpengaruh pada
variasi B. macrophlylla. Variasi pada
B. macrophylla yang muncul pada alel
menggunakan penanda ISSR disebabkan karena sempitnya sebaran B. macrophylla secara geografis di
Indonesia.
Karakter dengan nilai positif terbesar
pada Tabel 16 yang menyusun principal
component I terdiri dari 8 alel yaitu PKBT12-250, PKBT12-300, PKBT12-500,
PKBT12-600, PKBT7-250, PKBT7-350, PKBT7-600, dan PKBT3-700, pada principal component II terdiri dari 3
alel yaitu PKBT3-750, PKBT3-800, PKBT4-500, sedangkan pada principal component III terdiri dari 1 alel yaitu PKBT4-600.
Keterangan : AM = Ambon, BA =
Banten, BL = Bangka Belitung, BS = Batu Sangkar, Sumatra barat, EP = Cibinong,
KB = Kalimantan Barat, KR = Kebun Raya, KS = Kalimantan Selatan, PLB =
Palembang, LP = Lampung, MDN = Medan, SN = Lhoksukon, Aceh, BO = Bogor, AO = A. occidentale, MI = M. indica.
Gambar 4.6. Plot 2D dimensi principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 75
aksesi B. macrophylla berdasarkan
penanda ISSR
Tabel. 16. Nilai komponen utama karakter molekuler B. macrophylla di Indonesia
Alel
|
PC1
|
PC2
|
PC3
|
PKBT12-250
|
0,307
|
0,143
|
0,124
|
PKBT12-300
|
0,297
|
0,124
|
0,132
|
PKBT12-500
|
0,291
|
0,245
|
0,214
|
PKBT12-600
|
0,288
|
0,221
|
0,238
|
PKBT7-250
|
0,288
|
0,221
|
0,243
|
PKBT7-350
|
0,279
|
0,187
|
0,257
|
PKBT7-600
|
0,273
|
0,176
|
0,243
|
PKBT3-700
|
0,273
|
0,185
|
0,267
|
PKBT3-750
|
0187
|
0,324
|
0,256
|
PKBT3-800
|
0,211
|
0,298
|
0,112
|
PKBT4-500
|
0,225
|
0,288
|
0,132
|
PKBT4-600
|
0,196
|
0,213
|
0,312
|
D. Analysis of Molecular Variance (AMOVA)
AMOVA
digunakan untuk melihat pengaruh wilayah antar populasi dan di dalam populasi
yang berkontribusi keragaman genetik. AMOVA dilakukan dengan menggunakan
perangkat GenAlEX 6.5 untuk memperkirakan komponen genetik yang bervariasi
dalam populasi maupun antar populasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi genetik
yang tersimpan di dalam populasi adalah 86%, sedangkan keragaman genetik antar
populasi adalah 14%. Variasi di dalam populasi yang tinggi menunjukkan
keragaman genetik di dalam populasi. Keragaman genetik di dalam populasi yang
tinggi menunjukkan diferensiasi populasi yang cukup tegas. Hasil AMOVA juga
memperlihatkan bahwa variasi dalam populasi dan antar populasi sangat
signifikan (P-value< 0,01). Hasil
AMOVA 75 aksesi B. macrophylla dalam
14 populasi menggunakan penanda ISSR disajikan pada Lampiran 3.
AMOVA
dapat digunakan untuk memisahkan variasi ketika ada jarak genetik untuk menggambarkan
perbedaan suatu alel dengan alel lainnya (Holsinger, 2010). Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa variasi genetik lebih besar berasal dari dalam populasi (86%)
dari pada dari luar populasi (14%). Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang
muncul pada B. macrophylla sebagian
besar disebabkan oleh pengaruh variasi di dalam populasi dibandingkan dengan
variasi yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh tingginya sebaran tumbuhan ini dalam suatu populasi yang
menyebabkan tingginya variasi. Walaupun sebaran antara geografis sangat luas,
kemungkinan B. macrophylla hanya
dapat hidup pada kondisi lingkungan yang sama antara satu populasi dengan
populasi yang lain.
4.2.2. Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb.
A. Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda
ISSR
Berdasarkan analisis keanekaragaman dari
30 aksesi B. oppositifolia, selu ruh
DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR (Tabel 17). Jumlah
pita DNA yang dapat dihitung dan terlihat dengan jelas adalah 782 pita DNA.
Selama pengamatan terdapat 49 alel yang dapat diidentifikasi dengan jumlah
lokus polimorfik 32 dan persentase lokus polimorfik 65,31%. Ukuran amplikon
yang berhasil diamati berkisar antara 100-1300 bp. Jumlah alel pada setiap
primer berkisar antara 2 (PKBT5) dan 11 (PKBT12) dengan rata-rata 6,125 alel
per primer. Nilai PIC (Polymorphism
Information Content) yang diperoleh berkisar antara 0,4987-0,8405 dengan
nilai rata-rata 0,7009 yang menunjukkan bahwa primer ISSR yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki kemampuan menghasilkan data polimorfik yang tinggi
kecuali pada primer PKBT 5 yang memiliki nilai PIC dibawah 0,5 yaitu 0,4987.
Alel efektif tertinggi yang dapat diamati terdapat pada primer PKBT12 (1,2484)
sedangkan alel efektif terendah yang dapat diamati terdapat pada PKBT5
(1,0344). Nilai heterozigositas tertinggi ditunjukkan oleh primer PKBT8 dengan
nilai 0,2286 sedangkan nilai heterozigositas terendah terdapat pada primer
PKBT4 dengan nilai 0,0207 dengan nilai rata-rata 0,1261. Nilai indeks informasi
Shannon bervariasi berkisar antara 0,0408-0,3524 dengan nilai tertinggi
ditunjukkan oleh primer PKBT4 dan terendah ditunjukkan oleh primer PKBT4.
Tabel 17. Analisis diversitas genetik B. oppositifolia menggunakan penanda
ISSR menggunakan program POPGENE version 1.32.
Primer
|
Jumlah Alel Efektif
|
Heterozigositas
|
Polymorphic Information Content (PIC)
|
Shannon’s Information Index
|
PKBT3
|
1,0711
|
0,0622
|
0,6799
|
0,1225
|
PKBT4
|
1,1165
|
0,0207
|
0,7596
|
0,0408
|
PKBT5
|
1,0345
|
0,0322
|
0,4987
|
0,0731
|
PKBT7
|
1,2168
|
0,2056
|
0,6254
|
0,3001
|
PKBT8
|
1,3369
|
0,2286
|
0,7559
|
0,3599
|
PKBT9
|
1,1330
|
0,1590
|
0,7789
|
0,2815
|
PKBT10
|
1,1126
|
0,0861
|
0,6684
|
0,1521
|
PKBT12
|
1,2484
|
0,2147
|
0,8405
|
0,3524
|
Rata-rata
|
1,1587
|
0,1261
|
0,7009
|
0,2103
|
Jumlah alel efektif pada Tabel 17
menunjukkan ukuran alel yang sering sama yang diambil untuk mencapai tingkat
keakekaragaman gen tertentu. Artinya, hal ini memungkinkan kita untuk
membandingkan dimana jumlah dan distribusi alel yang berbeda secara signifikan
(Hartl & Clark, 1989). Konsep polimorfisme digunakan untuk mendefenisikan
variasi genetik dalam populasi. PolymorphismInformation
Content (PIC) telah menjadi formula yang paling sering digunakan untuk
studi genetika dalam mengukur kandungan informasi dari suatu penanda molekuler
(Botstein et al., 1980). Tingginya
nilai PIC menunjukkan tingginya nilai keinformatifan suatu primer. Nilai PIC
dari hasil pengamatan berkisar 0,4987-0,8405
dengan rata-rata 0,7009 yang berarti keinformatifan data yang
dihasilkan penanda molekuler yang digunakan pada penelitian ini cukup tinggi.
Nilai Shannon’s information index menunjukkan
ukuran yang paling umum digunakan untuk memperkirakan keanekaragaman
berdasarkan frekuensi ada tidaknya pita DNA pada setiap penanda molekuler dalam
setiap populasi. Dalam teori, nilai ini berkisar antara 0-1 (homozitositas ke
heterozigositas penuh), meskipun penanda molekuler dominan mencapai tingkat
maksimum pada nilai 0,5 dan penanda co-dominan tidak pernah mencapai nilai
maksimum 1 untuk spesies dengan tipe penyerbukan self pollinating.
Berdasarkan data pada Tabel 18 terlihat bahwa nilai
heterozigositas dari total populasi (HT)
adalah 0,1528. Data ini menunjukkan adanya variasi genetik yang cukup besar
antar individu di dalam populasi B.
oppositifolia. Koefisiensi diferensiasi genetik (GST) pada B.
oppositifolia menunjukkan nilai 0,4316 yang menunjukkan bahwa angka ini
memiliki nilai yang cukup rendah tetapi berdasarkan jumlah diferensiasi genetik
standar yang diusulkan oleh Nybom dan Bartisth (2000) yang memiliki nilai 0,23
(untuk tanaman hasil persilangan) dan 0,19 untuk tanaman endemik, nilai ini
masih cukup tinggi. Letak geografis menjadi faktor utama penyebab rendahnya
nilai koefisien diferensiasi genetik B.
oppositifolia karena jarak geografis telah menentukan aliran gen. Kondisi
ini terbukti dengan tingginya nilai Gene
Flow (0,6584). Fishcher dan Mathies (1988) menyatakan bahwa isolasi
geografis yang lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang, sedangkan
letak geografi yang dekat akan menyebabkan tingginya aliran gen.
Tabel 18. Hasil analisis diversitas genetik B. oppositifolia menggunakan penanda
ISSR (POPGENE Program 1.32)
Sampel
|
HT
|
HS
|
GST
|
NM
|
30
|
0,1528
|
0,0869
|
0,4316
|
0,6584
|
Keterangan:
HT = Nilai heterozigositas
total populasi, HS = Nilai
heterozigositas pada subpopulasi, GST
= Koefisien diferensiasi genetik, NM = Nilai Gen flow
B. Analisis
Klaster
Data yang berhasil diperoleh dari penanda
ISSR digunakan dalam analisis klaster menggunakan program NTSYS versi 2.02.
Kladogram dibangun berdasarkan kesamaan menggunakan metode Dice Coefficient. Analisis klaster dilakukan dengan mengelompokkan
genotipe yang dihasilkan kedalam dendogram. Sebanyak 30 aksesi B. oppositifolia ditambah dengan 2 outgroup berupa Mangifera indica dan Anacardium
occidentale memiliki koefisien kemiripan berkisar antara 0,56-0,99 dan
dikelompokkan ke dalam 5 kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,84 (Gambar 4.7).
Gambar 4.7. Dendogram B. oppositifolia menggunakan data ISSR menggunakan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Average (UPGMA)
Kelompok 1 merupakan kelompok outgroup berupa M. indica dan A. occidentale.
Kelompok 2 merupakan kelompok dengan 1 aksesi yaitu Kebun Raya (KR1).
Kelompok 3 merupakan kelompok dengan anggota terbesar yaitu 23 aksesi yaitu
aksesi yang berasal dari Sumatra Utara (GT, HA, SO), Riau, Kebun Raya (KR2 dan
KR3) serta Bangka Belitung. Kelompok 4 merupakan kelompok dengan 2 aksesi yang
berasal dari Sumatra Utara (SP dan LG). kelompok 5 merupakan kelompok dengan 2
aksesi yang berasal dari Kebun Raya (KR5 dan KR6).
Indeks similaritas pada 30 aksesi B. oppositifolia berkisar antara
0,8946-0,9428 dimana kesamaan tertinggi yang dapat diamati terdapat diantara
populasi Kebun Raya dengan populasi Bangka Belitung sedangkan kesamaan terendah
yang dapat diamati terdapat antara populasi Kebun Raya dengan Populasi Riau.
Matriks indeks similaritas antara populasi menggunakan penanda ISSR pada 4
populasi B. oppositifolia disajikan
pada Lampiran 4. Jarak genetik yang dapat diamati berkisar antara 0,0589-0,1113
dimana jarak genetik tertinggi terdapat diantara populasi Kebun Raya dengan
populasi Riau sedangkan jarak genetik terendah terdapat diantara populasi Kebun
Raya dengan Populasi Bangka Belitung. Matriks jarak genetik antar populasi
menggunakan penanda ISSR pada 4 populasi B.
oppositifolia disajikan pada Lampiran 6.
C. Principal Component Analysis
Principal
Component Analysis (PCA) dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran
aksesi dalam ruang dua dan tiga dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang
diperoleh berdasarkan data ISSR. Hasil PCA plot Gambar dua dimensi menunjukkan
adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.8). Hasil
PCA menunjukkan adanya hubungan yang erat antara data molekuler menggunakan
penanda ISSR dengan populasi asal aksesi. Gambar 4.8 menunjukkan adanya
pengelompokan yang tegas pada aksesi yang berasal dari Bangka Belitung,
sedangkan aksesi asal KRB, Riau, dan Medan ada yang mengelompok sendiri dan ada
yang bergabung dengan kelompok lain.
Keterangan : BL = Bangka
Belitung, KR = Kebun Raya Bogor, LG = Langga Payung (Sumatra Utara), SP =
Sipiongot (Sumatra Utara), GT= Gunung Tua (Sumatra Utara), MDN = Medan (Sumatra
utara), BO = Bogor, AO = A. occidentale,
MI = M. indica.
Gambar 4.8. Plot 2D dimensi principal component analysis yang
menunjukkan hubungan antara 30 aksesi B.
oppositifolia berdasarkan penanda ISSR
Akumulasi persentase dari empat komponen
utama mewakili 77,3 % keragaman dari 100 % pada 49 alel. Hasil PCA menunjukkan
bahwa 4 principal component mampu
menerangkan keragaman kumulatif sebesar 77.3 % dari total keragaman (Tabel 19).
Principal component I memiliki
keragaman sebesar 29,3 %, principal
component II memiliki keragaman sebesar 23,4 %, principal component III memiliki keragaman sebesar 12,9 %, dan principal component IV memiliki
keragaman sebesar 11,7 %.
Tabel. 19. Total initial Eigenvalue (nilai ciri utama)
Principal
Component
|
Eigenvalue
|
||
Total
|
% Keragaman
|
% Kumulatif
|
|
I
|
0,68435
|
29,3 %
|
29,3 %
|
II
|
0,59382
|
23,4 %
|
52,7 %
|
III
|
0,51928
|
12,9 %
|
65,6 %
|
IV
|
0,47283
|
11,7 %
|
77,3 %
|
V
|
0,35384
|
8,1 %
|
85,4 %
|
VI
|
0,30127
|
6,4 %
|
91,8 %
|
VII
|
0,28374
|
4,3 %
|
96,1 %
|
VIII
|
0,10287
|
2,7 %
|
98,8 %
|
IX
|
0,01228
|
1,2 %
|
100 %
|
Keragaman dapat diperoleh hanya dengan 4
komponen utama dengan alel utama yang menentukan keragaman adalah PKBT12-400,
PKBT12-550, PKBT12-700, PKBT12-950, PKBT9-550, PKBT9-750, PKBT9-900, PKBT4-400,
PKBT4-650, PKBT4-950, PKBT8-550, PKBT8-700, dan PKBT3-550. Terdapat 34 alel yang paling mempengaruhi
variasi dan 15 alel yang tidak terlalu berpengaruh terhadap variasi pada Bouea. Karakter dengan nilai positif
yang paling besar pada Tabel 20 yang menyusun principal component I terdiri dari lima alel yaitu PKBT12-400,
PKBT12-550, PKBT12-700, PKBT12-950, dan PKBT9-550, pada principal component II terdiri dari empat alel yaitu PKBT9-750,
PKBT9-900, PKBT4-400, dan PKBT4-650, pada principal
component III terdiri dari tiga alel yaitu PKBT4-950, PKBT8-550, PKBT8-700,
sedangkan pada principal component IV
terdiri dari satu alel yaitu PKBT3-500. Nilai komponen utama alel pada B. oppositifolia berdasarkan penanda
ISSR di Indonesia disajikan pada Tabel 20.
Tabel. 20. Nilai komponen utama karakter molekuler B. macrophylla di Indonesia
Alel
|
PC1
|
PC2
|
PC3
|
PC4
|
PKBT12-400
|
0,326
|
-0,156
|
0,182
|
0,118
|
PKBT12-550
|
0,314
|
-0,221
|
0,231
|
0,106
|
PKBT12-700
|
0,297
|
-0,253
|
0,191
|
0,125
|
PKBT12-950
|
0,291
|
0,187
|
0,189
|
0,154
|
PKBT9-550
|
0,289
|
0,135
|
0,176
|
0,123
|
PKBT9-750
|
0,181
|
0,314
|
0,162
|
0,234
|
PKBT9-900
|
0,176
|
0,297
|
0,189
|
0,219
|
PKBT4-400
|
0,145
|
0,289
|
0,123
|
0,221
|
PKBT4-650
|
0,197
|
0,278
|
0,137
|
0,198
|
PKBT4-950
|
0,263
|
-0,176
|
0,326
|
0,187
|
PKBT8-550
|
0,154
|
-0,185
|
0,314
|
0,231
|
PKBT8-700
|
0,149
|
0,178
|
0,279
|
0,263
|
PKBT3-550
|
0,135
|
0,149
|
0,211
|
0,291
|
D. Analysis
of Molecular Variance (AMOVA)
AMOVA digunakan untuk menganalisis
pengaruh dalam populasi dan antar populasi terhadap keragaman genetik yang ada.
AMOVA dilakukan dengan menggunakan perangkat GenAlEX 6.5 untuk memperkirakan
komponen genetik dalam populasi maupun antar populasi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa variasi genetik yang tersimpan di dalam populasi adalah 60%,
sedangan keragaman genetik antar populasi adalah 40%. Variasi di dalam populasi
yang tinggi menunjukkan diferensiasi populasi yang cukup tegas. Hasil AMOVA
juga menunjukkan bahwa variasi dalam populasi dan antar populasi sangat
signifikan (P-value< 0,01). Hasil
AMOVA 30 aksesi B. oppositifolia dalam
4 populasi menggunakan penanda ISSR disajikan pada Lampiran 4.
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa variasi genetik lebih besar berasal dari dalam
populasi (60%) dari pada dari luar populasi (40%). Hal ini menunjukkan bahwa
variasi yang muncul pada B. oppositifolia
sebagian besar disebabkan oleh pengaruh variasi di dalam populasi
dibandingkan dengan variasi yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya sebaran tumbuhan ini dalam suatu
populasi yang menyebabkan rendahnya variasi. Walaupun sebaran antara geografis
cukup luas, kemungkinan B. macrophylla hanya
dapat hidup pada kondisi lingkungan yang sama antara satu populasi dengan
populasi yang lain. Nilai variasi antar populasi dan dalam populasi yang cukup
dekat menunjukkan bahwa variasi yang muncul cukup berimbang antara pengaruh
geografis dengan pengaruh genetik dari dalam populasi.
4.2.3.
Bouea oppositifolia (Roxb.) Adelb. dan Bouea macrophylla Griffith
A. Variasi alel antar aksesi menggunakan penanda
ISSR
Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman
dari 30 aksesi B. oppositifolia, 75
aksesi B. macrophylla, dan 2 outgroup (M. indica dan A. occidentale)
seluruh DNA tanaman berhasil diamplifikasi menggunakan 7 primer ISSR. Jumlah
pita DNA yang dapat di hitung dan terlihat dengan jelas adalah 2790 pita DNA.
Selama pengamatan terdapat 131 alel yang dapat diidentifikasi dengan jumlah
lokus polimorfik 130 dan persentase lokus polimorfik 99,24%. Ukuran amplikon
yang berhasil diamati berkisar antara 100-1300 bp. Jumlah lokus polimorfisme
pada sampel B. macrophylla adalah 126
(96,18%) dan pada B. oppositifolia adalah
26 (19,85%).
B. Analisis Klaster
Sebanyak 30 aksesi B. oppositifolia dan 75 aksesi B.
macrophylla ditambah dengan 2 outgroup
berupa Mangifera indica dan Anacardium occidentale memiliki
koefisien kemiripan berkisar antara 0,17-1,00 dan dikelompokkan ke dalam 3
kelompok utama pada koefisien kemiripan 0,34 (Gambar 4.9). Hasil analisis
menunjukkan bahwa penanda ISSR mampu membedakan kedua jenis marga Bouea dan outgroup-nya. Jarak genetik dan koefisien similaritas B. oppositifolia, B. macropylla, dan 2 outgroup yaitu A. occidentale dan M. Indica.
Gambar 4.9. Dendogram Gabungan data ISSR B. macrophylla dan B. oppositifilia menggunakan data ISSR dengan metode Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Average (UPGMA). Background Merah (B.
macrophylla), Biru (B. oppositifolia),
dan Hijau (M. indica dan A. occidentale) menunjukkan perbedaan klaster.
C. Principal Component Analysis (PCA)
Principal
Component Analysis (PCA) dilakukan untuk mengevaluasi variasi sebaran
aksesi dalam ruang dua dan tiga dimensi. PCA mengelompokkan aksesi yang
diperoleh berdasarkan data ISSR. Hasil PCA plot Gambar 2 dimensi menunjukkan
adanya kemiripan dengan pengelompokan dalam dendogram UPGMA (Gambar 4.10).
Terdapat pengelompokan data sampel B.
macrophylla, B. oppositifolia, dan
outgroup berupa M. indica dan A. occidentale.
Hal ini menunjukkan bahwa penanda ISSR dapat digunakan sebagai penanda
molekuler yang dapat membedakan antara jenis pada anggota marga Bouea.
Gambar 4.10. Plot 2D dimensi principal component analysis yang menunjukkan hubungan antara 107
aksesi B. oppositifolia, B. macrophylla, dan
outgroup (Mangifera idica dan Anacardium
occidentale) berdasarkan penanda ISSR
Penelitian molekuler terkait marga Bouea masih sangat jarang dilakukan
sehingga pencarian data pembanding dalam analisis molekuler pada penelitian ini
sangat sulit untuk ditemukan. Hasil dalam penelitian ini cukup berbeda dengan
hasil penelitian dari Ghazali et al.
(2015) yang meneliti tentang hubungan antara marga Bouea di semenanjung Malaysia berdasarkan penanda ISSR yang
menunjukkan bahwa koefisien similaritas B.
macrophylla berkisar antara 0,659-0,955 dan koefisien similaritas B. oppositifolia berkisar antara
0,591-0,977. Hal ini disebabkan
perbedaan jarak sebaran sampel yang diperoleh. Pada marga Bouea yang berasal dari Indonesia, kebanyakan sampel terpisah jauh
antar provinsi dan antar pulau sedangkan Bouea
yang berasal dari semenanjung Malaysia memiliki sebaran yang cukup kecil.
Posisi geografi ini dapat mempengaruhi variasi genetik yang muncul pada setiap
anggota marga Bouea. Data matriks
indeks similaritas dan jarak antar populasi B.
macrophylla dan B. oppositifolia menggunakan
penanda ISSR tertera pada Lampiran 5
4.3. Data cpDNA
4.3.1. Visualisasi Hasil PCR
Visualisasi hasil PCR menggunakan agarose 1% menunjukkan single band yang berarti sekuen trnL-F berhasil diamplifikasi dengan
primer cpDNA forward dan cpDNA reverse. Gambar visualisasi hasil PCR
disajikan pada Gambar 4.11. Hasil visualisasi terlihat
cukup jelas sehingga produk PCR dapat dilanjutkan ke proses sekuensing. Proses
sequencing dilakukan dengan cara mengirimkan sampel ke 1st Base
Singapore untuk kemudian disekuensing. Hasil sequencing berupa file .ab1 diolah
menggunakan program Bioedit dan MEGA untuk memperoleh sekuen konsensus. Sekuen
konsensus yang diperoleh kemudian dianalisis bioinformatik.
Gambar 4.11. Visualisasi
hasil PCR dengan menggunakan primer cpDNA
forward dan cpDNA reverse pada
agarose 1%; AO = A. occidentale, AM1
= Ambon (B. macrophylla), BA5 =
Banten (B. macrophylla), BS4 = Batu
Sangkar, Sumatra Barat (B. macrophylla),
KB = Kalimantan Barat (B. macrophylla),
SN = Lhoksukon, Aceh (B. macrophylla),
MI = Mangifera indica, BL17 = Bangka
Belitung (B. oppositifolia), GT =
Gunung Tua, Sumatra Utara (B.
oppositifolia), KR1, KR2, KR3, dan KR5 = Kebun Raya Bogor (B. oppositifolia), KR4 = Kebun Raya
Bogor (B. macrophylla), SP =
Sipiongot, Sumatra Utara (B.
oppositifolia)
4.3.2. Alignment hasil
sequencing sekuen trnL-F pada Marga Bouea dan outgroup (M. indica dan A. occidentale)
Hasil alignment sekuen trnL-F terdiri dari 483 karakter. Dari data tersebut terdapat 351
karakter konservatif, 8 karakter berpotensi parsimony
informativ, dan 108 karakter merupakan variable
sites (Lampiran 9). Hasil alignment menunjukkan tingkat homologi yang
sangat tinggi (98 %) pada kedua spesies dari marga Bouea. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan tingkat homologi 14
spesies famili Anacardiaceae pada
daerah ITS-1 genom inti yaitu 75% (Hidayat & Pancoro, 2001). Rata-rata
frekuensi nukleotida pada sekuen trnL-F
adalah 32,2% (T), 22,6% (C), 29.3% (A), dan 16% (G). Sekuen ini kaya akan T/A
yaitu sebesar 61,1% sedangkan G/C sebesar 38,8% (Tabel 21). Hal ini sesuai
dengan pernyataan Li (1997) yang menyatakan bahwa komposisi nukleotida yang
paling banyak pada daerah nonkoding DNA kloroplas adalah Adenin dan Timin. Di
sisi lain, rasio transisi/transversi cukup tinggi (R = 0,92) dimana
transisi/transversi rasio purin (0,004) dan transisi/transversi rasio pirimidin
(0,258). Variasi muncul diantara spesies yang satu dengan spesies yang lain
dalam marga yang sama maupun yang berbeda.
Tabel
21. Variasi panjang, AT content, dan GC content pada sekuen trnL-F
pada Marga Bouea
Sampel
|
T
|
C
|
A
|
G
|
Total (bp)
|
%AT
|
%GC
|
B. macrophylla(BA5)
|
32,2
|
22,6
|
28,8
|
16,4
|
451,0
|
61,0
|
39,0
|
B. macrophylla(AM1)
|
32,4
|
22,9
|
28,5
|
16,2
|
445,0
|
60,9
|
39,1
|
B. macrophylla(BS4)
|
31,9
|
22,2
|
29,4
|
16,4
|
445,0
|
61,3
|
38,7
|
B. macrophylla(KB5)
|
32,3
|
22,6
|
29,0
|
16,2
|
452,0
|
61,3
|
38,7
|
B. macrophylla(KR4)
|
32,2
|
22,8
|
28,9
|
16,2
|
426,0
|
61,0
|
39,0
|
B. macrophylla(SN)
|
32,1
|
22,2
|
29,5
|
16,3
|
455,0
|
61,5
|
38,5
|
B. oppositifolia(BL12)
|
32,2
|
22,5
|
29,1
|
16,3
|
454,0
|
61,2
|
38,8
|
B. oppositifolia(GT)
|
32,1
|
23,1
|
28,5
|
16,3
|
424,0
|
60,6
|
39,4
|
B. oppositifolia(KR1)
|
32,1
|
22,8
|
28,8
|
16,4
|
452,0
|
60,8
|
39,2
|
B. oppositifolia(KR2)
|
32,1
|
22,8
|
29,0
|
16,2
|
452,0
|
61,1
|
38,9
|
B. oppositifolia(KR3)
|
32,2
|
22,7
|
28,9
|
16,1
|
453,0
|
61,1
|
38,9
|
B. oppositifolia(KR5)
|
32,1
|
22,8
|
29,0
|
16,2
|
452,0
|
61,1
|
38,9
|
B. oppositifolia(SP)
|
31,9
|
22,8
|
29,0
|
16,2
|
451,0
|
61,0
|
39,0
|
Anacardium occidentale
|
31,3
|
22,5
|
30,2
|
16,0
|
457,0
|
61,5
|
38,5
|
Mangifera indica
|
33,7
|
21,5
|
32,0
|
12,8
|
413,0
|
65,6
|
34,4
|
Rata-rata
|
32,2
|
22,6
|
29,2
|
16,0
|
445,5
|
61,4
|
38,6
|
Variasi urutan sekuen yang terdapat pada cpDNA umumnya disebabkan oleh mutasi
nukleotida tunggal yang mempresentasikan mutasi yang telah terjadi dalam jangka
waktu yang sangat lama (Fitmawati & Hartana, 2010). Hal ini sangat penting
karena perbedaan panjang pada sekuen trnL-F
pada tanaman berbiji telah diamati (Quandt & Stech, 2004) yang disebabkan
oleh terjadinya mutasi pada beberapa wilayah tertentu pada sekuen trnL-F (Borsch et al., 2003). Oleh karena itu, perubahan pada sekuen ini meskipun
dalam jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan genom inti, tetap
bermakna penting sebagai informasi dalam analisis proses evolusinya karena cpDNA diwariskan secara uniparental atau
umumnya maternal heredity sehingga
tidak terdapat rekombinan seperti yang terjadi pada DNA inti.
Hasil alignment pada Lampiran 6 menunjukkan adanya gap pada sekuen yang disebabkan oleh
adanya insersi dan delesi. Pada ingroup
(B. macrophylla dan B. oppositifolia), delesi terjadi pada
basa no. 1-12, 433, dan 467-483, insersi terjadi pada basa no. 3, 5, 16, 17,
35, 466, 467, 470, dan 471, sedangkan insersi delesi terjadi pada basa no. 3,
5, 467, 470, dan 471. Perubahan sekuen cpDNA
pada tingkat taksa yang rendah seperti spesies dan intra spesies memiliki laju
yang sangat rendah (<1%) (Fitmawati & Hartana, 2010) sehingga sekuen ini
lebih cocok digunakan untuk taksa yang lebih tinggi (Marga, Family, dan
seterusnya) dari pada untuk taksa yang rendah (spesies, intra spesies), tetapi
dapat digunakan untuk menguji status taksonomi suatu spesies yang menunjukkan
variasi yang tinggi untuk melihat apakah variasi tersebut disebabkan oleh
perbedaan antar spesies atau hanya intra spesies.
4.3.3. Analisis filogenetik sekuen trnL-F DNA kloroplas pada Marga Bouea
Pohon filogenetik yang disajikan pada Gambar 4.12
dibangun dengan metode Maximum Parsimony dan
1000x bootstrap.
Gambar
4.12. Pohon
filogenetik sekuen trnL-F dari Bouea
dan outgroup (A. occidentale dan M. indica) hasil rekonstruksi dengan
menggunakan metode Maximum parsimony berdasarkan
kimura-2-parameter model. Percabangan
dianalisis dengan nilai bootstrap >50% dari 1000 ulangan.
Analisis pohon filogenetik menyingkap jawaban penting
tentang sifat leluhur. Pohon yang dihasilkan merupakan pohon monofiletik dengan
3 kelompok utama. Kelompok pertama merupakan kelompok yang terdiri dari 1
spesies yaitu B. oppositifolia terdiri
dari 7 aksesi. Kelompok kedua terdiri dari 1 spesies yaitu B. macrophylla terdiri dari 6 aksesi. Kelompok ketiga terdiri dari outgroup yaitu M. indica dan A. occidentale
(Gambar 4.12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Taberlet et al. (1991) yang menyatakan bahwa DNA kloroplas baik digunakan
untuk analisis kekerabatan antar spesies tetapi kurang baik dalam analisis
kekerabatan intraspesies. Pada Gambar 4.12 terlihat bahwa B. oppositifolia dan B.
macrophylla terpisah secara tegas percabangannya kecuali B. macrophylla aksesi asal Ambon (AM1)
yang menunjukkan keunikan tersendiri dengan membentuk cabang terpisah dari
kedua jenis Bouea. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh jauhnya letak geografi aksesi tersebut sehingga
menyebabkan perubahan yang signifikan pada sekuen trnL-F pada DNA kloroplasnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa
cabang yang ditempati oleh B. macrophylla
dan B. oppositifolia mengelompok
secara terpisah dari outgroup dengan
nilai bootstrap 100% dan merupakan kelompok monofiletik atau dari nenek moyang
yang sama.
Analisis pohon filogenetik berdasarkan sekuen trnL-F kurang mampu menjelaskan hubungan
biogeografi Bouea. Hal ini dapat
dilihat dari satu cabang pada pohon filogenetik terdiri dari 2 aksesi dengan
perbedaan geografi yang cukup jauh. Hal ini menunjukkan bahwa sekuen trnL-F pada marga Bouea tidak terpengaruh letak geografi. Sebanyak 6 aksesi pada B. macrophylla dan 7 aksesi pada B.
oppositifolia bersama-sama membentuk 2 cabang utama dan tidak terkelompok
secara geografi.
Metode Neighbour
Joining (NJ) juga dilakukan untuk melihat perbedaan jarak genetik dan
menganalisis similaritas antar sampel (Gambar 4.13). Berdasarkan analisis
Neighbour Joining (Saitou & Nei, 1987) terlihat bahwa B. oppositifolia asal Gunung Tua (GT), Sumatra Utara memiliki ruas
terpanjang dan muncul lebih awal sehingga diduga B. oppositifolia sebagai tetua bersama dari B. oppositifolia dan B. macrophylla. Keanekaragaman yang
ditunjukkan oleh penanda cpDNA dapat
sangat berbeda dengan keanekaragaman yang ditunjukkan oleh penanda morfologi.
Pola yang muncul dari penanda cpDNA
tidak selalu berhubungan dengan pola yang dihasilkan dari penanda morfologi,
dan demikian pula sebaliknya. Kloroplas diwariskan secara uniparental atau maternal heredity yaitu diturunkan hanya
dari tetua betina dan tidak terjadi rekombinasi sedangkan karakter morfologi
diwariskan dari kedua tetua dan terjadi rekombinasi antara sifat kedua tetua
serta dipengaruhi oleh lingkungan.
Gambar 4.13 mengkonfirmasi bahwa B. oppositifolia asal Kebun Raya Bogor (KR1, KR2, KR3, dan KR5),
Bangka Belitung (BL), dan Sipiongot (SP/Sumatra Utara) memiliki similaritas
yang tinggi jika dibandingkan dengan B.
oppositifolia asal Gunung Tua (GT), Sumatra Utara. Kelompok kedua diduduki
oleh B. macrophylla asal Banten
(BA5), Ambon (AM1), Sumatra Barat (BS4), Kalimantan Barat (KB5), Aceh (SN), dan
Kebun Raya Bogor (KR4), sedangkan kelompok ketiga ditempati oleh A. occidentale dan M. indica. Marga Bouea memiliki
kekerabatan yang lebih dekat dengan A.
occidentale dibandingkan dengan M.
indica yang memiliki kemiripan yang lebih dengan marga Bouea.
Gambar
4.13. Pohon
filogenetik sekuen trnL-F dari Bouea
dan outgroup (A. occidentale dan M.
indica) hasil rekonstruksi dengan menggunakan metode Neighbour Joining. Percabangan dianalisis dengan nilai bootstrap
> 50 % dari 1000 ulangan.
Gen trnL-F
terletak di DNA kloroplas mayoritas tumbuhan dan diwariskan secara maternal,
oleh karena itu gen ini tidak memiliki rekombinasi. Meskipun rekombinasi sangat
penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies, sangat sulit untuk mendapatkan
informasi leluhur dari gen yang terekombinasi. Sekuen gen yang terletak di DNA
kloroplas mengalami tingkat evolusi yang rendah, oleh karena itu DNA ini baik
digunakan untuk analisis kekerabatan antar spesies tetapi kurang dalam analisis
kekerabatan intraspesies (Taberlet et al.,
1991).
Daerah non-koding memiliki tingkat mutasi yang rendah
jika dibandingkan dengan dengan daerah koding (Taberlet, et al., 1991 ; Hamilton, 1999). Daerah nonkoding akan menunjukkan
lebih banyak variasi ketika diurutkan dari daerah koding, sehingga jika hasil
sekuensing cukup informatif, maka sekuen intron dan intergenic spacer pada DNA kloropas dapat digunakan untuk
mempelajari kekerabatan antar spesies (Hamilton, 1999).
4.4. Distribusi
Spasial Gandaria (Bouea) di Indonesia
4.4.1. Studi Herbarium
Persiapan awal dalam memperoleh informasi
tentang distribusi dan karakteristik dari Bouea
dikumpulkan dari informasi literatur yang diperoleh dari spesimen
herbarium. Pengamatan spesimen herbarium dilakukan di Herbarium Bogoriense,
Center of Biology, Indonesia Institute of Sciences (LIPI), Cibinong, Indonesia.
Berdasarkan data yang diperoleh dari spesimen herbarium, herbarium dikoleksi
dari tahun 1868 hingga tahun 2004, sehingga status taksonomi yang ditentukan
oleh Hou pada tahun 1975 kemungkinan sudah tidak sesuai lagi dengan status Bouea saat ini. Spesimen diidentifikasi
oleh Ding Hou, Kochumer, CA Backer, and Koorders. Berdasarkan data herbarium
diketahui terdapat 52 spesimen B.
oppositifolia, 30 spesimen B.
macrophylla, dan 1 spesimen Bouea sp yang tidak dapat dijelaskan termasuk ke
dalam Bouea jenis oppositifolia atau macrophylla. Pada penelitian ini digunakan 30 spesimen B. oppositifolia dan 29 spesimen B. macrophylla berdasarkan lokasi
pengkoleksian spesimen. Spesimen yang dipilih adalah spesimen yang dikoleksi
dari wilayah Indonesia dan memiliki koordinat yang jelas untuk analisis
spasial.
Sebagian besar spesimen B. macrophylla diperoleh dari Jawa (23
spesimen) dan yang lainnya berasal dari Sumatra Utara (4 spesimen), dan Bangka
Belitung (2 spesimen). Data spesimen B.
oppositifolia sebagian besar berasal dari Kalimantan (15 spesimen) dan yang
lainnya berasal dari Jawa (1 spesimen), Bangka Belitung (6 spesimen), Sumatra
Utara (3 spesimen), dan Sumatra Selatan (5 spesimen) (Tabel 22). Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat diversitas Bouea di dunia yang termasuk ke dalam
wilayah Malesia bagian barat. Sesuai dengan pernyataan Rifai (1992) yang
menyatakan bahwa wilayah Malesia bagian barat merupakan pusat diversitas Bouea.
Tabel
22. Daftar aksesi Bouea yang
ditemukan pada pengamatan herbarium
No.
|
Jenis
|
Provinsi
|
Jumlah
|
1
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kalimantan
Tengah
|
1
|
2
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kalimantan
Utara
|
1
|
3
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kalimantan
Barat
|
1
|
4
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kalimantan
Selatan
|
1
|
5
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kalimantan
Timur
|
11
|
6
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Jawa
Barat
|
1
|
7
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Bangka
Belitung
|
6
|
8
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Sumatra
Utara
|
3
|
9
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Sumatra
Selatan
|
5
|
10
|
B. macrophylla Griffit.
|
Jawa
Tengah
|
8
|
11
|
B. macrophylla Griffit.
|
Jawa
Barat
|
10
|
12
|
B. macrophylla Griffit.
|
Banten
|
1
|
13
|
B. macrophylla Griffit.
|
DKI
Jakarta
|
4
|
14
|
B. macrophylla Griffit.
|
Sumatra
Utara
|
4
|
15
|
B. macrophylla Griffit.
|
Bangka
Belitung
|
2
|
Total
|
59
|
Perbedaan yang signifikan pada pengamatan
spesimen herbarium adalah perbedaan ukuran daun dan tata letak daun antara
kedua jenis Bouea sehingga dapat dikelompokkan
menjadi 3 berdasarkan bentuk daun yaitu daun telur sungsang (Bulat Telur Sungsang), daun elips, dan
daun linear. Berdasarkan klasifikasi Bouea
oleh Ding Hou, B. oppositifolia menunjukkan
perbedaan bentuk daun yang signifikan dengan bentuk bulat panjang dan daun
berbentuk telur sungsang (Bulat Telur
Sungsang).
4.4.2. Studi Lapangan
Berdasarkan data yang diperoleh pada studi
lapangan, Bouea terdistribusi luas di
wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Wilayah Indonesia bagian barat
mencakup pulau Sumatra, Kalimantan Barat, Banten, dan Jawa Barat, wilayah
Indonesia bagian tengah mencakup Kalimantan Selatan dan wilayah Indonesia
bagian Timur mencakup kepulauan Maluku (Ambon). Berdasarkan studi herbarium,
tidak ditemukan spesimen yang terdistribusi di wilayah Timur Indonesia,
sedangkan pada studi lapangan, ditemukan distribusi baru dari marga Bouea yang terdapat di wilayah Ambon,
Kepulauan Maluku.
Berdasarkan hasil studi lapangan, data
yang diperoleh adalah 75 aksesi spesies B.
macrophylla dan 30 aksesi spesies B.
oppositifolia. B. macrophylla tersebar di wilayah Indonesia bagian barat,
tengah, dan timur, sedangkan B.
oppositifolia terdistribusi hanya di wilayah Indonesia Bagian Barat (Tabel 23).
Tabel 23. Daftar aksesi Bouea yang
ditemukan pada studi lapangan
No.
|
Jenis
|
Provinsi
|
Jumlah
|
1
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Sumatra
Utara (SU)
|
5
|
2
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Riau (RI)
|
1
|
3
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Bangka
Belitung (BL)
|
19
|
4
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kebun
Raya Bogor (KR)
|
5
|
5
|
B. macrophylla Griffit.
|
Ambon (AM)
|
14
|
6
|
B. macrophylla Griffit.
|
Banten (BA)
|
8
|
7
|
B. macrophylla Griffit.
|
Sumatra
Barat (BS)
|
5
|
8
|
B. macrophylla Griffit.
|
Bogor (BO)
|
13
|
9
|
B. macrophylla Griffit.
|
Jambi (JB)
|
2
|
10
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kalimantan
Barat (KB)
|
6
|
11
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kalimantan
Selatan (KS)
|
18
|
12
|
B. macrophylla Griffit.
|
Palembang (PLB)
|
2
|
13
|
B. macrophylla Griffit.
|
Lampung (LP)
|
1
|
14
|
B. macrophylla Griffit.
|
Bangka
Belitung (BL)
|
1
|
15
|
B. macrophylla Griffit.
|
Medan (MDN)
|
1
|
16
|
B. macrophylla Griffit.
|
Aceh (SN)
|
1
|
17
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kebun
Raya Bogor (KR)
|
3
|
Total
|
105
|
Distribusi dari B. macrophylla di Indonesia terdapat di wilayah provinsi Aceh, Sumatra
Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Banten, Jawa Barat, Bangka Belitung, Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Maluku. Distribusi dari B. oppositifolia terdapat di wilayah Sumatra
Utara, Bangka Belitung, Riau, dan Jawa Barat. Jumlah tertinggi terdapat pada
populasi Bangka Belitung, Ambon, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan, sedangkan
distribusi terluas terdapat di pulau Sumatra.
4.4.3. Analisis Hasil
a. Model distribusi dari B. macrophylla
Model Maximum
Entropy (MaxEnt) menghasilkan
peta distribusi spesies dimana nilai Area
Under the Curve (AUC) merepresentasikan kinerja model, kurva respon dan
tabel persentase menunjukkan bagaimana masing-masing variabel prediktor
berkontribusi pada model MaxEnt. Peta
yang dihasilkan adalah model prediksi kehadiran spesies pada suatu wilayah
berdasarkan kesesuaian variabel habitat. Model yang diprediksi berdasarkan
model MaxEnt pada wilayah kehadiran
sangat baik. Nilai AUC pada kurva Receiver
Operating Characteristic (ROC) menunjukkan nilai 0,974 dan 0,906 (Gambar
4.14).
Gambar 4.14. Kurva Receiver Operating Characterictic (ROC) dari model distribusi B. macrophylla
Gambar 4.15 menunjukkan tingkat kesalahan
pada daerah sampel dan daerah yang
diprediksi dengan menggunakan kurva ambang kumulatif. Tingkat kesalahan
dihitung berdasarkan data kehadiran sampel dan kehadiran daerah prediksi.
Tingkat kesalahan sampel harus dekat dengan tingkat kesalahan prediksi
berdasarkan defenisi ambang kumulatif.
Gambar 4.15. Kesesuaian data prediktif dengan data yang
digunakan dalam model distribusi B.
macrophylla
Gambar 4.15. menunjukkan bahwa kesalahan
prediksi dengan kesalahan sampel berada pada kurva yang berdekatan dan sebagain
besar di luar ambang kumulatif sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas data
yang digunakan dalam penelitian ini sangat baik. Kurva ini memverifikasi secara
signifikan bahwa sampel dan data model lebih baik daripada data acak (Philips, et al., 2006).
Gambar
4.16. Model Prediksi habitat B. macrophylla di Indonesia berdasarkan
analisis
model MaxEnt
Gambar 4.16 merupakan representasi dari
model MaxEnt untuk B. macrophylla. Titik
putih pada Gambar 4.16 menunjukkan daerah lokasi sampel sedangkan titik
berwarna ungu menunjukkan hasil model prediksi distribusi. Nilai model yang
mendekati 1 menunjukkan bahwa nilai probabilitas kehadiran sangat tinggi pada
daerah tersebut. Gambar 4.16 menunjukkan bahwa wilayah Jawa bagian barat dan
Kalimantan Selatan merupakan wilayah dengan nilai probabilitas kehadiran yang
sangat tinggi. Berdasarkan model distribusi hasil analisis MaxEnt menunjukkan bahwa B.
macrophylla tersebar luas di wilayah Pulau Sumatra dari Aceh hingga
Lampung. Sebaran yang cukup luas di pulau Sumatra terdapat di wilayah Sumatra
Selatan, Bangka Belitung, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Utara, dan Aceh.
Distribusi B. macrophylla di wilayah
Pulau Jawa berdasarkan hasil analisis Maxent
adalah wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebaran yang
cukup luas terdapat pada Banten dan Jawa Barat. Distribusi B. macrophylla di wilayah Pulau Kalimantan berdasarkan hasil
analisis MaxEnt adalah wilayah
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Sebaran terluas
terdapat pada wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
Tabel 24. Persentasi kontribusi relatif dari variabel pada
model MaxEnt
Variabel
|
Persentase Kontribusi
|
Permutasi Penting
|
Soil2
|
44,3
|
12,3
|
Bio3
|
16,6
|
2,3
|
Landcover2
|
7,9
|
1,3
|
Bio7
|
5,1
|
3,5
|
Dem
|
5
|
3
|
Prec8
|
4,5
|
0
|
Prec6
|
3,5
|
3,2
|
Aspect
|
2
|
0
|
Bio11
|
1,9
|
0,3
|
Prec5
|
1,9
|
5,8
|
Bio4
|
1,3
|
3,9
|
Slope2
|
1,2
|
1,1
|
Prec1
|
0,9
|
21,2
|
Bio15
|
0,7
|
3,9
|
Bio13
|
0,6
|
12,6
|
Bio9
|
0,6
|
0,8
|
Bio8
|
0,5
|
0,6
|
Prec3
|
0,4
|
9,9
|
Prec7
|
0,4
|
0
|
Prec11
|
0,4
|
0,5
|
Bio12
|
0,2
|
0
|
Bio1
|
0,2
|
13,6
|
Bio19
|
0,1
|
0,3
|
Prec12
|
0,1
|
0
|
Persentase kontribusi pada 14 variabel
yang memberikan pengaruh dalam analisis model MaxEnt disajikan pada Tabel 24. Tabel ini memberikan perkiraan
kontribusi relatif dari variabel lingkungan yang digunakan dalam model MaxEnt. Soil-2, illuvial humus podzol
(FAO, 2006), diidentifikasi sebagai variabel paling penting pada model
distribusi MaxEnt pada B. macrophylla. Bio3, iklim isotermal,
diidentifikasi sebagai variabel iklim yang paling mempengaruhi distirbusi B. macrophylla. Prec2, curah hujan di
bulan Februari menjadi faktor curah hujan yang paling mempengaruhi distribusi B. macrophylla. Uji Jacknife pada model MaxEnt seperti pada gambar 4.17 menunjukkan bahwa
jenis tanah alluvial humus podzol, iklim isotermal, landcover2, dan rentang suhu tahunan merupakan 4 faktor lingkungan
yang paling penting bagi distribusi B.
macrophylla.
Gambar 4.17. Hasil uji Jackknife
terhadap variabel yang paling berpengaruh terhadap model distribusi
b. Model distribusi
dari B. oppositifolia
Model yang diprediksi berdasarkan model MaxEnt pada wilayah kehadiran menunjukkan nilai yang sangat baik. Gambar 4.18
memperlihatkan bahwa Nilai AUC pada kurva Receiver
Operating Characteristic (ROC) berada pada angka 0,977 dan 0,906. Hal ini
menunjukkan bahwa peta hasil dianalisis memiliki nilai probabilitas yang sangat
tinggi. AUC merupakan salah satu metode untuk menentukan kurva ambang batas
(Liu et al., 2005). Menurut Swets
(1988), klasifikasi data menurut AUC memiliki peringkat yang baik dalam
menentukan kurva ambang batas.
Gambar 4.18.
Kurva Receiver Operating Characterictic (ROC)
dari model distribusi B. oppositifolia
Setelah menganalisis menggunakan AUC,
kinerja model kemudian dianalisis menggunakan extrinsic omission rate untuk menguji kesesuaian kesalahan data dengan kesalahan model prediksi seperti
terlihat pada gambar 4.19. Tingkat kesalahan data yang rendah tidak cukup untuk
membuat suatu model prediksi yang baik (Anderson et al., 2003). Sebaliknya, untuk membuat suatu model prediksi yang
baik diperlukan data yang proporsional antara data yang digunakan dengan data
pada model yang potensial terhadap distribusi spesies. Kurva ini memverifikasi
secara signifikan bahwa sampel dan data model lebih baik dari pada data acak
(Philips, et al., 2006).
Omission
on training sampel (garis biru) menunjukkan fraksi dari titik koordinat
yang berada di luar wilayah potensi model MaxEnt
dari nilai terendah ke nilai tertinggi berdasarkan ambang batas (cumulative threshold) prediksi potensi berdasarkan model MaxEnt. Training sampel merupakan
representasi dari analisis point kehadiran (presence
point). Fraction of background
predicted (garis merah) menunjukkan fraksi nilai dari wilayah penelitian
yang termasuk pada batas wilayah potensial berdasarkan model MaxEnt. Garis biru yang berada di bawah
garis hitam menunjukkan bahwa data yang digunakan sesuai dengan model yang
digunakan MaxEnt.
Gambar 4.19. Kesesuaian data prediktif
dengan data yang digunakan dalam model distribusi B. oppositifolia
Persentase kontribusi pada 25 variabel
yang paling berpengaruh dalam analisis model MaxEnt disajikan pada Tabel 25 yang memberikan perkiraan kontribusi
relatif dari variabel lingkungan yang digunakan dalam model distribusi MaxEnt pada B. oppositifolia. Variabel yang paling berpengaruh terhadap
distribusi B. oppositifolia adalah
Soil2, illuvial humus podzol (FAO, 2006) yang merupakan variabel yang paling
mempengaruhi analisis distribusi B.
oppositifolia (49,5). Landcover2,
merupakan variabel tutupan lahan yang paling mempengaruhi analisis MaxEnt B. oppositifolia (19,8). Bio2,
rata-rata suhu harian, merupakan variabel iklim yang paling mempengaruhi
(6,5%). Slope2, 0,2–0,5%,
merupakan variabel kemiringan lereng yang paling mempengaruhi distribusi B. oppositifolia (6,1%). Prec1, curah
hujan di bulan Januari, merupakan variabel curah hujan yang paling mempengaruhi
distribusi B. oppositifolia (2,1%).
Tabel 25. Persentasi kontribusi relatif dari variabel pada
model MaxEnt
Variable
|
Percent contribution
|
Permutation importance
|
Soil2
|
49.5
|
13
|
Landcover2
|
19.8
|
1.7
|
Bio2
|
6.5
|
3
|
Slope2
|
6.1
|
1.4
|
Bio19
|
4.1
|
0
|
Dem
|
2.7
|
15.3
|
Bio14
|
2.3
|
19.2
|
Prec1
|
2.1
|
17.6
|
Prec3
|
1.7
|
5.5
|
Prec8
|
1.6
|
0.8
|
Bio4
|
1.1
|
9.6
|
Prec5
|
0.6
|
2.5
|
Bio10
|
0.6
|
0.1
|
Bio18
|
0.3
|
0.9
|
Prec4
|
0.2
|
2.7
|
Bio15
|
0.2
|
4.7
|
Bio7
|
0.2
|
0
|
Prec9
|
0.2
|
1.1
|
Aspect
|
0.1
|
0.2
|
Prec2
|
0.1
|
0.3
|
Prec11
|
0
|
0.4
|
Uji
Jackknife seperti yang terlihat pada
Gambar 4.20 menunjukkan bahwa
variabel jenis tanah, tutupan lahan, iklim, dan kemiringan merupakan faktor
utama yang paling berpengaruh terhadap distribusi B. oppositifolia. Uji Jackknife
digunakan untuk mengidentifikasi kontribusi kovariat yang paling
berpengaruh pada model dengan menjalankan model dengan masing-masing kovariat
(Elith et al., 2011). Kovariat yang
memiliki kontribusi yang sangat tinggi dapat mengubah kontribusi kovariat
lainnya pada model (Phillips et al., 2006;
Baldwin, 2009).
Uji
Jackknife akan menentukan variabel
awal yang paling menentukan dalam pembentukan model. Warna biru
merepresentasikan keseluruhan AUC dari model yang dibuat menggunakan satu
variabel saja untuk menunjukkan bahwa setiap variabel memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap model dan juga menunjukkan pentingnya variabel tersebut terhadap
model yang dibentuk. Warna biru kehijauan merepresentasikan kinerja model
menggunakan keseluruhan variabel untuk menunjukkan bahwa ada terdapat korelasi
yang tinggi antar variabel di dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan panjang
batang warna biru kehijauan pada tingkat kinerja yang sama (Gambar 4.20).
Gambar 4.20. Hasil uji Jackknife
terhadap variabel yang paling berpengaruh terhadap model distribusi B. macrophylla.
Gambar 4.21 merupakan representasi dari
model MaxEnt untuk B. oppositifolia. Titik putih
menunjukkan daerah lokasi sampel sedangkan titik berwarna ungu menunjukkan
hasil model prediksi distribusi. Nilai model yang mendekati 1 (berwarna merah)
menunjukkan bahwa nilai probabilitas kehadiran sangat tinggi pada daerah
tersebut. Gambar 4.21 menunjukkan bahwa wilayah Bangka Belitung, Sumatra Utara,
Aceh, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat merupakan wilayah
dengan nilai probabilitas kehadiran yang sangat tinggi. Berdasarkan model
distribusi hasil analisis MaxEnt, B.
oppositifolia tersebar luas seluruh wilayah Pulau Sumatra. Sebaran yang
cukup luas di pulau sumatra terdapat di wilayah Sumatra Utara, Riau, Sumatra
Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung. Sebaran B. oppositifolia di pulau kalimantan
terdapat di hampir seluruh wilayah pulau Kalimantan. Sebaran yang luas terdapat
pada wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Barat. Sebaran B.
oppositifolia di pulau Jawa terdapat pada daerah Banten, Jawa Barat, dan
Jawa Tengah.
Gambar
4.21. Model Prediksi habitat B. oppositifolia di Indonesia
berdasarkan
kesesuaian
Pembuatan model distribusi MaxEnt didasarkan pada data variabel
lingkungan dengan resolusi 5-arc-minutes
seperti iklim (bio = bioclim) (www.worldclim.org), curah hujan (prec = precipitation) (www.worldclim.org), kemiringan lereng (slope) (www2.jpl.nasa.gov), jenis tanah
(soil) (www.isric.org),
tutupan lahan (landcover), arah
kemiringan lereng (aspect)
(srtm.csi.cgiar.org) dan ketinggian (dem = digital
elevation model) (www.worldclim.org).
Untuk menghubungkan antara distribusi dengan iklim, digunakan 19 variabel iklim
(Hijmans, et al., 2005), 12 variabel
curah hujan, 10 data kemiringan lereng, 8 data aspect dan 15 data jenis
tanah.
4.5. Pembahasan Umum
Bouea
atau yang lebih umum dikenal sebagai gandaria di Indonesia merupakan tumbuhan
asli kawasan Malesiana yang berkerabat dekat dengan mangga. Perbedaan mangga
dengan gandaria terletak pada beberapa ciri seperti duduk daun yang berhadapan
(opposite), warna kotiledon ungu, dan
bentuk buah bulat melonjong (aksesi dari Thailand berbentuk seperti mangga) pada
gandaria sedangkan pada mangga duduk daun berseling (alternate), kotiledon berwarna putih, dan bentuk buah pipih
membujur (Hou, 1975). Marga Bouea terdiri
3 jenis yaitu Bouea macrophylla dan Bouea oppositifolia yang
tersebar di kawasan Malesia dan Bouea
poilanei yang dilaporkan tumbuh di
Vietnam (Le & Hancock, 1999).
Di lokasi tumbuhnya B. macrophylla dan B.
oppositifolia ditemukan tumbuh pada ketinggian 5-350 meter alt di kawasan
tepi pantai dan dataran rendah (Rifai, 1991). Hanya satu koleksi dari Sibolangit
yang dilaporkan tumbuh pada ketinggian 500 m alt berdasarkan koleksi herbarium
di Herbarium Bogoriense. B. macrophylla
dilaporkan banyak ditemukan di Jawa Barat, Kalimantan dan Ambon. Namun hasil
penelusuran menyatakan bahwa B.
macrophylla juga ditemukan tumbuh di sepanjang pantai timur Sumatra dan ini
merupakan satu informasi yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Sementara itu
B. oppositifolia ditemukan di kawasan
Sumatra tengah mulai dari Sipiongot, Padang Lawas Utara, Padang Lawas hingga ke Taman Nasional Sultan Syarif Hasyim
II yang juga belum pernah dilaporkan sebelumnya dan selain Sumatra Tengah, B. oppositifolia juga ditemukan di pulau
Belitung. B. oppositifolia yang
ditemukan di Sumatra Tengah memiliki ciri bentuk seperti melinjo dengan warna
hijau pada saat muda dan hijau kekuningan jika matang, sementara yang ditemukan
di pulau Belitung memiliki ciri buah berwarna hijau ketika muda dan merah pada
saat matang dan rasanya asam. B.
oppositifolia yang berasal dari Belitung dan Lampung memiliki buah berwarna
merah. B. macrophylla yang ditemukan
di Ambon memiliki ciri buah yang berukuran lebih besar dan rasanya manis jika
dibandingkan dengan B. macrophylla dari
wilayah lainnya. Selain itu, B.
macrophylla yang ditemukan di Kalimantan Selatan juga memiliki rasa yang
manis tetapi ukuran buah sama seperti sampel dari wilayah lainnya.
Hasil analisis klaster berdasarkan penanda
morfologi menunjukkan bahwa variasi morfologi pada B. oppositifolia lebih besar dibandingkan dengan variasi morfologi
pada B. macrophylla. B. oppositifolia memiliki rentang
koefisien kemiripan antara 0,49-1,00 sedangkan B. macrophylla memiliki rentang koefisien kemiripan antara
0,77-1,00. B. oppositifolia pada
koefisien kemiripan 0,83 terbagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I terdiri dari
aksesi yang berasal dari Sumatra Utara dan Riau dengan ciri daun lonjong, buah
berwarna kuning dan kuning kehijauan, serta bau terpentin halus. Kelompok II
terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal Batang Sumani, Solok, Sumatra
Barat (KR5 dan KR6) dengan ciri tunas ketiak daun membulat, tangkai daun sangat
panjang, rasa buah manis, permukaan adaksial dan bawah daun mengkikap. Kelompok
III terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal pulau Belitung (KR2)
dan pulau Belitung dengan ciri tajuk pohon rimbun dan daun berbeda. Kelompok IV
terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal pulau Belitung (KR3) dan
pulau Belitung dengan ciri tajuk pohon sedang dan pertulangan daun rapat.
Kelompok V terdiri dari aksesi yang berasal dari kebun raya asal Lampung (KR1)
dengan ciri warna daun bawah dan adaksial berwarna hijau tua, permukaan daun
berbentuk cembung, bentuk daun Jorong,
dan tekstur permukaan daun halus. B.
macrophylla pada koefisien kemiripan yang sama dengan B. oppositifolia (0,83) hanya membentuk 1 kelompok. B. macrophylla pada koefisien 0,93
terbagi menjadi 7 kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi yang berasal dari
Ambon dengan ciri rasa buah manis dan ukuran buah besar. Kelompok II terdiri
dari aksesi yang berasal dari Banten, Bogor, Cibinong, Palembang, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Barat. Kelompok III terdiri dari aksesi yang berasal
dari Ambon (Ambon 3 dan Ambon 4), Belitung, Banten, Palembang, dan Lampung.
Kelompok IV terdiri dari aksesi yang berasal dari Jambi, Kalimantan Barat,
Kebun Raya Bogor (KR4). Kelompok V terdiri dari aksesi yang berasal dari Ambon
(Ambon 14) dan Batu Sangkar dengan ciri pohon medium dan tajuk sedang. Kelompok
VI terdiri dari aksesi yang berasal dari Lhoksukon dan Medan. Kelompok VII
terdiri dari aksesi yang berasal dari Kebun Raya Bogor asal Jambi (KR7) dan
Jawa Barat (KR8).
Hasil analisis klaster berdasarkan penanda
morfologi menunjukkan bahwa variasi morfologi B. oppositifolia lebih besar dibandingkan dengan variasi morfologi
pada B. macrophylla. Namun hasil
analisis menggunakan penanda ISSR menunjukkan bahwa variasi genetik pada B. macrophylla lebih besar dibandingkan
variasi genetik pada B. oppositifolia.
Berdasarkan analisis klaster menggunakan penanda ISSR, B macrphylla memiliki koefisien similaritas antara 0,33-0,83
sedangkan pada B. oppositifolia, koefisien
similaritas antara 0,68-0,99. Hal ini dapat dianalisis berdasarkan efektifitas
penanda pada analisis ISSR. Jumlah alel efekfif pada B. macrophylla tertinggi berasal dari primer PKBT12 (1,6092) dan
terendah berasal dari primer PKBT5 (1,2878) dengan rata-rata jumlah alel
efektif 1,4228 sedangkan pada B.
oppositifolia jumlah alel efektif tertinggi berasal dari primer PKBT12
(1,2484) dan terendah berasal dari PKBT5 (1,0345) dengan rata-rata jumlah alel
efektif 1,1587. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan yang digunakan
mampu menganalisis jumlah alel efektif pada B.
macrophylla lebih baik dari pada B.
oppositifolia. Menurut Yuan et al. (2007)
semakin dekat jumlah alel efektif dengan jumlah alel yang diamati maka
distribusi alel dalam suatu populasi semakin merata. Menurut Hartl & Clark
(1989), alel efektif memungkinkan kita untuk membandingkan jumlah dan
distribusi alel yang berbeda secara signifikan.
Nilai heterozigositas pada B. macrophylla tertinggi berasal dari
primer PKBT12 (0,3602) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,1952) dengan
rata-rata nilai heterozigositas 0,2611 sedangkan pada B. oppositifolia nilai heterozigositas tertinggi berasal dari
primer PKBT12 (0,2147) dan terendah berasal dari primer PKBT4 (0,0207) dengan
rata-rata nilai heterozigositas 0,1261. Hal ini menunjukkan bahwa primer yang
digunakan mampu menganalisis nilai heterozigositas pada pada B. macrophylla lebih baik dari pada B. oppositifolia. Nilai Polymorphic Information Content (PIC)
pada B. macrophylla tertinggi berasal
dari primer PKBT12 (0,933) dan terendah berasal dari primer PKBT5 (0,835)
dengan rata-rata nilai PIC 0,893 sedangkan nilai PIC pada B. oppositifolia tertinggi berasal dari primer PKBT12 (0,8405) dan
terendah berasal dari primer PKBT5 (0,4987) dengan rata-rata nilai PIC 0,7009.
Hal ini menunjukkan bahwa primer yang digunakan mampu menganalisis nilai PIC
pada B. macrophylla lebih baik dari
pada B. oppositifolia. PIC merupakan
indeks yang digunakan untuk mengukur penilaian dari nilai polimorfisme
(Botstein et al., 1980). Polimorfisme
dikatakan tinggi apabila nilai PIC => 0,5, sedangkan kategori sedang apabila
nilai PIC = 0,25 < PIC < 0,5, dan kategori rendah apabila nilai PIC =<
0,25.
Menurut Lewontin (1972), Shannon’s Information Index (SII) merupakan pengukur diversitas gen. Nilai
SII pada B. macrophylla tertinggi
berasal dari primer PKBT12 (0,5391) dan terendah berasal dari primer PKBT5
(0,3223) dengan nilai rata-rata SII 0,4072, sedangkan pada B. oppositifolia nilai tertinggi
berasal dari primer PKBT8 (0,3599) dan terendah berasal dari primer PKBT4
(0,0408) dengan nilai rata-rata SII 0,2103. Hal ini menunjukkan bahwa primer
yang digunakan mampu menganalisis nilai Shannon’s
Information Index lebih baik pada B.
macrophylla dari pada B.
oppositifolia..
Nilai heterozigositas pada seluruh
populasi B. macrophylla berdasarkan
penanda ISSR adalah 0,2219 sedangkan pada B.
oppositifolia adalah 0,1528. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat variasi
genetik yang cukup besar antar individu di dalam populasi B. oppositifolia. Nilai
heterozigositas pada sub populasi pada B.
macrophylla adalah 0,0941 sedangkan pada B. oppositifolia adalah 0,0869. Nilai koefisien diferensiasi
genetik pada populasi B. macrophylla adalah
0,5750 sedangkan pada B. oppositifolia adalah
0,4316. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien diferensiasi genetik pada populasi B. macrophylla lebih besar dari pada B. oppositiffolia. Nilai gen flow pada B. macrophylla adalah 0,3681 sedangkan pada oppositifolia adalah 0,6584. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
isolasi yang lebih besar pada B.
oppositifolia dari pada B.
macrophylla. Menurut Fishcer & Mathies (1988), isolasi geografis yang
lebih besar menyebabkan aliran gen semakin berkurang.
Berdasarkan Analysis of Molecular Variance (AMOVA), untuk melihat pengaruh
wilayah antar populasi dan dalam populasi yang berkontribusi pada keragaman
genetik, pada B. macrophylla keragaman
genetik yang disebabkan oleh dalam populasi adalah 86% sedangkan keragaman
genetik yang disebabkan oleh antar populasi adalah 14%. Hal ini menunjukkan
bahwa variasi yang muncul berasal dari dalam populasi itu sendiri dan nilai
AMOVA yang rendah untuk antar populasi menunjukkan bahwa wilayah sebaran dari B. macrophylla luas atau terfragmentasi
oleh wilayah geografis. Pada B.
oppositifolia, keragaman genetik yang disebabkan oleh dalam populasi adalah
40 % sedangkan keragaman genetik yang disebabkan oleh antar populasi adalah 60 %.
Hal ini menunjukkan bahwa variasi yang muncul lebih besar berasal dari variasi
antar populasi jika dibandingkan dengan dalam populasi itu sendiri. Nilai AMOVA
yang tinggi untuk variasi yang disebabkan oleh antar populasi menunjukkan bahwa
wilayah sebaran dari B. oppositifolia lebih
sempit atau pengaruh fragmentasi wilayah geografis yang rendah.
Hal ini diduga karena meskipun B. oppositifolia memiliki beberapa
aksesi, masing-masing aksesi tersebut terdistribusi di kawasan sempit dan
terbatas serta letaknya yang masih berada di daerah hutan. B. oppositifolia ditemukan di daerah Belitung, Sumatra Tengah, dan Kebun
Raya Bogor (asal Lampung dan Batang Sumani), sebaliknya meskipun aksesi B. macrophylla jumlahnya sedikit tetapi
tersebar dalam kawasan yang luas di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Ambon.
Sehingga adaptasi dengan kondisi geografisnya yang berbeda beda dan berlangsung
dalam waktu yang lama memungkinkan terjadinya aksesi aksesi baru yang hanya
terlacak dengan analisis molekuler. Campur tangan manusia juga turut berperan
dalam upaya menampilkan karakter-karakter yang menguntungkan dalam hal seleksi
tanaman. Manusia hanya membudidayakan tanaman dengan karakter unggul seperti
buah besar, rasa manis, warna menarik, umur genjah, dan lain-lain. Akibatnya
terjadi variasi-variasi baru di lokasi temuan yang disesuaikan dengan kondisi
geografis dan kondisi ekologi setempat.
Kondisi geografis memunculkan variasi
nilai AMOVA pada setiap anggota dari marga Bouea.
Kelompok yang agak spesifik seperti Ambon memiliki kondisi geografis yang tidak
jauh berbeda dibandingkan kondisi geografis lainnya. Akan tetapi ada catatan
lain di lapangan bahwa umumnya buah buahan yang di lokasi lain terasa asam,
maka yang ditemukan di kawasan Ambon memiliki rasa manis (Kalimantan dan
Sumatra rasanya asam, akan tetapi yang ditemukan di Ambon rasanya manis). Hal
ini memberikan satu masukan baru tentang keunikan kondisi tanah di Ambon dan
memerlukan satu kajian lain. Selain ambon aksesi asal Kota Baru Kalimantan
Selatan juga memiliki buah dengan rasa manis yang setelah dilakukan skrining
fitokimia ternyata mengandung steroid dan tidak mengandung triterpenoid.
Munculnya beberapa sifat unggul seperti
rasa buah manis dan ukuran buah yang melebihi rata rata seperti yang ada di
ambon dan buah manis yang ada di kota baru Kalimantan merupakan satu bentuk
interaksi antara tumbuhan itu sendiri dengan faktor faktor lingkungannya.
Campur tangan manusia dalam kondisi ini jelas terlihat mulai dari penanaman
atau distribusi tanaman ini dari tempat asal, proses penananam, pemupukan dan
berbagai faktor ekologi lainnya yang sudah disesuaikan dengan kondisi geografis
dimana manusia hidup. Umumnya B.
macrophylla ditemukan di kawasan pemukiman, dan kawasan terbuka dengan
cahaya matahari yang cukup, sehingga banyak tekanan tekanan lingkungan yang
berkurang dibandingkan ketika berada di habitat aslinya di kawasan hutan.
Akibatnya beberapa karakter yang diinginkan manusia seperti rasa manis, buah
besar, warna yang disukai diupayakan muncul dengan proses seleksi, sehingga budidaya
tanaman ini diarahkan kepada hanya yang memiliki sifat sifat unggul saja.
Akibatnya kondisi tanaman ini sekarang berbeda jauh dengan kerabat kerabatnya
yang lain di daerah asalnya.
Aksesi B.
macrophylla asal Batusangkar juga tercatat sebagai aksesi yang agak berbeda
dengan aksesi lainnya. Aksesi ini tumbuh hanya di kawasan terbatas di sekitar
istana Pagaruyung dan umumnya hanya dikenal oleh warga sekitar istana. Secara
geografis terletak di lembah yang diapit oleh beberapa perbukitan, ketinggian
lk. 30-50 m alt dan jauh dari kawasan pantai dimana umumnya B. macrophylla ditemukan. Habit tanaman
dan kondisi buah sama dengan kerabatnya yang lain, hanya saja daunnya mencapai
ukuran 15 x 50 cm. Keunikan aksesi Batusangkar ini diperkirakan merupakan
tanaman introduksi yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Pagaruyung yang bernuansa
agama Hindu. Hingga kini sisa sisa kebudayaan
tersebut masih ada. Diduga buahnya dijadikan sebagai bahan pelengkap sesajen
dalam kegiatan upacara ritual agama Hindu pada saat itu. Hal ini berkaitan dengan
armada Pamalayu dari kerajaan Singasari yang berupaya memperluas kekuasaan
Kartanegara hingga ke Swarna Dwipa (Sumatra) dengan membawa ajaran Hindu ke Sumatra.
Keberadaan Bouea di Batusangkar belum
pernah dilaporkan sebelumnya.
B.
oppositifolia berdasarkan hasil eksplorasi ditemukan tumbuh di Sumatra
tengah, Belitung dan Kebun Raya Bogor dengan warna buah yang bervariasi antara
hijau kekuningan hingga merah. Berdasarkan catatan dari Kebun Raya Bogor
koleksi B. oppositifolia yang ditanam
di Kebun Raya Bogor berasal dari Lampung (Kebun Raya Bogor-1), dari Batang
Sumani, Kerinci Seblat (Kebun Raya Bogor-5 dan Kebun Raya Bogor-6), asal
Belitung (Kebun Raya Bogor 2 dan Kebun Raya Bogor3). Koleksi asal Lampung dan
koleksi asal Batang Sumani sudah tidak ditemukan lagi, keran lokasi tumbuhnya
sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun berdasarkan catatatan dari
koleksi Herbarium, B. oppositifolia
berwarna merah juga ditemukan di Kalimantan dan dikenal dengan nama ramania
tembaga. Namun hasil eksplorasi ke lapangan tidak ditemukan lagi karena berubah
menjadi perkebunan kelapa sawit.
Perbedaan karakter morfologi pada B. oppositifolia dapat dilihat dari
morfologi daun, tunas ketiak daun, bentuk dan ukuran buah, warna buah dan
perawakan pohon. Koleksi asal Belitung
memiliki ciri ciri daunnya berbeda, berwarna hijau terang, daun berukuran
kecil, berbentuk membulat hingga lanset, ujung daun runcing hingga meruncing,
tunas ketiak daun berbentuk tombak, buah berbentuk oval dan berwarna hijau pada
saat muda dan merah pada saat matang, rasanya asam pada saat masih muda dan
sedikit manis setelah matang.
Koleksi asal Sumatra Tengah memiliki ciri
daun lanset, warna hijau terang, ujung daun runcing sampai meruncing, tunas
ketiak daun berbentuk tombak, buah berbentuk oval, berwarna hijau pada saat
muda dan hijau kekuningan pada saat matang, rasanya asam pada saat muda dan
sedikit manis setelah matang. Ditemukan di kawasan Kabupaten Labuhan Batu
Selatan, Sumatra Utara (Sipiongot), Padang Lawas Utara (Gunung Tua,
Simangambat, Hajoran), Padang Lawas (Sosa), Taman Nasional Sultan Syarif Hasyim
II. Koleksi asal Batang Sumani Kerinci Seblat memiliki ciri ciri daun lanset,
warna hijau terang, tangkai daun panjang, ujung daun runcing sampai meruncing,
buah berbentuk membulat, berwarna hijau pada saat muda dan kuning kabus pada
saat matang, rasanya asam pada saat muda dan manis setelah matang. Pada Kebun
Raya Bogor, hanya terdapat dua tanaman yang belum pernah dilaporkan.
Koleksi asal Lampung memiliki ciri ciri
daun lanset, warna hijau gelap, tangkai daun pendek, ujung daun runcing sampai
meruncing, buah berbentuk membujur telur, berwarna hijau pada saat muda dan
merah pada saat matang, rasanya asam pada saat muda dan sedikit manis setelah
matang. Hanya terdapat satu tanaman di Kebun Raya Bogor dan belum pernah
dilaporkan sebelumnya.
Beberapa catatan yang belum dilaporkan
sebelumnya adalah bahwa B. macrophylla
ditemukan hampir di sepanjang pantai timur sumatra mulai dari Lhokseumawe
hingga Lampung. Keberadaan gandaria asal Belitung yang dikenal dengan nama
urisan juga belum terlalu banyak dipublikasikan. Gandaria yang buahnya berwarna
kuning langsat asal Batang Sumani dan buah berwarna merah asal Lampung belum
pernah dilaporkan sebelumnya dan koleksinya hanya tinggal 2 pohon. Aksesi asal
Sumatra Tengah dan Belitung masih ditemukan dalam jumlah yang banyak di
habitatnya. Namun ekspansi perkebunan dan pemukiman terus membuat keberadaan
aksesi aksesi ini semakin berkurang dan terus mengalami pelangkaan, sementara
upaya penanamannya di Belitung dan Sumatra Tengah hampir tidak ada sama sekali.
Kalaupun ada itu berasal dari biji yang tumbuh alami dan liar.
Pengelompokan yang dilakukan dengan
penanda morfologi memperlihat kan bahwa aksesi aksesi pada B. oppositifolia lebih banyak dibandingkan dengan aksesi aksesi pada
B. macrophylla. Namun ketika
menggunakan penanda ISSR, terjadi beberapa hal yang agak bergeser, dimana
aksesi aksesi pada B. macrophylla
justru lebih banyak dibandingkan aksesi aksesi pada B. oppositifolia.
Dengan menggunakan sebanyak 7 primer ISSR
didapatkan data bahwa keragaman pada B.
macrophylla terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman pada B. oppositifolia. Hal ini diduga karena
meskipun B. oppositifolia memiliki
beberapa aksesi, masing masing aksesi tersebut terdistribusi di kawasan sempit
dan terbatas serta letaknya berjauhan satu sama lain. Ada di Belitung, Sumatra
Tengah, Kebun Raya Bogor (asal Lampung dan Batang Sumani). Sebaliknya meskipun
aksesi aksesi B. macrophylla
jumlahnya sedikit tetapi tersebar dalam kawasan yang luas di Sumatra, Jawa,
Kalimantan dan Ambon. Sehingga adaptasi dengan kondisi geografisnya yang
berbeda beda dan berlangsung dalam waktu yang lama memungkinkan terjadinya
aksesi aksesi baru yang hanya terlacak dengan analisis molekuler. Campur tangan
manusia juga turut berperan dalam upaya menampilkan karakter-karakter yang
menguntungkan dalam hal seleksi tanaman. Manusia hanya membudidayakan tanaman
dengan karakter unggul seperti buah besar, rasa manis, warna menarik, umur
genjah, dll. Akibatnya terjadi variasi variasi baru di lokasi temuan yang
disesuaikan dengan kondisi geografis dan kondisi ekologi setempat.
Dengan penanda ISSR B. oppositifolia mengelompok koefisien similaritas 0,56-0,99
sedangkan pada B. macrophylla justru
mengelompok pada koefisien similaritas 0,18-0,83. Hal ini menunjukkan bahwa
keragaman genetik berdasarkan penanda ISSR pada B. macrophylla lebih tinggi jika dibandingkan dengan B. oppositifolia. Data ini bertolak
belakang dengan data morfologi yang telah diperoleh. Hal yang memungkinkan
terjadinya kondisi ini adalah perkiraan bahwa primer yang digunakan memiliki tingkat
efektifitas yang tinggi pada B.
macrophylla akan tetapi tidak terlalu efektif jika digunakan pada B. oppositifolia, sehingga keragaman
pada B. macrophylla lebih banyak
terlacak dibandingkan keragaman pada B.
oppositifolia. Jumlah alel efektif untuk melihat variasi genetik dalam
populasi yang tercermin pada interaksi antar alel hasil dari analisis.
Nilai heterozigositas merupakan parameter
untuk mengukur keragaman genetik dalam populasi berdasarkan perhitungan
frekuensi gen pada masing masing lokus. Semakin tinggi nilai heterozigositas
maka semakin tinggi pula keragamannnya. Nilai heterozigositas B. oppositifolia lebih kecil jika
dibandingkan dengan B. macrophylla.
Koefisien diferensiasi genetik pada B.
macrophylla (0.5750) lebih besar jika dibandingkan dengan B. oppositifolia (0.43126). Nilai Gene
Flow pada B. macrophylla (0,3681)
lebih kecil jika dibandingkan dengan B.
oppositifolia (0.6584). Hal ini menunjukkan bahwa gene flow B. oppositifolia yang cenderung lebih
besar akan menurunkan nilai keragaman genetik sedangkan pada B. macrophylla menunjukkan nilai gen
flow yang rendah sehingga memiliki nilai keragaman yang tinggi.
Polymorphic
Information Content merupakan informasi penting dari suatu penanda pada
suatu sampel. Semakin tinggi Polymorphic
Information Content maka semakin tinggi keragamannya. Tujuh primer yang
digunakan pada analisis ISSR memberikan informasi yang lebih banyak pada B. macrophylla dibandingkan pada B. oppositifolia. Shanon Information Indeks menunjukkan perkiraan keragaman
berdasarkan ada tidaknya pita DNA pada setiap penanda molekuler pada setiap
sampel dapat digunakan untuk melihat differensiasi genetik pada setiap primer
yang digunakan. Amova digunakan untuk melihat apakah keragaman yang muncul
disebabkan dalam populasi atau dari antar populasi. Pada B. macrophylla nilai keragaman antar populasi 14% sedangkan
keragaman antar populasi 86%, sedangkan B.
oppositifolia nilai keragaman
antar populasi adalah 40% sedangkan keragaman dalam populasi adalah 60%.
Semakin rendah nilai keragaman antar populasi menunjukkan sampel yang digunakan
memiliki jarak geografis yang jauh sedangkan semakin tinggi nilai keragaman
antar populasi menunjukkan bahwa jarak geografis sampel yang digunakan lebih
dekat. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan sebaran B. oppositifolia yang terbatas pada
wilayah Sumatra Tengah dan Bangka Belitung, sedangkan pada B. macrophylla tersebar luas di wilayah Sumatra, Kalimantan, Jawa,
dan Ambon.
Untuk melakukan pelacakan tetua gandaria
dilakukan dengan menggunakan analisis cpDNA.
Hasil analisis mendapatkan pohon filogenetik yang dianalisis dengan metode Maximum Parsimoni dan Neighbour Joining, dimana hasil analisis
kedua metode tersebut menunjukkan hasil yang sama. Pohon filogenetik yang
dihasilkan adalah monofiletik artinya semua gandaria yang ada berasal dari satu
nenenk moyang yang sama. Pohon filogenetik mengelompok menjadi 3 kelompok
dimana B. oppositifolia pada bagian
atas, B. macrophylla di tengah dan Outgroup (Mangifera indica dan Anacardium occidentale) di bagian bawah. Jumlah data monomorfik dan polimorfic
pada kedua jenis ini berbeda. Pada B.
oppositifolia lebih banyak data monomorfik dibandingkan data yang
polimorfic. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa B. oppositifolia lebih tua dibandingkan B. macrophylla. Hal ini juga didukung adanya beberapa karakter
primitif. Beberapa karakter yang dimiliki oleh B. oppositifolia merupakan ciri ciri primitif seperti ukuran daun
kecil-kecil, rasa buah asam, daun berbeda lebih primitif dibandingkan data
seperti daun besar besar, buah manis, daun sama.
Data dendogram ini juga didukung oleh
kondisi geografis dan kondisi ekologi dan kondisi botani lainnya. Habitat
tempat tumbuh. B. oppositifolia
umumnya tumbuh dikawasan hutan basah dan jauh dari pantai (Lampung, Batang
Sumani, Sumatra Tengah, Belitung sebuah kawasan yang mestinya ada di ketinggian
2000 m tetapi justru ada pada kawasan kurang dari 300 m alt). Sedangkan B. macrophylla umum ditemukan di kawasan
tepi pantai atau tidak terlalu jauh dari pantai kecuali di Batu Sangkar dan
satu spesies yang ada di Belitung yang diperkirakan introduksi manusia karena
hanya ditemukan satu koleksi dari sekian banyak koleksi asal Belitung. Kawasan
pantai Timur Sumatra merupakan kawasan muda yang tanahnya juga sedimentasi yang
diperkirakan ada sekitar 200-300 tahun yang lalu. Berbeda dengan B. oppositifolia yang kawasannya
diperkirakan jauh lebih tua dibandingkan kawasan sedimentasi.
Pergeseran lempeng batuan bumi juga
diperkirakan memberikan peran dalam persebaran B. oppositifolia. Sumatra Tengah
merupakan satu kawasan terjadinya pertemuan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia.
Pada pertemuan lempeng ini ditemukan B.
oppositifolia aksesi Sumatra Tengah. Selain itu posisinya yang jauh dari tepi
laut dan berada di kawasan hutan atau tepian hutan juga memberikan Gambaran
lebih tua dibandingkan jika berada pada kawasan sedimentasi atau alluvial yang
muncul setelahnya. Aksesi B.
oppositifolia yang lain yang berasal dari Belitung juga ditemukan pada
kawasan hutan meranggas yang diperkirakan berdekatan dengan ekologi Kalimantan.
Di pulau Belitung, gandaria ditemukan tumbuh pada kawasan hutan dengan kondisi
tanah PMK (Podzolik Merah Kuning). Diperkirakan pulau Belitung pernah bersatu
dengan Kalimantan sebelum zaman es berakhir, sehingga diduga B. oppositifolia asal Belitung merupakan
aksesi yang lebih tua dibandingkan B.
macrophylla yang umumnya ditemukan pada kawasan dataran rendah tepi pantai.
Kondisi berbeda ditemukan di kawasan Ambon
yang memiliki struktur tanah jenis latosol, sebuah kondisi yang tidak umum bagi pertumbuhan B. macrophylla. Diperkirakan B. macrophylla yang ada di Ambon
diintroduksi dari kawasan lain di Malesia Barat. Melihat persebaran B. macrophylla dan B. oppositifolia yang ditemukan di Indonesia, maka diperkirakan kawasan
Malesia Barat merupakan kawasan distribusi awal dari B. macrophylla dan B.
oppositifolia.
Berdasarkan morfologi buah dan biji yang
dimilikinya maka dipastikan bahwa yang berperan besar dalam penyebaran tanaman
ini berasal dari hewan menyusui (Tupai, Monyet, Kelelawar). Jika tanaman ini
ada di Malesia Timur, maka perkiraan yang paling mungkin adalah disebarkan oleh
manusia. Persebaran bisa juga lewat jalur laut atau jalur perdagangan yang
memang sudah ada sejak zaman Sriwidjaja di abad ke VII atau Kerajaan Majapahit
di abad ke XII, atau mungkin juga oleh pedagang pedagang Portugis atau Belanda
yang sudah berada di Indonesia sejak abad ke XV (500 tahun yang lalu). Data
pendukung lain adalah bahwa berdasarkan koleksi Herbarium Bogoriense tidak
satupun ditemukan dari B. macrophylla
dan B. oppositifolia yang bersumber
dari wilayah Malesia Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar