BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa
lokasi seperti (1) Pengambilan sampel dilakukan di beberapa tempat di pulau Sumatra,
Jawa, Kalimantan dan Maluku, (2) Pengamatan keanekaragaman morfologi dilakukan
di Herbarium Bogoriense, Kebun Raya Bogor, dan Laboratorium Biologi FMIPA
Unimed, (3) Pengamatan data molekuler dilakukan di laboratorium PKHT IPB Bogor
dan Laboratorium Biologi Molekuler FMIPA UNIMED Medan, dan (4) Pengamatan data
data spasial distribusi dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed.
Waktu penelitian dimulai sejak Tahun 2012
hingga Januari 2016 terhitung sejak dilakukannya eksplorasi koleksi gandaria di
beberapa wilayah Indonesia, analisis morfologi, analisis molekuler menggunakan
penanda ISSR dan cpDNA sekuen trnL-F intergenic spacer, hingga
terselesaikannya analisis data spasial distribusi.
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh
gandaria yang ditemukan di kawasan Indonesia, baik koleksi Herbarium maupun
koleksi segar. Sampel yang diamati berdasarkan survey lapangan adalah sebanyak
75 aksesi B. macrophylla dan 30
aksesi B. oppositifolia sedangkan
pengamatan berdasarkan herbarium sebanyak 29 aksesi B. macrophylla dan 30 aksesi B.
oppositifolia.
3.3. Bahan Penelitian
3.3.1. Pengamatan Keanekaragaman Morfologi marga
Bouea di Indonesia
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sampel segar B. macrophylla (75
aksesi) dan B. oppositifolia (30
aksesi) (Tabel 1). Sampel dikumpulkan dari seluruh Indonesia meliputi Aceh, Sumatra
Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Ambon dan Banten (Gambar 3.1).
Bahan yang diperoleh sebagian besar tumbuh liar dan hanya sebagian kecil yang
dengan sengaja ditanam.
Tabel 1. Sampel Bouea dari
berbagai wilayah di Indonesia
No.
|
Jenis
|
Provinsi
|
Jumlah
|
1
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Sumatra Utara
|
5
|
2
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Riau
|
1
|
3
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kep. Bangka
Belitung (BL)
|
19
|
4
|
B. oppositifolia (Roxb.) Adelb.
|
Kebun Raya Bogor (KR)
|
5
|
5
|
B. macrophylla Griffit.
|
Ambon (AM)
|
14
|
6
|
B. macrophylla Griffit.
|
Banten (BA)
|
8
|
7
|
B. macrophylla Griffit.
|
Sumatra Barat (BS)
|
5
|
8
|
B. macrophylla Griffit.
|
Bogor (BO)
|
13
|
9
|
B. macrophylla Griffit.
|
Jambi (JB)
|
2
|
10
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kalimantan Barat (KB)
|
6
|
11
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kalimantan Selatan (KS)
|
18
|
12
|
B. macrophylla Griffit.
|
Palembang (PLB)
|
2
|
13
|
B. macrophylla Griffit.
|
Lampung (LP)
|
1
|
14
|
B. macrophylla Griffit.
|
Bangka Belitung (BL)
|
1
|
15
|
B. macrophylla Griffit.
|
Medan (MDN)
|
1
|
16
|
B. macrophylla Griffit.
|
Aceh (SN)
|
1
|
17
|
B. macrophylla Griffit.
|
Kebun Raya Bogor (KRB)
|
3
|
Total
|
105
|
Gambar 3.1 . Wilayah
pengambilan sampel berdasarkan studi lapangan dan herbarium
3.3.2.
Pengamatan Keanekaragaman Molekuler (ISSR) Gandaria Indonesia
Sampel segar B.
oppositifolia diperoleh dari Sumatra Utara, Riau, Bangka Belitung, dan
Kebun Raya Bogor yang memiliki B.
oppositifolia yang berasal dari Lampung, Bangka Belitung, dan Sumatra
Barat. Sampel segar B. macrophylla diperoleh
dari Ambon, Banten, Sumatra Barat, Bogor, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kebun Raya Bogor, Palembang, Lampung, Bangka Belitung, Medan, dan Aceh
(Tabel 1). Sampel segar yang digunakan dalam pengamatan menggunakan penanda
molekuler ISSR adalah sebanyak 75 aksesi B.
macrophylla dan 30 aksesi B.
oppositifolia sama dengan sampel yang digunakan dalam variasi morfologi.
3.3.3.
Pengamatan Keanekaragaman Molekuler (cpDNA)
Gandaria Indonesia
Sampel B.
macrophylla (6 aksesi) dan B.
oppositifolia (7 aksesi) diperoleh dari berbagai wilayah di Indonesia yang
mewakili 7 wilayah yang dianalisis pada penelitian ini yaitu Ambon, Banten, Aceh, Sumatra Barat,
Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatra Utara, dan ditambah dari aksesi
Kebun Raya Bogor. Outgroup yang digunakan
dalam pengamatan menggunakan cpDNA
sekuen trnL-F intergenic spacer merupakan
kerabat dekat dari genus Bouea yaitu Mangifera indica dan Anacardium occidentale yang diperoleh
dari Kebun Raya Bogor. Aksesi Bouea yang digunakan dalam analisis
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sampel Bouea
dan outgroup yang digunakan untuk
analisis kekerabatan
No
|
Asal
Aksesi
|
Kode
|
Jenis Bouea
|
Jumlah
|
|
1.
|
Aceh
|
SN
|
B. macrophylla
|
1
|
|
2.
|
Sumatra
Barat
|
BS4
|
B. macrophylla
|
1
|
|
3.
|
Kalimantan
Barat
|
KB5
|
B. macrophylla
|
1
|
|
4.
|
Ambon
|
AM1
|
B. macrophylla
|
1
|
|
5.
|
Banten
|
BA5
|
B. macrophylla
|
1
|
|
6.
|
Kebun
Raya Bogor
|
KR4
|
B. macrophylla
|
1
|
|
7.
|
Sumatra
Utara
|
GT, SP
|
B. oppositifolia
|
2
|
|
8.
|
Bangka
Belitung
|
BL12
|
B. oppositifolia
|
1
|
|
9.
|
Kebun
Raya Bogor
|
KR1, 2, 3, 5
|
B. oppositifolia
|
4
|
|
10.
|
Kebun
Raya Bogor
|
MI
|
M. indica
|
1
|
|
11.
|
Kebun
Raya Bogor
|
AO
|
A. occidentale
|
1
|
|
|
Total
|
15
|
|||
3.3.4. Pengamatan Distribusi Spasial Gandaria Indonesia
Data ekologi dan geografis dikumpulkan dari
30 lembar spesimen herbarium B.
oppositifolia dan 29 lembar
spesimen herbarium B. macrophylla. Pengamatan
spesimen herbarium dilakukan di Herbarium Bogoriense, Center of Biology, Indonesia
Institute of Sciences (LIPI), Cibinong, Indonesia dengan mengamati seluruh
spesimen herbarium genus Bouea. Data tersebut kemudian digabungkan dengan
informasi yang diperoleh dari studi lapangan. Data koordinat pada studi lapangan
di seluruh Indonesia menggunakan alat berupa GPS (GPS-Garmine Etrex 30). Studi
lapangan ini dilakukan di Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra
Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Barat,
Maluku, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Selatan. Jumlah
titik koordinat yang ditemukan pada studi lapangan adalah 75 titik B. macrophylla dan 30 titik B. oppositifolia.
Data
ekologis yang digunakan pada analisis spasial dalam menentukan pemodelan
distribusi sesuai dengan kesesuaian habitat diperoleh dari berbagai sumber
seperti yang tertera pada Tabel 3:
Tabel 3. Sumber data
ekologis dalam analisis spasial
Variabel
Ekologis
|
Minimum Resolusi
|
Sumber
|
Kemiringan lahan (slope)
|
1 km
|
www2.jpl.nasa.gov/srtm/dataprod.htm
|
Tutupan lahan (land cover)
|
30 m
|
glcf.umiacs.umd.edu/data/
|
Iklim (climate)
|
1 km
|
www.worldclim.org
|
Jenis tanah (soil type)
|
10 km
|
www.daac.ornl.gov/SOILS/
soils_collections.html
|
Curah hujan (rainfall)
|
1 km
|
www.worldclim.org
|
Ketinggian (elevation)
|
90 m
|
http://srtm.csi.cgiar.org/
|
Suhu (temperature)
|
1 km
|
|
Musim (seasonality)
|
1 km
|
www.worldclim.org
|
Kelembaban relatif
|
1 km
|
www.worldclim.org
|
Aspect
|
1 km
|
http://srtm.csi.cgiar.org/
|
Tekstur Tanah
|
10 km
|
www.fao.org/AG/agl/agll/prtsoil.stm
|
pH tanah
|
10 km
|
www.fao.org/AG/agl/agll/prtsoil.stm
|
3.4.
Metode Penelitian
Langkah
langkah penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data-data hasil penelitian
dilakukan berurutan seperti tertera pada uraian berikut :
3.4.1.
Metode Penelitian Keanekaragaman Morfologi
Pengamatan morfologi untuk dapat menetapkan keberadaan
jenis di bawah marga Bouea mengacu
pada kriteria yang digunakan oleh Rifai (1976) dan Vogel (1987). Beberapa ciri morfologi
digunakan dalam penyusunan dendogram untuk mendapatkan pengelompokan aksesi Bouea hasil koleksi. Dokumentasi
dilakukan dengan menggunakan kamera digital. Pengelompokan disusun berdasarkan
sifat ciri morfologi terutama ciri diagnostik buah dan daun. Untuk melakukan
pengamatan keanekaragaman morfologi dilakukan pengamatan terhadap bagian bagian
seperti yang tertera pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Karakter morfologi yang digunakan dalam penelitian ini
No
|
Karakter
Morfologi
|
Sub Karakter
|
Jumlah Karakter
|
1
|
Bentuk Pohon
|
Dropping,Spreading
|
2
|
2
|
Kerapatan Tajuk
|
Rapat, Bercelah
|
2
|
3
|
Permukaan batang muda
|
Berbulu, tidak berbulu
|
2
|
4
|
Bentuk daun
|
Jorong, bulat telur sungsang, lonjong & bulat telur sungsang, jorong & bulat telur
sungsang, lonjong, jorong memanjang
|
6
|
5
|
Letak Daun
|
Berhadapan, tersebar
|
2
|
6
|
Panjang daun
|
Sangat panjang, panjang, sedang, pendek
|
4
|
7
|
Lebar daun
|
Sangat lebar, lebar, sempit
|
3
|
8
|
Ujung Daun
|
Meruncing, meruncing dan tumpul, tumpul, membelah
|
4
|
9
|
Pangkal Daun
|
Runcing, runcing dan tumpul, tumpul
|
3
|
10
|
Ukuran Ujung Daun
|
Panjang, pendek, tidak memiliki ujung daun
|
3
|
11
|
Warna Permukaan Atas Daun
|
Hijau tua, hijau
muda
|
2
|
12
|
Warna Permukaan Bawah Daun
|
Hijau tua, hijau
muda
|
2
|
13
|
Permukaan Atas Daun
|
Mengkilap, kusam
|
2
|
14
|
Permukaan Bawah
Daun
|
Mengkilap, kusam
|
2
|
Lanjutan Tabel 4.
No
|
Karakter
Morfologi
|
Sub Karakter
|
Jumlah Karanter
|
15
|
Tekstur Permukaan Daun
|
Halus, Kasar
|
2
|
16
|
Bentuk Permukaan Daun
|
Daun datar, cembung, lengkung
|
3
|
17
|
Bentuk Tangkai Daun
|
Pipih, bulat, persegi
|
3
|
18
|
Ukuran Tangkai
Daun
|
Sangat panjang, panjang, pendek
|
3
|
19
|
Bentuk Tunas Muda
|
Runcing, bulat
|
2
|
20
|
Permukaan Tunas Muda
|
Berbulu, licin
|
2
|
21
|
Jumlah Tulang Sekunder Daun
|
Banyak, sedikit
|
2
|
22
|
Batu Terpentin Pada Daun
|
Tidak Berbau, Berbau, Sangat Berbau
|
3
|
23
|
Jenis Daun di Setiap Pohon
|
Sama, Berbeda
|
2
|
24
|
Tipe Bunga
|
Ujung, Ketiak Daun
|
2
|
25
|
Warna buah
|
Merah, Kuning
|
2
|
26
|
Bentuk buah
|
Bulat lonjong, bulat, lonjong, lonceng
|
4
|
27
|
Ukuran buah
|
Kecil, besar, sangat besar
|
3
|
28
|
Warna daging buah
|
Merah, kuning
|
2
|
29
|
Rasa buah
|
Manis, asam manis, asam sepat
|
3
|
30
|
Warna Biji
|
Ungu, putih
|
2
|
31
|
Tipe Buah
|
Asli, semu
|
2
|
Total
|
81
|
Data
morfologi hasil pengamatan terhadap spesimen herbarium didata dan dianalisis
kesamaan dan perbedaan untuk menentukan kelompoknya. Hasil pengamatan data
spesimen gandaria dari semua wilayah penelitian didata dan disusun dalam satu
bentuk matriks untuk kemudian dianalisis kesamaan dan perbedaan guna menentukan
kelompoknya menggunakan analisis klaster.
3.4.2.
Metode Penelitian Keanekaragaman Molekuler dengan Penanda ISSR
dan Analisis Kekerabatan Menggunakan
Penanda cpDNA sekuen trnL-F
intergenic spacer
a. Isolasi DNA
Analisis molekuler dilakukan dengan menggunakan
sampel segar daun gandaria yang diperoleh dari studi lapangan di seluruh
Indonesia. Isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode Doyle &
Doyle (1987). Sekitar 0.15 mg
daun digerus pada mortar yang diberi pasir kuarsa dan 0.6-0.8 ml buffer ekstraksi (10% CTAB;
0.5 M EDTA (pH 8.0); 1 M Tris-HCl (pH 8.0), 5 M NaCl; 1% b-mercapto
ethanol) dan kemudian divorteks agar homogen. Campuran selanjutnya diinkubasi
di dalam waterbath pada suhu 65oC selama 1 jam. Pemurnian DNA dilakukan
dengan penambahan 0.6-0.7 ml buffer purifikasi/buffer CIA
(Chloroform : Isoamil Alkohol = 24:1), dan pemisahan fraksi di dalam campuran
dilakukan dengan sentrifugasi 11000 rpm
selama 10 menit. Setelah itu fase cair (supernatan) yang diperoleh dipindahkan
ketabung mikrosteril ukuran 1000 µl yang baru. Jika masih terdapat residu, ini dapat
diulang 2-3 kali tergantung kualitas DNA yang dihasilkan. Selanjutnya ditambah
dengan 500-600 µl 2-propanol dingin, diinkubasi pada freezer selama 1 malam.
Fase cair dibuang dan fase padat/pelet dikeringkan anginkan. Selanjutnya pelet
dilarutkan dalam 50 - 100 µl TE (1 M Tris-HCl pH 8.0; 0.5 M EDTA pH 8.0; dan aquades).
b.
Amplifikasi
DNA dengan penanda ISSR
Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan 7 primer
ISSR (Tabel 5) yang telah melewati uji pendahuluan berupa pemilihan primer
dengan tingkat pita polimorfik yang tinggi.
Volume reaksi PCR adalah 25
μl terdiri dari 2 μl (20 ng) DNA genom, 1 μl masing-masing primer reverse dan forward (10 pmole), 12,5 μl
Taq polymerase (KAPA2GTM
Fast ReadyMix (2x) with Loading Dye), serta 9.5 μl ddH2O (aquabidest).
Tabel 5. Primer yang akan
digunakan untuk analisis ISSR
No
|
Nama Primer
|
Sekuen
|
Sekuen
|
Tm
(oC)
|
1
|
PKBT3
|
(AG)8T
|
AGAGAGAGAGAGAGAGT
|
55
|
2
|
PKBT4
|
(AG)8AA
|
AGAGAGAGAGAGAGAGAA
|
55
|
3
|
PKBT5
|
(AG)8TA
|
AGAGAGAGAGAGAGAGTA
|
55
|
4
|
PKBT7
|
(GA)9A
|
GAGAGAGAGAGAGAGAGAA
|
55
|
5
|
PKBT9
|
(GA)9T
|
GAGAGAGAGAGAGAGAGAT
|
55
|
6
|
PKBT10
|
(GT)9A
|
GTGTGTGTGTGTGTGTGTA
|
55
|
7
|
PKBT12
|
(GT)9T
|
GTGTGTGTGTGTGTGTGTT
|
55
|
(Sumber : Tomar, et.al 2011)
Program PCR untuk ISSR adalah :
(1) denaturasi awal 97oC
selama 4 menit (1 siklus); (2)
PCR yang
terdiri dari denaturasi 97oC
selama satu menit, annealing55oC
selama satu menit, dan 72oC
selama 2 menit (39 siklus); dan (3)
perpanjangan akhir 72oC selama 4 menit (1 siklus) kemudian (4)
pendinginan pada 4oC. Produk PCR hasil amplifikasi divisualisasikan
dengan elektroforesis dengan menggunakan 1 % agarose gel pada TBE buffer
dan diwarnai dengan 4 µl SYBR® Safe DNA Gel Stain.
Sebanyak 7 µl produk PCR
ditambahkan dengan Loading dye 1 µl di running bersama dengan marker 100 bp DNA Ladder menggunakan elektroforesis pada tegangan 100 Volt selama 45
Menit. Visualisasi pita yang muncul dilakukan dengan menggunakan Gel
Documentation yang dilengkapi dengan sinar UV. Gel yang muncul kemudian di scoring menggunakan program Gel Pro Analyzer dan pembuatan dendogram
serta analisis jarak genetik menggunakan NTSys PC versi 2.02 dan POPGENE versi
1.32.
c. Amplifikasi dan visualisasi penanda
cpDNA sekuen trnL-F intergenic spacer
Fragmen DNA intergenic spacer trnL-F diamplifikasi
dengan pasangan primer cpDNA forward 5’-GGTTCAAGTCCCTCTATCCC-3’ dan cpDNA reverse 5’-ATTTGAACTGGTGACACGAG-3’
(Small et al., 2005) dengan total volume reaksi 25 µl (2,5 µl DNA template; 2,5 µl primer forward; 2,5 primer reverse; 5µl distilled water,
12,5 µl PCR mix (FastStart PCR Master Mic Roche). Amplifikasi daerah DNA trnL-F
intergenic spacer menggunakan mesin PCR Thermalcycler
(Qiagen) dengan kondisi pre-denaturasi
selama 5 menit pada suhu 970C diikuti 40 siklus dengan kondisi
reaksi denaturasi pada suhu 940C
selama 5 menit, annealing pada suhu
520C, dan extension pada
suhu 72 0C selama 1 menit, kemudian proses PCR akhiri dengan post-extension pada suhu 72 0C
selama 5 menit. Produk PCR divisualisasi menggunakan gel agarose 1% (1 gram
agarose ditambah 100 ml buffer TBE) ditambah dengan 4 µl SYBR ® Safe DNA Gel
Stain. sebanyak 6 µl produk PCR ditambah dengan 1 µl loading dye di running bersama
marker 100 bp DNA ladder menggunakan
mesin elektroforesis dengan fase gerak berupa buffer TBE 1X pada tegangan 100
volt selama 45 menit. Visualisasi pita yang muncul menggunakan gel documentation. Produk PCR dengan
pita yang terlihat selanjutnya akan dikirim ke 1st Base DNA Sequencing Service untuk di
sekuensing.
3.4.3.
Metode Penelitian Distribusi Spasial
a. Input data dan persiapan data
Input data dan persiapan data merupakan
tahap awal bekerja menggunakan ArcGIS 10.3. Pada tahap ini data berupa titik
koordinat yang dihasilkan dari GPS ketika melakukan pengamatan lapangan diubah ke dalam bentuk data yang di dukung
oleh ArcGIS 10.3 sehigga data dapat dianalisis. Tahap ini merupakan tahapan
penting untuk mengubah data koordinat ke dalam bentuk shapefile (*.shp).
1)
Mempersiapkan
data menggunakan program Microsoft Excel (versi
2007)
§
Buka
program Excel dan buat lembar kerja
baru
§
Masukkan
data pada setiap kolom
§
Data
korrdinat yang digunakan harus dalam format decimal
degree (DD). Jika data masih dalam format degree, minutes, and seconds (DMS), maka data harus dikonversi ke
format DD dengan rumus (DD=degree) +
(Minutes/60) + (seconds/3600).
§
Masukkan
data format DD ke dalam lembar kerja Excel
pada kolom yang berbeda untuk data longitude
dan latitude serta kolom ID.
§
Simpan
data pada format Excel yang telah
dibuat.
§
Lembar
kerja Excel tidak boleh memiliki
baris yang kosong, baris pertama secara otomatis terbaca sebagai field name dan data koordinat harus
dalam format angka (tidak tertulis “m” untuk meter dan sebagainya).
§
Karena
dalam analisis juga menggunakan format comma
separated value (.csv) maka data yang telah di tulis ke dalam excel (.xlsx)
kemudian di convert ke dalam format comma
separated value (.csv).
§
Konversi
file excel tersebut dilakukan dengan cara melakukan Save As. Sebuah jendela akan muncul, pada bagian Save As Type, pilih CSV (Comma
delimitated) (*.csv), lalu klik Save
2)
Impor
data Excel ke dalam program ArcGIS
10.3
§
Klik
menu “File” dan selanjutnya pilih “Add Data” dan “Add XY Data”. Pada jendela
“Add XY Data” klik tombol “Browse” pada pilihan “Choose a table from the map or
browse for another table”.
§
Pilih
data Excel yang telah dibuat
sebelumnya kemudian pilih “Sheet1$” yang menandakan bahwa data tersebut berada
di Sheet 1 pada data Excel yang telah
dibuat sebelumnya.
§
Memastikan
bahwa “X field” berisi data longitude
dan “Y field” berisi data latitude
lalu pilih “OK”.
§
Data
yang dihasilkan sekarang masih temporer. Untuk mengubah ke dalam bentuk shapefile dilakukan dengan cara klik
kanan pada layer data koordinat pada “Table of Content” lalu pilih “Data”
selanjutnya “Export Data”.
§
Pilih
“Export: All features” kemudian “Output Class Featureset” dan simpan data
dengan format shapefile.
§
Setelah
itu, hapus data Excel pada “Table of
Content” dengan cara klik kanan data lalu pilih “Remove”. Selanjutnya masukkan
data dengan format shapefile yang
sebelumnya telah dibuat.
§
Data
dengan format shapefile dapat
digunakan.
3.5.
Analisis Data
3.5.1. Analisis Data Keanekaragaman Morfologi
Data
morfologi hasil pengamatan terhadap spesimen herbarium didata dan dianalisis
kesamaan dan perbedaan untuk menentukan kelompoknya. Hasil pengamatan data
spesimen gandaria dari semua wilayah penelitian didata dan disusun dalam satu
bentuk matriks untuk kemudian dianalisis kesamaan dan perbedaan guna menentukan
kelompoknya. Pengelompokan disusun berdasarkan 31 karakter morfologi dan 81 sub-karakter
morfologi yang dianalisis.
Untuk menganalisis pengelompokan antar aksesi dilakukan
dengan analisis similaritas menggunakan program NTSYS versi 2.02 pengelompokan
SAHN dengan metode UPGMA (Unweighted Pair
Group Method With Arithmatic Average) dengan menghitung koefisien kemiripan
dan menentukan klaster setiap aksesi yang dianalisis. Hasil klaster kemudian
dikonfirmasi menggunakan Plot 2D principal
component analysis.
3.5.2. Analisis Data
Keanekaragaman data Molekuler ISSR
Pencirian dilakukan
berdasarkan pengamatan pita
DNA pada setiap
aksesi. Setiap pita merupakan fragmen DNA yang diukur menggunakan 100-1500
bp ladder. Pengelompokan
disusun berdasarkan ciri
morfologi dan fragmen
DNA yang dapat diamplifikasi
pada tiap aksesi.
Sinonim, homonim dan
hubungan kekerabatan antar aksesi diketahui dari analisis similaritas
menggunakan program NTSys PC versi
2.02. Kemiripan genetika
gandaria (Bouea) berdasarkan penanda ISSR dianalisis menggunakan
pengelompokan (SAHN clustering) dengan metode UPGMA dan hasil pengelompokannya ditampilkan
dalam bentuk dendrogram.
Hasil dendogram akan di review kembali menggunakan Principal Component Analysis (PCA) yang akan menunjukkan
pengelompokan data berdasarkan kesamaan karakter. Berdasarkan ciri
morfologi dan ada
atau tidaknya pita
DNA hasil amplifikasi menggunakan
7 primer ISSR dibuat
matriks rata-rata kemiripan. Individu-individu yang
memiliki kemiripan genetika
berdekatan akan mengelompok bersama-sama atau berdekatan. Makin
besar ketidakmiripannya,
maka pengelompokan nya akan
makin jauh. Pola
pengelompokan individu
berdasarkan matriks kemiripan
genetika tercermin dalam
bentuk dendrogram, dengan jarak kemiripan
genetik 0.00 (0 %) sampai dengan 1.00 (100 %). Perhitungan rata-rata jumlah
Alel, rata-rata jumlah efektif alel, diversitas genetik, indeks informasi
Shannon, jumlah lokus polimorfik, dan persentase lokus polimorfik dianalisis
menggunakan program POPGENE versi 1.32. Analysis
of Molecular Variance (AMOVA) digunakan untuk mengukur keragaman genetik di
dalam populasi dan diluar populasi dianalisis menggunakan GenAlex 6.5.
3.5.3. Analisis Data cpDNA
Data hasil sequencing
sampel hasil amplifikasi dengan penanda cpDNA
sekuen trnL-F intergenic spacer
dianalisis dengan program BioEdit 7.0.1 untuk menenukan sekuen konsensus
berdasarkan sekuen konservatif dan program MEGA 6.06 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis) untuk membangun pohon
filogenetik. Hasil sequencing akan di
alignment menggunakan program Clustal
W yang terdapat pada MEGA 6.06 dan kemudian pohon filogenetik akan dibangun
berdasarkan hasil alignment data
sekuen. Dengan bantuan program MEGA, alignment
data dapat dilakukan dan berdasarkan hasil alignment hubungan evolusi dapat diprediksi. Program MEGA juga
memiliki kemampuan untuk menghitung matriks jarak evolusi dan memiliki program
untuk analisis statistik.
3.5.4. Analisis Distribusi Spasial
a. Analisis spasial menggunakan ArcGIS
ArcGIS memiliki seperangkat perhitungan
matematika yang terstruktur untuk menciptakan sebuah analisis data raster yang
merupakan data dari parameter yang berbeda untuk suatu wilayah yang sama.
ArcGIS dapat mengeksplorasi interaksi dan hubungan antara layer/lapisan yang
berbeda dari sekumpulan data. Sebagai contoh, ArcGIS dapat digunakan untuk
menganalisis hubungan antara jumlah curah hujan pada wilayah tertentu dengan
kehadiran spesies dari genus Bouea di
Indonesia, termasuk hubungannya dengan beberapa parameter seperti kemiringan,
rupa bumi, dan jenis tanah. Hal ini disebut dengan Overlaying Principle, yaitu suatu prinsip dasar dalam analisis
raster.
Proses analisis menggunakan ArcGIS
merupakan proses penggabungan informasi dari beberapa layer data yang berbeda
menggunakan operasi spasial tertentu sesuai dengan tujuan analisis. Analisis
spasial dilakukan dengan memanfaatkan analisis data vektor, analisis data citra
satelit, dan analisis data tabular. Dalam proses selanjutnya, data yang telah
diperoleh dikumpulkan dan dilakukan pengecekan pada aspek format data, skala,
sumber, dan tingkat kedetailan. Setelah semua data yang dibutuhkan dalam
analisis telah tersedia, metode analisis ditetapkan sesuai dengan tujuan
penelitian.
Fungsi dasar yang tersedia pada program
ArcGIS yang digunakan dalam analisis spasial untuk menganalisis data sebaran
genus Bouea di Indonesia yaitu:
§ Extract, merupakan proses pemotongan
suatu data layer dengan data lainnya dengan tujuan mendapatkan data layer baru
dengan bidang yang sama dengan layer pemotongnya.
§ Overlay, merupakan metodologi untuk
memilih lokasi yang optimal dengan pemodelan yang sesuai dengan penyatuan data
dari dua atau lebih layer dengan faktor yang berbeda untuk menghasilkan suatu
peta baru.
§ Proximity, merupakan analisis yang
berbasis pada jarak antar layer.
§ Statistics, merupakan teknik analisis
untuk mengukur distribusi atau frekuensi satu kejadian berdasarkan keruangan.
b. Output Data
Data hasil pengolahan data dan analisis
oleh ArcGIS adalah data digital yang terdiri dari:
1) Data vektor. Data vektor merupakan bentuk bumi
yang direpresentasikan dalam bentuk kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh
garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik, dan nodes (titik
perpotongan antara dua buah garis). Informasi posisi titik, garis, dan polygon
disimpan dalam bentuk x,y koordinat. Data vektor yang dapat diproses dan
dianalisis menggunakan ArcGIS 10.3 adalah data yang berbentuk shapefiles sebagai bentuk representasi
dari data tabel.
2)
Data raster. Data raster merupakan data bentuk
bumi yang direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel
(elemen dari gambar) yang dihasilkan dari sistem Penginderaan Jauh.
Masing-masing grid/sel atau pixel memiliki nilai tertentu yagn bergantung pada
bagaimana gambar tersebut disajikan. Pada data raster, resolusi tergantung pada
ukuran pixelnya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran
sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel. Data raster
sangat baik untuk mempresentasikan batas-batas yang berupah secara gradual
seperti jenis tanah, curah hujan, suhu, dan sebagainya.
3) Layout. Layout merupakan proses pengaturan peta
untuk disesuaikan dengan syarat-syarat kartografis. Syarat kartografis dibuat
untuk memastikan bahwa peta yang dibuat dapat dimengerti oleh pengguna. Untuk
memastikan peta yang dibuat memenuhi persyaratan maka peta harus mengandung
komponen isi peta, judul peta, penunjuk arah, skala, legenda, grid koordinat,
dan sumber data.
c.
Pemodelan menggunakan Maximum Entrophy
Dalam penelitian ini,
suatu model dinilai sebagai suatu hasil proses pengolahan data menggunakan MaxEnt. Tujuan dasar dari analisis MaxEnt adalah memungkinkan otomatisasi dalam
menjalankan analisis spasial serta pemodelan menggunakan variabel-variabel
ekologi seperti iklim (Tabel 6) dan kemiringan lereng (Tabel 7) untuk
menentukan wilayah dengan tingkat kesesuaian habitat yang paling tinggi.
Tabel 6. Deskripsi 19 variabel iklim yang digunakan dalam
model distribusi
Singkatan
|
Deskripsi
|
Bio 1
|
Annual Mean Temperature
|
Bio 2
|
Mean Diurnal Range (Mean of monthly
(max temp - min temp)
|
Bio 3
|
Isothermality (P2/P7) (*100)
|
Bio 4
|
Temperature Seasonality (standard
deviation *100)
|
Bio 5
|
Max Temperature of Warmest Month
|
Bio 6
|
Min Temperature of Coldest Month
|
Bio 7
|
Temperature Annual Range (P5-P6)
|
Bio 8
|
Mean Temperature of Wettest Quarter
|
Bio 9
|
Mean Temperature of Driest Quarter
|
Bio10
|
Mean Temperature of Warmest Quarter
|
Bio11
|
Mean Temperature of Coldest Quarter
|
Bio12
|
Annual Precipitation
|
Bio13
|
Precipitation of Wettest Month
|
Bio14
|
Precipitation of Driest Month
|
Bio15
|
Precipitation Seasonality (Coefficient
of Variation)
|
Bio16
|
Precipitation of Wettest Quarter
|
Bio17
|
Precipitation of Driest Quarter
|
Bio18
|
Precipitation of Warmest Quarter
|
Bio19
|
Precipitation of Coldest Quarter
|
Tabel 7. Deskripsi 10 variabel kemiringan
lereng yang digunakan dalam model distribusi
Kelas
|
Deskripsi
|
Persentase
|
Slope1
|
Flat
|
0
– 0,2
|
Slope2
|
Level
|
0,2
– 0,5
|
Slope3
|
Nearly
Level
|
0,5
– 1
|
Slope4
|
Very
Gently Sloping
|
1,0
– 2,0
|
Slope5
|
Gently
Sloping
|
2
– 5
|
Slope6
|
Sloping
|
5
– 10
|
Slope7
|
Strongly
Sloping
|
10
– 15
|
Slope8
|
Moderately
Steep
|
15
– 30
|
Slope9
|
Steep
|
30
– 60
|
Slope10
|
Very
Steep
|
>60
|
Dalam analisis pemodelan kesesuaian
habitat Bouea dengan habitat di
lapangan harus menjadi pertimbangan. Hasilnya akan mengintegrasikan semua
faktor lingkungan dengan lokasi keberadaan Bouea
dalam menentukan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat Bouea. Model Maxent akan menganalisis
setiap variabel lingkungan yang digunakan dalam analisis dan menghitung secara
statistik dan matematik besarnya pengaruh setiap variabel tersebut terhadap
habitat Bouea. Model MaxEnt juga
menguji signifikansi data lokasi koordinat dengan data ekologi dengan
menghitung kurva ketepatan titik lokasi dengan prediksi data ekologi sehingga
akan diperoleh nilai kesesuaian data. Model
MaxEnt akan memberikan prediktif model ekologi yang akan menentukan wilayah
dengan tingkat kesesuaian habitat tertinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
keperluan konservasi dimasa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar